Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlukah Pemuda Berpartai Politik?

28 April 2017   20:44 Diperbarui: 3 Mei 2017   18:47 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mempertautkan pemuda dan politik sangat menarik untuk dibahas. Mengingat tahun politik sudah semakin dekat, sejumlah pemuda tengah bersiap-siap dengan banyak melakukan agenda sosial. Bahkan, sebagian pemuda berbodong-bondong bergabung di partai politik untuk bisa mendapatkan posisi bergening pada pileg akan datang.

Kiranya benar, Indonesia merupakan negara yang demokrasi yang berasaskan pancasila. Parpol sebagai organisasi jembatan antara kepentingan rakyat dan pemerintah menempatkan dirinya sebagai sebagai organisasi yang berpengaruh. Bahkan, kini Parpol dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi. Mengapa tidak? Segala situasi politik nasional mapun daerah sudah dikendalikan oleh kebijakan partai. Hasilnya, kendali ini berakar kepada pemuda.

Berbagai diskursus tentang peranan partai politik misalnya Miriam Budiardjo, Jimly Asshiddiqie, Sigit Pamungkas dalam bukunya Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, semuanya mengarah pada peranan parpol sebagai organisasi yang penting dalam proses berjalannya demokrasi di Indonesia.

Dengan demikian, kehadiran partai politik dalam era demokrasi tidak bisa di hindari. Perwujudan hak-hak berserikat dan berpendapat selalu dikaitkan dengan kehadiran partai politik. Kehidupan orang-orang seperti ini senantiasa beraktivitas yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Mifta Thoha (2011) mereka adalah orang-orang yang nantinya bisa membentuk Cognitife Maps. Cognitife maps merupakan pondasi dasar mentalitas seseorang yang menentukan sikap apa yang akan diputuskan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selanjutnya Mifta Thoha (2011) mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mempunyai Cognitfe Maps sama halnya orang tersebut tidak mempergunakan hak kemerdekannya.

Dalam konteks politik kepemudaan, Cognitife Maps harus dimiliki seorang pemuda dalam melakukan kerja-kerja politik. Keputusan politik pemuda tidak bisa disamakan dengan keputusan politik para politisi partai. Menurut pengamatan penulis, perbedaan ini dibagi dalam dua jenis politik, yaitu politik partai dan politik kepemudaan.

Pertama, Politik partai kental dengan praktek-praktek politik praktis. Dalam hal ini, praktis yang dimaksud bukan terfokus pada sesuatu yang mudah didapatkan. Menurut Kart dan Hadiz dalam penelitiannya mengatakan bahwa karakter partai politik di Indonesia selalu menggunakan dana untuk mencapai akses ke sektor publik. Hal ini bisa dimaknai bahwa politik partai bergantung pada kekuatan dana untuk bisa berperan aktif dalam politik nasional.


Kedua, politik kepemudaan selalu dilekatkan bagaimana peranan sebagai kaum intelektual. Aulia Kosasih dan M. Ilyas menggambarkan bahwa politik pemuda adalah politik nilai. Politik nilai mengedepankan ideologi dan pondasi Akhlakul Karimah dalam berpolitik. Maksudnya adalah pemuda bertindak berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya menurut ajaran agama dan organisasi. Dalam ajaran agama, sesuatu yang didapatkan untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan menjatuhkan orang adalah hal yang tidak baik untuk dilakukan.

Kedua jenis politik ini semakin berkembang, bahkan keduanya telah bekerjama secara diam-diam dan terang-terangan. Politik praktis sudah menjadi gaya politik pemuda dalam bertindak memperjuangkan masing-masing kepentingan. Untuk memuluskan jalan tersebut, kekuatan dana menjadi tolak ukur seseorang, apakah menang atau kalah. Semakin kuat dana, maka dia semakin besar peluang untuk berkuasa.

Selain itu juga, dalam pilkada, seringkali partai memakai mahasiswa sebagai tim sukses atau sekedar menjadi tim peluru meraut massa atau suara dikampus-kampus. Berbagai praktek politik partai bermunculan bahkan tersembunyi agar tidak dikehatui keberadaan aktornya. Hal seperti ini menjadi bukti penelitian Kart dan Hadiz, karakter politik partai sudah masuk dalam politik pemuda. Ini merupakan contoh bagaimana politik praktis mampu merubah mindset pemuda menjadi sedikit liar.

Dalam sebuah buku yang berjudul agama dan politik moral, Julien Benda mengatakan kaum intelektual yang terlibat dalam politik praktis adalah pengkhianat. Julien Benda mencoba memperingati kepada pemuda sebagai kaum intelektual bahwa politik praktis sangatlah tidak sesuai dengan gaya berpolitik kaum intelektual.

Politik Partai dalam hal ini tidak bisa disalahkan. Perlunya pemuda kembali memahami politik kaum muda sehingga bisa mencegah tindakan yang merusak marwah kaum intelektual. Gagasan yang perlu bangkitkan kembali adalah menguatkan Cognitife Maps pemuda disegala lini sektor gerakan yang berpondasi pada ajaran agama dengan menyusun kembali agenda-agenda perubahan.

Pertama, agenda perubahan mitos. Pada kondisi kekinian, pemuda tidak boleh bergantung pada kebesaran sejarahnya sendiri. Setiap siklus gerakan pemuda selalu menyesuaikan dengan kondisi tanpa melunturkan pondasinya sendiri. Sejarah harus dijadikan sumber inspirasi dan edukasi untuk agenda dimasa akan datang. Kedua, agenda perubahan logos. Pemuda sebagai kaum intelektual harus dilegitimasi sebagai kaum bangsawan pikiran. Budaya literasi, menulis, diskusi harus terus dijaga hingga menghasilkan karya-karya. Ketiga, agenda perubahan etos. Pemuda harus lebih progresif dalam menghadapi segala tantangan global. Mengesampingkan kemalasan belajar dan mengedepankan intelektual sebagai insan akademis, penciptan dan pengabdi.

Menyikapi wacana pemuda dan partai politik, kiranya dapat disikapi dengan penuh kebijaksanaan. Di era sekarang ini, peranan pemuda di partai politik bukan lagi hal yang asing dipandang mata. Untuk menakar identitas pemuda luntur di momentum politik, kira dapat memahami pos gerakan masing-masing. Memang politik praktis tidak bisa dihindari, tapi idealisme menentukan keberpihakan pemuda , apakah untuk kepentingan diri sendiri atau rakyat.

Sementara itu, penjelasan diatas bukan untuk memberikan rasa pesimis atau sekedar bahan berfikir radikal terhatap Parpol. Banyak pemuda yang berhasil membuktikan diri mampu bergabung di parlemen. Kalau ditelusuri satu persatu, masing-masing umur mereka beragam, aga yang 25-29 tahun. Hal ini bisa menjadi bahan berfikir pemuda bahwa tahun politik 2018 pemuda memiliki peluang besar berada di parlemen. Tentu dengan kesadaran tinggi, idealisme menjadi benteng terakhir dalam duani praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun