Mohon tunggu...
Rafida Luthfiah
Rafida Luthfiah Mohon Tunggu... Penulis - RIFDA9698

"JUST TO BE YOUSELF"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Hadits dalam Ormas Islam PERSIS

26 Januari 2021   13:40 Diperbarui: 26 Januari 2021   13:42 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

a). Sejarah dan Perkembangan Kajian Hadits dalam Ormas Islam PERSIS.

Persatuan Islam (PERSIS) secara resmi didirikan di Bandung pada 12 September 1923.[1] Munculnya PERSIS di pentas sejarah Islam di Indonesia merupakan jawaban atas tantangan dan kondisi umat saat itu. Pendirian PERSIS merupakan mata rantai yang tidak lepas dari gerakan reformasi yang saat ini sedang dilakukan hampir di seluruh dunia Islam. Alasan berdirinya PERSIS pada masa penjajahan Belanda bukan untuk kepentingan pribadi pendiri atau kebutuhan masyarakat saat itu. Motivasi didirikan PERSIS lebih karena para pendiri meyakini bahwa mereka dipanggil atas kewajiban dan perintah Allah SWT. Bahkan beberapa dari mereka menggambarkan seruan tersebut. Ketika Nabi sedang berdiri di atas gunung, Shafa mengatakan bahwa tulisan tangannya tidak berdasarkan keuntungan pribadi.[2]

Ini bukan daya tarik masyarakat, tetapi kenyataan bahwa umat Islam sebenarnya tidak perlu sepenuhnya mengubah tatanan kehidupan Islam saat itu, karena mereka sudah pernah mengikuti Taqlid, Jumud, Khurafat, Bid'ah., Tahayul dan Syirik. PERSIS meyakini bahwa dakwah tidak hanya saat masyarakat memanggilnya, tetapi juga fakta bahwa mereka sangat membutuhkan pembinaan. Dalam hal ini, mereka menganalogikan situasi masyarakat jahiliyah, mereka tidak ingin kedatangan Nabi Muhammad SAW, namun tetap diutus untuk berdakwah kepada mereka. PERSIS didirikan karena kebutuhan akan keberadaan seorang Nabi, karena kedatangan Nabi Muhammad membutuhkan pembaharuan dan pembentukan kembali masyarakat yang bodoh. PERSIS didasarkan pada tugas suci untuk menyelamatkan orang-orang dari Jumud (jurang pemikiran yang stagnan) dan menutup gerbang Ijtihad.

Saat itu Bid'ah, Khurafat, Tahayul dan Taqlid serta penyakit-penyakit lainnya, masih menyelimuti kondisi sosial masyarakat Indonesia saat itu, oleh karena itu PERSIS akan memberantas "penyakit-penyakit" tersebut sebagai prioritas utamanya. Menurut Delar Noer (Delar Noer), PERSIS mengutamakan gagasan yang pernah dilaksanakan oleh para founding fathers reformasi Islam. Prinsip dari gagasan ini adalah membebaskan masyarakat dari keyakinan yang sesat, serta membebaskan mereka dari sekitarnya. Pandangan dan keyakinan tersebut telah mempengaruhi moral dan karakter perjuangan Persis sejak awal, bahkan hingga saat ini. Orientasi ini secara umum diterima oleh sebagian besar anggota PERSIS, walaupun harus menyingkirkan sebagian anggota yang menganggap mazhab sebagai pedoman ulama dalam kehidupan beragama. Kemudian, ini merupakan positioning ini dalam piagam perusahaan PERSIS.

PERSIS, Qanun Asasi (Anggaran Dasar) kini telah mengajukan gagasan kegiatan keagamaan sesuai dengan persyaratan Al Qur'an dan as-Sunnah. Tidak semua warga PERSIS memiliki kapasitas yang memadai untuk memahami ajaran agama yang terkandung dalam kedua sumber tersebut. Untuk mewujudkan idealisme tersebut, PERSIS membentuk Majelis Ulama dalam struktur pimpinan pusatnya. Keberadaan dan fungsi Majelis Ulama PERSIS sangat penting terutama untuk menghasilkan apa yang dianggap sepenuhnya sesuai dengan al Qur'an dan as-Sunnah. PERSIS sendiri tidak menuntut adanya kesalahan. Di mata para pimpinan PERSIS, makna pembangunan Islam dapat dijelaskan sebagai "penelitian akademis" dalam studi agama, khususnya di bidang agama.

Secara historis, kajian hadits di Indonesia dimulai dengan kitab-kitab sederhana, seperti Matn al-Arba'in al-Nawawiyah (m. 676H) dan istilah-istilahnya serta karya oleh Imam al-Nawawi (Imam al-Nawawi), Hajar al-'Asqalani (M. 676H), Bulugh al-Maram. 852H). Ilmu hadits adalah "Matn al Baiquniyyah" oleh al-Suyuti (M. 911 H), H.M. Kosakata Muhuhadditsin oleh H.M Arsyad Thalib Lubis (sekitar 1972M) dan Ilmu Mustalah al-Hadits Mahmud Yunus (sekitar 1982M). Buku-buku ini diajarkan di berbagai madrasah dan pesantren di Indonesia. Kedua, pendidikan muslim umum orang-orang Fatwa melalui hasil penelitian. Kajian ini dilakukan oleh ulama' Persis yang dianggap berideologi dan substansial secara moral dan dilembagakan dalam pengurus Persis Ulama. Nantinya, kajian tersebut akan menjadi rapat urusan hukum Panitia Hisbah PERSIS.

b). Pemahaman Kajian Hadits dalam Ormas Islam PERSIS.

Kajian hadis memiliki kedudukan yang sangat penting, karena hadis merupakan sumber kedua setelah al Qur'an. Kajian hadis dibagi menjadi beberapa pembahasan, antara lain: Ilmu mustala al Hadits, Kritik Sanad dan Matan, serta terkait pemahaman hadits. Banyak ulama klasik dan kontemporer yang menulis buku hadits, sehingga mudah untuk melakukan penelitian hadits.[3] Hadits dan as Sunnah adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW, baik itu sebelum diangkat menjadi Nabi atau menjadi Rasulullah SAW, itu adalah bentuk bahasa, tingkah laku, ketetapan dan ciri-ciri.[4]

Dalam pandangan Persis, Ahmad Hassan adalah guru dan tokoh utama Persis, hadits adalah sumber Islam kedua, dan umat Islam harus berpegang padanya. Al Qur'an dan Sunnah mengajarkan umat Islam bagaimana menggunakan perilaku religius dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk doktrin murni yang sesuai untuk setiap waktu dan tempat. Melalui dua hal tersebut dapat menjelaskan segala sesuatu yang ada di bumi dan juga dapat memberikan bukti kebenaran untuk semua aspek kehidupan sehari-hari.

Menurut bahasanya, hadits memiliki arti "pidato, dialog, hal baru atau berita". Pada saat yang sama, sesuai dengan istilah, perkataan, perbuatan dan hal-hal yang dilakukan Nabi Muhammad serta taqrirnya. Taqrir adalah tingkah laku dan percakapan seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, namun ia mengabaikannya. Hadits menurut istilah ini sama dengan as Sunnah.[5]

Ahmad Hassan menjelaskan bahwa hadits adalah "perkataan nabi, perbuatan nabi, dan perbuatan orang lain yang diijinkan olehnya", dan bahwa hadits itu sendiri adalah bagian dari wahyu. Dalam agama, misalnya, amalan-amalan Nabi seperti, ibadah, sholat, dll. Dibatasi oleh wahyu Allah dan menentukan cara yang tepat di mana kewajiban agama harus dipenuhi. Selain itu, jika ada masalah sekuler dan personal, Nabi tidak dibimbing oleh wahyu, melainkan melalui jihad dan upaya spiritual, selama wahyu tidak dikeluarkan untuk mengubah tafsir tersebut, maka dianggap benar.[6]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun