Mohon tunggu...
Rafi Taufiq
Rafi Taufiq Mohon Tunggu... Mahasiswa sekaligus Pemimpin Redaksi LPM Suaka

Mahasiswa yang aktif menulis dan tergabung dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka sebagai Pemimpin Redaksi, aktif menulis sejak tahun 2022 dan tertarik pada isu politik, HAM, gender, pemberdayaan masyarakat, dan kesehatan mental.

Selanjutnya

Tutup

Film

Membaca Rangga Sang "Outsider" Sosial dalam Film Rangga & Cinta: The Rebirth of AADC

15 Oktober 2025   15:49 Diperbarui: 15 Oktober 2025   15:49 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang sunyi di balik panggung gemerlap dunia Cinta. Di antara lampu yang menyorot dan tawa yang riuh, selalu ada satu sosok yang berdiri agak jauh dari pusat perhatian, Rangga. Dalam Film Rangga dan Cinta besutan Riri Riza, sosok itu kembali dihidupkan, bukan untuk bercerita ulang tentang cinta lama, tapi untuk mengingatkan bahwa keasingan masih punya tempat dalam kisah manusia.

Melihat Rangga di tangan El Putra Sarira, setelah dua dekade lalu Nicholas Saputra membuatnya jadi ikon "pria misterius" Indonesia, seperti menatap dua cermin yang memantulkan wajah sama dengan cahaya berbeda. Yang satu dingin dan tenang, yang satu rapuh dan lebih manusiawi. Tapi di antara dua wajah itu, esensi Rangga tetap sama, ia tetap seseorang yang merasa tidak sepenuhnya pantas berada di dunia yang terlalu terang untuk dirinya.

Dan mungkin, di era yang serba cepat dan kompetitif ini, banyak di antara kita yang tak sadar ingin menjadi Rangga.

Outsider yang Diciptakan oleh Sistem

Rangga adalah representasi sosial, bukan sekedar tokoh fiksi belakang. Ia lahir dari kelas menengah bawah dan tumbuh di lingkungan elit yang mengukur nilai manusia dari penampilan, koneksi, dan keberanian bersuara. Di sekolah tempat Cinta dan gengnya bersinar, Rangga jadi bayangan yang lewat tanpa disapa. Ia membaca buku-buku yang tak dibaca teman sebayanya, menulis puisi di saat yang lain berebut sorotan. Ia bukan anti-sosial, ia hanya tidak punya ruang di sistem yang memuja keseragaman.

Riri Riza dan Mira Lesmana tampaknya sadar, ketidakcocokan Rangga bukan kesalahan pribadi, tapi akibat dari struktur sosial yang menyingkirkan mereka yang "tak sesuai template." Rangga dan Cinta tidak mengubah itu. Ia tetap menjaga posisi Rangga sebagai outsider sosial, bedanya, kali ini rasa sepinya lebih gamblang, lebih bisa disentuh.

Dalam wawancaranya, El Putra bilang bahwa Rangga versi barunya "masih pemalu, masih penuh jarak, tapi lebih sadar akan kerentanannya." Ia bukan lagi tokoh yang bersembunyi di balik karisma dingin, tapi ia manusia yang takut kehilangan arah. Dalam gestur kecilnya, tatapan yang gugup, suara yang menurun saat bicara dengan Cinta, terselip potret banyak orang di zaman ini, sekalipun mereka yang berpendidikan, cerdas, tapi merasa tidak punya tempat di dunia yang terlalu sibuk untuk menampung diam.

Ketimpangan yang Melahirkan Jarak

Hubungan Rangga dan Cinta sejak awal selalu jadi metafora pertemuan dua dunia. Cinta hidup di ruang yang rapi, penuh warna dan keteraturan. Rangga datang dari tepi, ruang yang gelap, sunyi, dan berdebu. Keduanya bertemu di tengah, tapi selalu gagal bertahan di titik itu.

Ketimpangan itu tidak sampai pada persoalanl ekonomi saja, tapi kultural. Cinta terbiasa jadi pusat orbit, dimana segala hal di sekitarnya menyesuaikan dengan langkahnya. Sedangkan Rangga terbiasa menonton dari luar pagar, tak yakin apakah dirinya pantas menyeberang ke dalam. Rasa tidak percaya diri itu, kalau kita tarik pada kondisi sosial hari ini, terasa begitu relevan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun