Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Betapa Rumitnya UU Pemilu di Negeri Ini

27 Juli 2017   21:12 Diperbarui: 27 Juli 2017   21:50 1546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak bagaimana para anggota dewan memperdebatkan RUU Pemilu di istana senayan. Foto: jakartaglobe.id

Undang-undang (UU) dipahami sebagai suatu regulasi yang dirancang khusus untuk mengatur pelaksanaan pemilu. UU Pemilu dapat diturunkan sebagai upaya mewujudkan pesta demokrasi ditengah arus politik yang kuat. UU Pemilu juga merupakan sub regulasi dari regulasi pucuknya yakni UU Partai.

Selaras dengan tulisan Richard S. Kazt dan William Crotty dalam bukunya Hanbook Partai Politik, UU Partai dapat diturunkan dari teks konstitusi utama dan hukum konstitusi lainnya, undang-undang khusus partai, UU dan peraturan yang mengatur pemilihan umum (UU Pemilu, peraturan kampanye), organisasi parlemen, keuangan politik kegiatan politik lainnya dan atau undang-undang yang mengatur kegiatan organisasi sukarela dalam arti lebih umum. (2014: 719).

Berbicara soal kedudukan, UU Pemilu memiliki kedudukan sangat strategis sebagai negara demokrasi. Mengapa harus strategis? Pemilu telah menjadi satu ruang yang dimana berkumpulnya semua mesin -- mesin (partai) politik abad ke-20. Disaat partai menunjukan esksistensinya, memberikan nafas kehidupan terwujudnya demokrasi di Indonesia dan karenanya dibuatkan satu regulasi. 

Pemerintah melalui DPR, KPU dan Bawaslu telah meligitimasi pelaksanaan pemilu jatuh pada tanggal pada rabu 17 April 2019. Mengikut pula penglegitimasian parlemen threshold sebagai acuan partai mengajukan calon presiden. 

Hingga saat ini, persoalan ambang batas Parpol masih menjadi pro kontra. Bagi sebagian partai, menganggap penerapan sistem ini seperti buah simalakama, konstitusi seakan enggan ditegakkan dan bersuara kala dilanggar. Sebagiannya lagi menjadi pintu kemenangan calon presiden selanjutnya. Barbagai wacana konstitusi muncul dipermukan, ini tidak kalah pentingnya bagaiamana wacana tentang siapa yang akan menjadi pemimpin selanjutnya, apakah partai penguasa, partai sayap, partai kartel ataukah partai kader.

Pertarungan antar partai terkait ambang batas ini, masih terus mempersoalkan isu politis untuk memenangkan kepentingan elektoral jangka pendek. Dalam kondisi ini, terjadi pertarungan antara blok partai pro pemerintah dan blok kontra pemerintah. Ditengah perjuangan partai memenangkan idealisme politik, muncul nama-nama yang dianggap mumpuni menjadi memimpin selanjutnya.

Disahkannya RUU menjadi UU Pemilu pada tanggal 21 Juli 2017, nama yang munculpun masih relatif, tergantung kepada siapa partai dengan komposisi mendekati ambang batas merapat ke partai lainnya dengan tidak melupakan bahwa saat ini adalah kembalinya pertarungan antara Jokowidodo dan Prabowo sebagai presiden pada pilpres 2019.

KONSTITUSI ATAU POLITIK

Wacana nama-nama calon presiden selanjutnya, kemungkinan masih dibicarakan sebatas membangkitkan hasrat politik. Berbagai analisis bermunculan untuk membatalkan kenaikan ambang batas ini. Pertama,penerapan parlemen threshold menuai komentar dari aspek konstitusi. Misalnya, seorang pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi mengkiritik bahwa pelaksanaan pilkada serentak tidak menghendaki adanya parlemen threshold. Hal ini juga senada dengan pakar hukum tata negara, Yuzril Ihza Mahendra, bahwa keberadaan parlemen threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 22E ayat (3) UUD 45. Dijelaskannya, pengajuan calon presiden dan wakil presiden dilakukan sebelum pelaksanaan pemilu. Sementara, agenda pemilu mulai dilaksanakan pada Agustus 2017.

Kedua,dari aspek politik, dalam opini Djayadi Hanan yang diterbitkan oleh Kompas (26/7/2017), menemukan hal-hal yang kontroversial dalam penerapan parlemen threshold ini. Menurutnya, hal ini bertabrakan dengan logika pemurnian pelaksanaan sistem presidensial yang jadi salah satu pertimbangan adanya pemilu serentak. Selanjutnya, sulit mencari pembenaran yang kuat atas adanya ambang batas ini dalam pemilu serentak, baik dalam segi teoritis maupun empirik. Terkait soal demokrasi dan penguatan presidensial, ini masih bersifat debatable.

Dari kedua analisis ini, terjadi dikotomi mengenai UU Pemilu. Dalam regulasi ini, sama sekali tidak memilliki rasionalitas yang kuat, apakah sebagai produk politik ataukah produk hukum. Jika pengertiannya sebagai produk hukum, maka semestinya mengedepankan prinsip keadilan. Tentu, juga berkaitan dengan demokrasi. Di sisi lain, pengertian sebagai produk politik, memang wajar jika kepentingan politik tertentu diletakkan dalam pasal-pasal. Akibat keduanya, melahirkan kesimpang siuran tentang bagaimana hukum di Indonesia.  

Indonesia belum mampu membawa negeri ini sesuai prinsip dasar bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara politik. Kendati dalam pemahaman hukum, hukum merupakan produk politik, produk politik menjadi sumber adanya produk hukum. Akan tetapi, keduanya memiliki batasan yang tidak boleh dilanggar. Jika kondisi UU Pemilu saat ini tidak bisa terselesaikan, demokrasi Indonesia lambat laun semakin lemah dan kehilangan arah.

Berkaca pada pemilu di Meksiko tahun 2012, Kolombia tahun 2014, Brazil tahun 2015 dan Peru tahun 2016. Dinegara-negara ini justru mencontohkan bagaimana perebutan kekuasaan yang demokrasi. Meskipun, berbeda regulasi pemilunya berbeda-beda. Hanya di Indonesia yang sampai saat ini semakin semraut dan menyisahkan berbagai macam pertanyaan.

MERAJUT OPTIMIS

Sudah terlalu banyak referensi mengenai hukum yang dipelajari, mulai mahasiswa hingga pakar sekalipun. Dalam konteks UU pemilu hari ini, dari sekian banyak referensi, hampir tidak ada yang mampu menyelesaikan segala persoalan yang ada. Malahan, terus menerus menimbulkan ragam persoalan dan kembali menyisahkan banyak persoalan baru.

Dalam waktu dekat, akan ada uji materi terhadap pasal dalam UU Pemilu. Ada 11 pasal yang berpotensi diuji materi di Mahkamah Konstitusi, yakni pasal 222 tentang ambang batas pencalonan presiden, Pasal 235 ayat (5) tentang sanksi bagi Parpol yang tidak mengusung calon, Pasal 173 ayat (3) soal versifikasi Parpol, Pasal 169 tentang syarat calon presiden dan wakil presiden, Pasal 182 tentang syarat calon DPD, Pasal 240 syarat calon anggota DPR terkait status pidana, Pasal 235 ayat (6) tentng calon tunggal dalam pemilu presiden, Pasal 416 terkait penetapan perolehan suara presiden dan wakil presiden, Pasal 449 ayat (2) dan pasal 509 terkait survei pemilu pada mas tenang dan yang terkhir Pasal 287 ayat (5) tentang pemberitaan selama masa tenang.

Inisiatif uji materi ini, masih memberikan harapan masa depan hukum di Indonesia. Jika semua memilih menyikapinya dengan pasrah atau diam dengan keputusan yang ada, maka habislah negeri ini dengan beragam kegagalan dan kebobrokannya. Dengan sendirinya, UU Pemilu telah mengukir sejarah baru yang menggambarkan betapa rumitnya berdemokrasi di Indonesia. Bahkan, untuk mencapai demokrasi ini, segala teknik diaplikasikan hingga menabrak konstitusi dengan berbagai alasan yang tidak substansial. Pada akhirnya nanti, produk hukum di Indonesia berada di posisi dilematis, antara ditegakkan atau dimain-mainkan.  

Mengutip perkataan Edward Benfield bahwa setiap sistem politik adalah sebuah kecelakaan. Jika sistem bekerja dengan baik secara keseluruhan itu adalah kecelakaan yang beruntung. Hal ini berdampak pada internal hukum sendiri. Tidak heran, hampir semua regulasi yang ada dijadikan sentara memuluskan segala kepentingan politik tertentu, terutama UU Pemilu. Tentu, pertanyaan yang perlu dijawab kedepan, bagaimana nasib hukum di Indonesia?   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun