Mohon tunggu...
Rafif Ahmad Fadilah
Rafif Ahmad Fadilah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam

Saya memiliki hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebaikan di Masa Muda

31 Januari 2024   06:45 Diperbarui: 31 Januari 2024   06:52 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit senja berpelukan erat dengan awan keunguan, membalut kota Surakarta dalam cahaya jingga yang remang-remang. Dina, gadis bertubuh mungil dengan rambut diikat kepang dua, melangkah pelan dengan tas sekolah yang terasa semakin berat. Bukan isinya, tapi kepenatan hati yang ia pikul. Hari ini, ia kembali mendapat cemooh karena sepatu usang nan bolong-bolong yang setia menemani kakinya.

Dina memasuki gang sempit menuju rumahnya, aroma tempe mendoan dari warung Bu Juminten menyeruak menggelitik perutnya. Ia ingin sekali mampir, tapi kantongnya hanya menyimpan lima ratus rupiah, sisa jajan kemarin yang ia lupakan.

Tiba-tiba, suara dentingan lonceng sepeda tua memecah senja. Seorang kakek dengan kerutan wajah senyum mengayuh mendekat. Kakek penjual mainan kayu keliling itu selalu memanggil Dina "Lintang Sari," tokoh pewayangan favoritnya.

"Lintang Sari hari ini sedih?" ujar kakek, matanya yang jengah penuh keteduhan.

Dina menunduk, bibirnya bergetar. Kakek mengerti, ia sering melihat tatapan kasihan dan olokan yang menusuk hati Dina.

"Mau kakek beri tongkat sakti Lintang Sari ini?" kakek menawarkan pedang kayu.

Dina menggeleng, ia tak tega mengambil barang dagangan kakek.

"Ambillah, bukan untuk dijual," kakek tersenyum, matanya berbinar. "Tongkat ini untuk melawan hal-hal buruk yang mengganggumu. Kebaikan dan semangatlah kekuatan sejati Lintang Sari."

Dina menerima tongkat itu, hatinya menghangat. Ucapan kakek seperti siraman hujan di tanah tandus.

Malam harinya, Dina menggambar Lintang Sari di bawah lampu minyak temaram. Tak lagi ada kepenatan, yang tersisa adalah keyakinan. Tongkat kayu di sampingnya bukan sekadar mainan, tapi lambang keberanian dan kebaikan yang harus ia pegang erat.

Esoknya, Dina masuk sekolah dengan kepala tegak. Ketika suara ricuh cemooh kembali terdengar, ia mengangkat tongkat kayunya setinggi bahu. Bukan untuk menyerang, tapi untuk membentengi hatinya. Ia berseru, "Aku Lintang Sari! Kebaikanku tak bisa dicuri!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun