Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politisi Anti Korupsi, Emang Bisa?

5 Mei 2017   00:20 Diperbarui: 5 Mei 2017   17:42 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum dan politik selalu menjadi pembahasan yang tak pernah ada habisnya, ibarat polemik antara harapan dan kenyataan yang tak pernah bertemu. Penguasa kadang memainkan peranannya kadang pula menyelewengkannya demi terpunuhinya kepentingan peribadi atau kelompok. Kata Yusril Ihza Mahendra, Kekacauan hukum diakibatkan hukum yang terlalu mencampuri urusan politik. Sehingga hukum tidak berjalan efektif dan kadangkala menjadi alat untuk menjegal dan memuluskan kepentingan yang ingin capai.

Masih terlintas di benak kita, tidak sedikit kasus-kasus hukum yang menjerat dua perangkat demokrasi kita yaitu politisi dan penegak hukum di Indonesia pada panggung reformasi. Mulai dari kasus korupsi, penyelahgunaan wewenang, hingga institusi terhormat (DPR) masuk dalam lingkaran permainan hukum. Hal ini menjadi perdebatan di masyarakat tentang siapa yang harus di percayai, politisi juga melanggar dan penegak hukum juga melanggar. Alhasil, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap politisi dan penegak hukum terus menurun.

Tegaknya hukum seringkali terhadang dengan drama politik para penguasa berwujud idealisme. Mereka seolah-olah menegakkan hukum yang sebenarnya, tapi malah menjadikannya sebagai senjata melawan musuh-musuh yang mencoba menghadang kepentingan politik penguasa. Bahkan, penegak hukum juga sudah terkooptasi dengan irama politik sehingga hukum didominasi oleh politik mengarahkan hukum sesuai kepentingan politik.

Hukum dan politik merupakan satu kesatuan subsistem masyarakat, untuk mewujudkan hukum yang efektif butuh politik, tapi disamping itu politik pula bisa merusak tatanan hukum. Politik dan hukum menurut Virgina Held (etika Moral, 1989: 106-123) dari sudut pandang etika dan moral melihat perbedaan diantara keduanya dari dasar pembenarannya.

Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri dan layak bagi sistem hukum, sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakekat dari tindakan yang bersangkutan, sedangkan argumentasi teleogis menilai suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut. Apakah mendatangkan kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakekat yang semestinya ada pada tindakan itu.

Hukum dan politik memberikan peluang kepada masyarakat memiliki kekuasaan yang dijalankan sesuai sifatnya. Teori sifat kekuasaan terggolong dalam dua kategori: organik dan mekanistik. Plato, Aristoteles, dan Burke merupakan representasi tipikal dari jenis sifat kekuasaan Organik, sementara, karya-karya para teoretisi kontrak sosial mewakili jenis sifat kekuasaan mekanistik. Pertama, teori organik berpandangan bahwa kesatuan politik tubuh dirunut dari predisposisi dalam manusia yang mendorongnya berasosiasi dengan orang lain. Sebagai makhluk rasional, manusia menyadari bahwa kekuasaanlah yang membuat hidup menjadi memungkinkan dan produktif bagi mereka. Kedua, Teori mekanistik cenderung untuk mengabaikan karakter sosial manusia dengan memandang kekuasaan sebagai sebuah lembaga artifisial yang didasarkan atas klaim-klaim individu. Teori ini menganggap kekuasaan hanya sebagai sarana atau mesin yang muncul sebagai akibat kesepakatan di antara individu yang ingin memuaskan keinginan-keinginan jangka pendek mereka dan yang tidak peduli dengan tujuan-tujuan bersama yang mencakup anggota-anggota lain dari kelompoknya.


Kedua teori tersebut, menurut penulis hukum menjadi pondasi terlaksananya kekuasaan. Hukum sebagai legalitas terhadap politik sehingga hukum bisa berjalan efektif di masyarakat. Sederhanya hukum sifatnya statis dan politik sifatnya dinamis. Hukum dan politik tidak hanya semestinya dijalankan berdasarkan asas-asas tetapi juga berdasarkan komitmen kolektif rakyat dan penguasa untuk benar-benar menjunjung tinggi hukum dengan penuh kewajiban tanpa ada paksaan. Tapi, terkadang asas-asas tersebut dicampur adukkan dengan kepentingan politik sehingga tidak jarang asas-asas hukum dimanupulasi dan disalahgunakan.

Hukum dan politik berjalan beriringan dan posisinya sejajar. Hukum bagian dari politik dan politik bagian dari hukum. Realitas menjadi objek keputusan politik, keputusan politik melahirkan hukum. Baik buruknya hukum tergantung bagaimana keputusan politik yang diambil dan baik buruknya politik tergantung bagaimana mengambil keputusan terhadap realitas dimasayarakat. Selain itu, kepatuhan ditempatkan pada hukum sebagai sumber nilai.

Soal Politisi Anti Korupsi

Saya cukup tercengan membaca dibeberapa pemberitaan terkait politisi anti korupsi. Kata ini ibarat binatang ampibi yang hidup di dua alam, dibilang hidup di air tapi bisa juga didarat, demikian sebaliknya.

Dalam hal ini, saya bisa mengatakan politisi anti korupsi yang impikan para pemikir politik adalah ngeyel. Institusi sekelas dewan mampu melahirkan para kader korupsi setiap generasi.

Tidak sedikit para politisi kita yang terjerat kasus korupsi, mulai dari kader muda hingga nenek moyangnya kader. Berdasarkan data yang dihimpun LINI MASA, Pertama,I Putu Sudiartana dari Partai Demokrat yang dicokok KPK dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa malam, 28 Juni, dengan sangkaan menerima uang suap sebesar S$40 ribu dan Rp 500 juta untuk menggolkan rencana pembangunan 12 ruas jalan di Sumetera Barat dalam APBN Perubahan 2016 yang disahkan DPR pada Selasa, 28 Juni.

Kedua, Andi Taufan Tiro dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 27 April 2016. Dalam surat dakwaan, Andi dituduh menerima suap sebesar Rp 7,4 miliar dari pengusaha Abdul Khoir, Direktur PT Windu Tunggal Utama (WTU) untuk mendorong Komisi V DPR meloloskan usulan proyek rekonstruksi jalan di Maluku dan Maluku Utara di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Andi adalah anggota Komisi V yang membidangi infrastruktur dan perhubungan.

Ketiga,Budi Supriyanto dari Partai Golkarditetapkan sebagai tersangka pada 2 Maret 2016 dengan sangkaan menerima suap dari pengusaha Abdul Khoir, Direktur PT Windu Tunggal Utama, untuk memuluskan proyek infrastruktur jalan di Maluku dalam tahun anggaran 2016. Abdul Khoir dihukum 4 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 13 Juni lalu.

Keempat,Damayanti Wisnu Putranti dari PDI-P tertangkap tangan menerima suap Rp 8,1 miliar dari Direktur Utama PT Windu Tunggal Utama Abdul Khoir pada 13 Januari 2016.

Kelima,Dewie Yasin Limpo disebut menerima pemberian sebesar 177.700 dollar Singapura dari Kepala Dinas Kabupaten Deiyai Irenius Adi dan pengusaha Setiyadi Jusuf, melalui perantara Rinelda Bandaso. Motifnya, yakni mengupayakan anggaran dari pemerintah pusat sebesar Rp 50 miliar untuk proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua. Akhirnya, pada 13 Juni 2016 lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis pidana 6 tahun penjara untuk Dewie Yasin Limpo.

Keenam, Patrice Rio Capella dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dihukum  1,5 tahun dengan denda Rp. 50 juta oleh majelis hakim pengadilan tipikor Jakarta. Bahkan, majelis hakim mencabut hak politik selama 5 tahun.

Ketujuh,Adriansyah dari PDI-P dihukum penjara 3 tahun dengan denda Rp. 100 juta.

(Baca: http://www.rappler.com/indonesia/138209-anggota-dpr-tersangka-korupsi)

Sebenarnya masih banyak lagi, khususnya pada kasus e-KTP dimana banyak para politisi juga terseret kasus korupsi. Mungkin nama-nama diatas masih sedikit. Namun, perlu dipertimbangkan, masihkah sepakat dengan politisi anti korupsi?

Kepatuhan Hukum atau Kepatuhan Politik?

Soal kepatuhan, hukum atau politik, mungkin ini biar kerok ada korupsi. Sistem patriarki masih mendarah daging setiap politisi. Kalimat para pimpinan fraksi hingga pimpinan partai telah menjadi fatwa tersendiri untuk masing-masing internal.

Kepatuhan merupakan budaya yang melekat pada diri manusia. Untuk bisa menegakkan hukum dimasyarakat, maka perlu adanya kepatuhan hukum. Cicero mengatakan “Jika ingin hidup bebas, maka patuhilah hukum”, ini menggambarkan bahwa hukum menjadi satu senjata lahirnya kesejahteraan, ketentraman, dan damai dalam masyarakat. Kepatuhan menjadi budaya masyarakat dalam aktivitas kesehariannya yang mencerminkan kehendak undang-undang yang telah di tetapkan dan berlaku bagi segala eleman masyarakat. Dalam masyarakat perlu dilihat kembali apakah hukum benar-benar di junjung tinggi sebagai satu pedoman hidup dan sebagai dasar dalam mewujudkan setiap kepentingan Individu.

Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat. Hemat penulis, kepatuhan merupakan kesadaran spritual masyarakat terhadap pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang diwujudkan dalam bentuk prilaku sehingga malahirkan kesetiaan. Kesetiaan inilah yang mampu membendung skenario politk atas hukum dan menjadikan hukum sebagai pondasi berpolitik.

Politik semestinya patuh dan tunduk pada hukum.Salah satu esensi dari negara hukum adalah bahwa harus tunduk dan bertanggung jawab untuk mematuhi hukum. Hal ini senada dengan Carol C Gould (Demokrasi ditinjau Kembali 1993: 244) menyatakan: "mematuhi hukum sebagai bagian dari kewajiban politik". Sudah sangat jelas, politik harus mempunyai sifat kesetiaan terhadap hukum sehingga hukum mempunyai wibawa yang kuat dan tidak boleh dimain-mainkan.

Dengan demikian, hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan tapi menjadi satu pondasi berpolitik agar cita-cita bangsa tercapai. Untuk mencapai hal tersebut, loyalitas adalah kunci agar masyarakat tidak diombang-ambing oleh kekisruah hukum dan penguasa yang membuat masyarakat menjadi jenuh dan menggadaikan idealismenya pada orang-orang berduit demi terpenuhinya tuntutan hidup. Tapi, jika kekisruan ini terus belanjut maka jangan heran jika masyarakat menguarkan caci makian terhadap penguasa dan hukum tidak lagi dipatuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun