Mohon tunggu...
rafika surya bono
rafika surya bono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang Madridista yang mencintai sastra dan peduli negara, katanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Cangkir Kopi

13 September 2014   09:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua Cangkir Kopi

“Ini hidupku, itu hidupmu. Ini bukan hidup kita, karna kita belum seutuhnya bersama”.

Itu kalimat yang diteriakkan  seorang gadis, yang baru saja meninggalkan kekasihnya yang masih duduk di kursi dekat  kaca kafe ini. Mungkin mereka bertengkar. Bukan mungkin, tapi memang bertengkar. Dari tadi si cewek hanya diam, menunduk, seperti seseorang yang baru saja aibnya terbongkar. Sedang si cowok sibuk memeriksa isi hape si cewek. Dan mereka membiarkan makanan yang sudah dari tadi diantarkan pelayan dingin di atas meja. Mungkin si cewek selingkuh dan si cowok mengetahuinya. Sekali lagi, mungkin.

Entahlah. Gue juga tidak tau pasti, karna gue hanya memperhatikan mereka dari tadi. Bukan berniat untuk menguping atau ngurusin urusan mereka, tapi tingkah mereka membuat ketenangan gue menikmati senja di cafe ini cukup terganggu. Gue juga sedang duduk di cafe ini. Ini adalah tempat favorit gue menikmati senja di akhir pekan. Gue duduk di belakang pasangan kekasih itu, dua meja di belakang mereka. Dan dari tadi perhatian gue terpusat pada mereka.Menurut gue, ya sayang aja. Niat awal mereka ke sini untuk bersantai, tapi berakhir dengan pertengkaran.

Tapi tenang saja. Gue ga akan bahas pasangan kekasih itu. Ini bukan tentang mereka, tapi tentang gue. Nama gue Axcel, Axcel Lautner lengkapnya. Gue asli Indonesia, meskipun dari nama cukup untuk membuat orang-orang yakin kalo gue adalah bule. Bukan, bukan. Gue asli Indonesia. Nama itu dikasih orang tua gue karena saat mengandung gue, ada film asal Inggris yang tokoh utamanya bernama seperti nama gue sekarang. Dan orang tua gue menyukainya.

Saat ini gue sedang menikmati senja di cafe ini. Ini adalah cafe favorit gue. Dari sini, gue bisa melihat indahnya sunset. Iya, cafe ini berada di tepi pantai. Senja gue kali ini hanya ditemani oleh dua cangkir kopi di atas meja. Juga senja-senja sebelumnya. Hanya ada dua cangkir  kopi di meja gue. Gue sudah duduk selama dua jam di sini. Sendiri. Diam. Menikmati senja.

Gue selalu sendiri ke sini. Dulu sempat berdua, cukup lama berdua. Tapi sudah dua tahun ini gue selalu sendiri ke sini. Tapi itu tidak jadi masalah. Gue bisa menikmati sendiri itu. Selagi masih ada kopi, maka hati gue tidak akan merasa sendiri. Gue selalu bisa merasakan hadirnya saat gue minum kopi. Seperti yang pernah dikatakannya dulu, bahwa jika ada dua cangkir kopi di meja, jangan pernah merasa sendiri.

Gue masih duduk di cafe ini. Oke, gue ralat. Ini bukan cafe favorit gue. Tapi cafe favorit kami. Meja dan kursi favorit kami. Tempat ini adalah bagian penting dalam perjalanan kisah cinta kami. Kami bertemu di sini. Dan kami juga berpisah di sini.

Enam tahun yang lalu.

Hujan memaksa gue harus singgah di cafe ini. Gue hendak pergi ke suatu tempat, menggunakan sepeda motor dan ini adalah keperluan mendesak. Namun, derasnya hujan membuat gue luluh untuk mampir ke cafe ini. Gue masuk dengan pakaian basah. Dan sialnya, cafe penuh oleh pasangan muda yang entah memang berniat untuk pergi ke sini, atau hanya untuk menunggu hujan reda. Hanya ada satu kursi yang tersisa di dekat kaca, menghadap ke pantai. Dan di sana juga duduk seorang gadis yang cantik dan lembut. Berambut sebahu, kulit putih, dan mata yang bulat dan cokelat. Dia sedang menatap pantai. Entahlah, dia menatap pantai atau menikmati butiran air hujan yang jatuh.

“Maaf, boleh saya duduk di sini? Hanya kursi ini yang tersisa, yang lain penuh” gue mencoba meminta bergabung. Dan dia mengiyakan hanya dengan senyuman, dan kembali menatap ke luar. Kemudian gue duduk dan memesan secangkir kopi. Dia kembali tersenyum, dan kali ini senyuman yang mengajak gue untuk berkenalan. “ Grace, Easter Grace”, ucapnya sambil mengulurkan tangan dan senyuman yang membuat gue merasa canggung. Gue memberi tahu nama gue.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun