Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Realitas Hukum di Era "Post Truth"

3 Januari 2019   23:38 Diperbarui: 5 Januari 2019   00:10 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS/JITET

Memberantas korupsi adalah prinsip jika ingin kita dan pemerintah mewujudkan cita-cita bangsa dan menempatkan kepercayaan di hati rakyat. Hukum jadi pemeran utama mengatur segala kehidupan manusia hingga menjadi lebih baik. Namun, ada  juga manusia enggan untuk diatur dan hidup berdasarkan kemauan sendiri, sampai pada waktunya mendapat ganjaran setimpal. 

Di satu sisi, kreativitas intelektual manusia mampu mengubah kedudukan hukum sebagai pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sarana transaksi memenuhi hasrat politik. 

Tidak sedikit dari mereka lenggak-lenggok membawa sekoper uang, gembira ria karena sudah mencebloskan lawan-lawannya lewat lobi-lobi sistematik. Hukum dibuat tak berdaya, pasal-pasal seperti tidak punya taji untuk melawan realitas hukum yang ada. Akibatnya, memicu menurunnya tingkat kepercayaan rakyat, hingga  merasa pesimis dengan cita-cita bangsa, memilih berserah diri dan menerima apa adanya, asalkan anak-anak bisa makan dan bisa sekolah.  

Getolnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah memberikan harapan tentang negeri tanpa korupsi. Tapi, selama hukum terus dijadikan sebagai sarana tranksaksi, selama itu juga adagium "tajam ke bawah tumpul ke atas" tetap jadi primadona para elit.

Sebagai catatan, tahun 2018 banyak para politisi tertangkap korupsi. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 61 anggota DPR dan DPRD telah menjadi tersangka kasus korupsi sejak Januari-Mei 2018. 

Angka tersebut lebih dari separuh jumlah pejabat/karyawan swasta yang telah tertangkap komisi anti rasuah yang mencapai 118 orang. Semua itu, belum ada satupun yang dikenakan hukuman mati. Apa bedanya, korupsi dengan tersangka penyalahgunaan Narkotika ?

Belum lagi, baru-baru ini KPK menetapkan 8 tersangka dalam kasus Proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Kementerian PUPR, salah satu penyebabnya proyek di daerah bencana di Kabupaten Donggala. Total suap yang diduga itu ialah Rp 5,3 miliar, USD 5 ribu dan SGD 22.100. KPK bertindak lebih cepat menerapkan pidana mati kepada para tersangka korupsi.

Dalam penjelasan pasal 2 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, bahwa penjelasan "dalam keadaan tertentu", masuk salah satunya tindak pidana korupsi terhadap dana kebencanaan alam nasional.

Tapi, dengan realitas hukum saat ini, apakah hukuman mati benar-benar bisa terwujud atau tidak? Jika ini berhasil, KPK mempunyai catata sejarah mampu menghukum mati koruptor. Namun sepertinya, itu hanya akan jadi macan ompong saja.

http://harianbhirawa.com
http://harianbhirawa.com
Bagaimana dengan Latvia dan China?

Sebenarnya, jika KPK tergerak hatinya untuk memberantas korupsi, penerapan hukuman mati itu boleh saja selama memenuhi unsur perundang-undangan. Statmen Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, memberikan dukungan pidana mati bagi koruptor. Dalam pandangan berbeda, Direktur Eksekutif Demos, Asmara Nababan justri tidak Asmara juga tidak setuju jika para koruptor dihukum mati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun