Mohon tunggu...
Rafhael Rafha
Rafhael Rafha Mohon Tunggu... Freelancer - Believer

Hobi menulis dan menyukai sastra terutama cerita pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sangkan Paraning Dumadi

3 Juni 2020   16:38 Diperbarui: 3 Juni 2020   16:45 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah ini dimulai kurang lebih 5 tahun yang lalu tepat ketika aku berumur 16 tahun. Perkenalkan namaku Damar, Damar Darmidjo. Namaku diambil berdasarkan penanggalan Jawa yang disebut Primbon Jawa yang pada umumnya nama bayi yang baru lahir diumumkan 35 hari setelah hari kelahiranku. Namaku sendiri berarti "Penerang Keluarga" sehingga aku diharapkan dapat menjadi penerang bagi keluarga kami. Ayahku adalah seorang keturunan Jawa tulen yang menikah dengan ibuku seorang wanita Sunda yang sangat rupawan. 

Setelah kelahiranku di kampung halaman ibuku di Banyuwangi ayahku memutuskan untuk pindah ke Mojokerto, Jawa Timur karena tugas pekerjaannya di daerah perbatasan sana. Ayahku adalah seorang tour guide para pendaki yang kerap kali pergi keluar kota untuk menemani para pelancong yang ingin mendaki gunung di sekitar pulau Jawa. Tidak pernah terpikirkan olehku mengapa ayahku bisa mengenal setiap lekuk, celah bahkan tempat-tempat di gunung tersebut. Tapi memang ayahku sering mengoleksi benda-benda pusaka peninggalan sesepuh di daerahnya, tetapi kebanyakan merupakan koleksi dari kakekku yang belum lama ini meninggalkan kami selamanya. 

Sejak kecil aku selalu di peringatkan oleh ayah untuk jangan pernah sekalipun membuka lemari pusaka milik kakekku. Aku yang saat itu masih berumur 5 tahun tidak terlalu peduli dengan hal itu toh aku juga masih bocah dan kegiatan yang paling aku tau hanya tidur, makan dan bermain. Akan tetapi ketika aku menginjak umur 15 tahun muncul kejadian aneh yang menurutku baru pertama kali aku lihat di depan mata kepalaku sendiri. 

Ketika itu aku akan pergi ke kamar mandi yang kebetulan posisinya terletak di samping dapur aku terbangun dan berjalan ke lorong kamar yang cahayanya remang-remang dari lampu minyak kecil di beberapa titik dinding, aku berjalan perlahan-lahan karena takut terhantam sesuatu. Ketika melewati ruang tengah aku melihat sekelebat bayangan hitam di ujung mataku yang sedikit di imajinasiku aku gambarkan bertubuh besar dan berpostur tegap. Aku sedikit terkejut dan langsung mengucek mata "ah... mungkin hanya perasaanku saja" tutur batinku padahal jauh di lubuk hatiku ada perasaan takut sebagaimana orang pada umumnya ketika melihat mahluk lain yang bukan berasal dari dimensi yang sama. Aku tertegun diam tanpa sepatah katapun. 

Setelah dari kamar mandi aku segera berlari ke kamar dan gara-gara melihat hal itu aku tidak bisa tidur sama sekali memikirkan apakah khayalanku saja atau memang adanya. 3 hari kemudian aku kembali terbangun di tengah malam, kali ini bukan karena ingin ke toilet, namun karena aku mendengar suara-suara yang cukup menganggu seperti suara dengkuran keras dari ruang tengah. Aku memberanikan diri untuk keluar dan melihat ada apa karena sebelumnya terdengar suara benda jatuh, aku takut apabila itu pencuri yang sedang marak di kampung tempat tinggalku. 

Ketika aku keluar kamar mataku tidak mendapati apapun hanya ruang tengah rumahku saja namun kali ini lemari pusaka ayahku terbuka. Aku melihat ada cahaya berwarna merah di dalamnya aku cukup penasaran namun aku tidak berani untuk mendekatinya. Waktu telah berjalan begitu cepat ketika aku berulang tahun di umurku yang ke-16 tahun ayahku mengatakan bahwa dirinya harus mengajarkanku ilmu yang sangat berharga bagi keluarga ayahku dan harus di turunkan ke penerusnya yaitu anak laki-laki berumur 16 tahun. Memang tidak semuanya namun dari setiap garis keluarga harus ada salah satu yang menjadi "tumbal" agar ilmu tersebut tidak terhenti di ayahku. 

Upacara yang dilakukan dihadiri oleh para tetua daerah ayahku. Cukup menyeramkan bagi orang awam untuk melihat upacara tersebut karena membutuhkan pengorbanan darah ayam cemani terdengar sedikit gila namun itulah adanya aku harus menerima kenyataan bahwa aku adalah penerus generasi mereka. Upacara yang dilakukan berlangung cukup lama setelah tetua membacakan mantra dari aksara Jawa yang sangat-sangat tidak aku mengerti. 

Upacara pembuka selesai, masuk upacara kedua dengan darah ayam cemani yang diteteskan ke atas sebuah boneka yang dibalut kain putih setelah itu badanku terasa seperti terbakar dan ketika itu juga mataku ditutup dengan tanah yang kuketahui dari bekas kuburan tetua adat disana. 

Upacara kedua selesai, dilanjutkan upacara ketiga yang lebih tidak masuk akal aku harus berendam di air yang berisi bunga 7 rupa yang berbau menusuk selama 1 jam yang dalam Bahasa Jawa disebut "Topo Kungkum".  Setelah selesai aku duduk dengan kepala pusing dan badan sakit serta dalam kondisi tidak mengerti apa yang terjadi. Aku sangat shock berat sehingga mengalami demam selama 7 hari aku terbaring di rumah yang berarti aku tidak bisa bersekolah.

Setelah 7 hari aku berisitrahat dan badanku kembali pulih aku kembali bersekolah dengan kondisi muka sedikit pucat. Aku bersekolah dengan tenang pada awalnya namun karena ada kegiatan sore. Kegiatan itu selesai sekitar pukul 5 sore aku segera berkemas dan berjalan menyusuri lorong sekolah menuju tempat parkir, semua teman-temanku masih ngobrol di kelas dan aku harus segera pulang karena ayahku berpesan untuk segera pulang sebelum pukul 6 sore. 

Dalam perjalananku menuju tempat parkir aku merasa ada yang salah dengan hawa lorong tersebut, serasa ada yang mengikutiku namun ketika aku berbalik badan aku hanya melihat lorong yang kosong dengan penerangan remang-remang. Aku merasa seperti ada yang mengikutiku, aku percepat langkahku menuju tempat parkir. 

Dalam perjalanan pulangpun aku harus melewati rumah kosong yang terdapat pohon beringin besar diluarnya. Disana aku merasa seperti ada sosok besar yang "menempel" kepadaku begitulah istilah mistis yang ku dengar. Ketika sampai di rumah aku segera menuju kamarku dan kebetulan ayahku sedang pergi memandu wisatawan di gunung. Aku segera mandi dengan kondisi pundak seperti dibebani benda berat. 

Setelah mandi aku segera makan dan pergi tidur. Ketika tidur aku bermimpi seperti berada di sebuah jalan di daerah pegunungan yang dimana berkabut tebal dan aku sendirian disana tanpa seorangpun. Hawa dingin pegunungan begitu menusuk dan mencekam, sayup-sayup aku mendengar suara seorang perempuan memanggil "ayolah kesini saja, aku dapat mengabulkan apapun yang kau inginkan". 

Kakiku seperti berjalan sendiri menuju sumber suara tersebut dan aku dapati sebuah rumah seperti pondok kumuh dengan dinding kayu rapuh. Kakiku bergerak masuk, didalam rumah aku dapati sebuah ruangan kosong tanpa penerangan kayu yang diakan rayap dan sebuah meja, kursi dan sebuah buku. Aku mendekati meja tersebut dan mengambil buku tersebut. Buku itu memiliki sampul berwarna merah yang terbuat dari kulit. 

Di lembar pertama tidak terdapat keanehan hanya sebuah tulisan berjudul "Kemarilah" aku membuka lembar demi lembar dan semuanya berisi aksara Jawa kuno. Ketika aku membuka lembar ke 7 aku melihat noda darah seperti terciprat darah ketika aku membuka lebar ke 8 aku melihat sebuah gambar sosok wanita cantik yang dari keterangan itu aku baca bahwa dirinya pernah menjadi tumbal sebuah upacara adat dan dia adalah satu-satunya anak perempuan yang mengikuti prosesi adat sama yang aku lakukan pada waktu itu. 

Pada lembar kesembilan aku melihat lembar kosong dan tiba-tiba terdapat tetesan darah yang menetes dari atas. Aku terkejut dan mundur perlahan, ketika aku menengadah ke atas aku melihat sosok perempuan di buku tersebut pada awalnya memang cantik jelita. Namun sepersekian detik kemudian sosoknya berubah menjadi kuntilanak merah. Wajahnya berubah dipenuhi luka bakar, kulit mengelupas, bibir tersayat dan bola matanya beruba menjadi merah. 

Badannya dipenuhi luka tusuk yang telah membusuk dan mengeluarkan belatung yang tentu saja berbau sangat busuk. Dirinya bergerak perlahan mendekatiku tangannya yang penuh luka terbuka seakan ingin menyentuhku, namun tiba-tiba dirinya berhenti dan meraung kencang dirinya seperti dibakar sesuatu, teriakannya sangat nyaring dan aku sampai harus menutup telinga ketika mendengarnya. Dan disaat itu juga aku terbangun dengan kondisi nafas terengah-engah. 

Di depan mataku aku melihat ayahku dan seorang kakek tua yang kuketahui bernama Ki Adman. Dirinya adalah seorang pertapa di gunung dan memiliki ilmu mistis yang sangat kuat. Ki Adman lah yang telah menyelamatkanku dan dirinya mengatakan bahwa apabila dia terlambat sedetik saja aku akan ikut bersama dengan Kuntilanak Merah tersebut dan tidak akan bisa keluar dari alam tersebut yang berarti sama saja dengan mati. Aku sangat ketakutan dan Ki Adman berkata bahwa aku ditempeli oleh sesosok mahluk bertubuh besar yang merupakan anak buah dari Kuntilanak Merah tersebut. 

Aku dituntun berdiri dan ikut dengan Ki Adman untuk bertapa di gunung agar mendapatkan ilmu agar tidak mengalami hal demikian. Aku memohon apakah tidak ada cara lain selain aku harus berinteraksi dengan mahluk dari alam lain demi mendapatkan bantuan agar aku tidak diganggu lagi. Namun tidak ada jalan lain hanya itu satu-satunya jalan agar aku bisa selamat. 

Aku akan pergi di hari kamis karena pada hari jumat merupakan jumat kliwon yang dimana menurut Primbon Jawa di hari tersebutlah para mahluk halus keluar ke alam yang sama dengan manusia untuk menyelesaikan apa yang belum mereka selesaikan di dunia. Karena baru hari senin selama beberapa hari aku selalu mengalami hal-hal yang tidak masuk akal. Bahkan dihari sebelum keberangkatanku aku mengalami mimpi yang dimana aku kembali didatangi oleh Kuntilanak Merah. 

Kali ini berbeda dirinya seperti berusaha untuk membunuhku karena diriku pernah hampir membunuhnya. Dimimpiku aku dicekik hingga hampir kehabisan nafas, kukunya yang tajam menekan leherku hingga berdarah beruntung kali ini aku kembali diselamatkan oleh Ki Adman. Dan aku merasa memang perlu untuk memiliki ilmu agar aku tidak diganggu lagi.

Hari keberangkatanku tiba aku segera pamit dan pergi mengikuti Ki Adman menuju gunung disana sudah disiapkan tempat yang tenang aku disuruh bertapa digunung tersebut dan Ki Adman berpesan satu hal, "Ojo gumunan, tetep eling lan waspada, wong golek pepadhang iku biasanya akeh sing nglangi" yang artinya jangan mudah tergoda barang baru, tetap ingat dan waspada, orang mencari terang itu biasanya banyak yang menghalangi aku sedikit bingung dan pasrah terhadap keadaan yang harus aku lalui. 

Aku sendirian di gunung dan bertapa dengan sekuat tenaga karena banyaknya gangguan astral yang setiap kali mengacaukan pikiranku. Ketika aku berhasil mencapai alam lain aku melihat emas yang sangat banyak jumlahnya, kemudian terdapat peti berisi permata dan benda-benda berkilauan lainnya yang tentu saja menggoda untuk diambil. Aku ingat perkataan Ki Adman fokusku hanya kepada apa yang berada diakhir dari godaan itu. 

Aku berjalan menyusuri nya dan ketika aku mencapai pintu yang memisahkan ruangan tersebut emas-emas itu berubah menjadi tulang belulang manusia, mayat-mayat berhamburan dimana-mana aku terdiam dan kemudian kembali berjalan memasuki pintu kedua. Ketika masuk aku disuguhi oleh benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya dan dari buku yang kubaca apabila aku memilikinya maka aku akan menerima kekuasaan dan kekuatan ilmu gelap seperti ilmu sihir sehingga setiap orang akan tunduk padaku. 

Aku kembali fokus walaupun sempat berpikiran untuk mengambil salah satu pusaka tersebut ku urungkan niatku dan kembali berjalan. Benda-benda pusaka itu menghilang dan berubah menjadi ular berbisa. Aku segera memasuki pintu ketiga dan mendapati keluargaku dan orang-orang terdekatku, namun ketika aku mendekatiny, mata mereka semua tiba-tiba terlepas dan jatuh ke tanah badan mereka penuh dengan luka-luka basah, keluar darah dari mulut dan hidung dan yang paling parah kepala mereka terlepas. 

Aku sangat ketakutan saat itu hanya dapat terdiam tertegun melihat sebuah fatamorgana gila yang sangat menyeramkan. Aku menutup mata dan berlari menuju pintu keempat. Segera setelah aku memasuki pintu yang kutemukan hanya sebuah ruangan kosong sama seperti mimpiku sebelumnya dan kembali aku dapati sosok Kuntilanak Merah yang kali ini menampakan wujudnya dalam paras yang sangat rupawan. 

Namun ketika aku mengatakan "Aku tidak tergoda, aku hanya menginginkan ketenangan untuk diriku dan keluargaku, pergilah aku tidak menganggumu maaf atas apa yang menimpamu". Ketika itu juga dia tersenyum dan berubah kembali ke parasnya yang anggun dan menghilang di akhir itu juga aku telah selesai menyelesaikan pertapaanku aku terbangun dan segera berdiri. Ki Adman mendekatiku dan mengatakan bahwa aku telah selesai dengan apa yang diperintahkan. Aku sudah bebas dari belengu tersebut dan aku bisa pulang. 

Dalam perjalanan menuruni gunung aku diberitahu bahwa sebenenarnya tidak ada kontrak dengan mahluk-mahluk astral tersebut, manusia hanya tidak sengaja bersinggungan dengan mereka dan untuk terbebas manusia hanya perlu ketenangan batin dan berusaha untuk mencari tau kesalahan kita terhadap mereka. Apabila sudah meminta maaf tidak ada yang akan terjadi semuany hanya sebuah kenangan buruk yang menghantui pikiran manusia. 

Aku mengucapkan terimakasih dan ketika aku sampai di rumah aku segera masuk dan mendapati ayah dan ibuku dengan muka yang sedikit pucat dan mengatakan bahwa Ki Adman meninggal dunia 2 hari yang lalu aku sangat shock dan seketika pucat pasi tanpa bisa berkata-kata aku baru saja bertemu dengannya dan bercakap dengannya. Apabila dirinya sudah meninggal maka siapa yang tadi aku temui. Aku tertegun teremenung seakan masih belum menerima yang terjadi dan memikirkan siapa yang aku temui selama aku bertapa di gunung. 

Aku terdiam dan mengingat kejadian demi kejadian dan ternyata aku baru tersadar bahwa selama ini Ki Adman yang akyu temui tidak menginjakan kaki ke tanah dan bersuara parau. Aku masih sedikit bingung apabila itu memang wujud astral dari Ki Adman mengapa dirinya menunjukan dirinya hanya kepadaku dan bukan kepada yang lain. Dirinya memang tertutup namun kenapa dia seakan-akan ingin mengatakan bahwa aku adalah yang terpilih dan hubungan antara manusia dan mahluk astral dapat terjadi melalui diriku.

Ketika aku beranjak dewasa aku menemukan buku kitab Jawa dan menadapati tulisan Sangkan Paraning Dumadi yang berarti hubungan antara manusia dan mahluk dari alam lain mungkin saja terjadi dan dikitab itu pula aku mempelajari sebuah kenyataan yang menjelaskan tentang Ki Adman yang dimana terdapat sosok gaib yang memiliki 2 keperibadian yang satu dapat berperawakan baik dan yang satu memiliki aura membunuh yang menjadi tanda tanya di benakku mengapa Ki Adman dapat tau bahwa aku telah di ganggu oleh Kuntilanak Merah padahal aku belum pernah mengatakan hal itu sebelumnya bahkan ayahku sendiri tidak mengetahui nya. 

Memang manusia harus hidup berdampingan dengan mahluk astral tersebut mau tidak mau karena mereka juga berasal dari manusia yang meninggal dengan cara yang tragis dan mengenaskan sehingga arwah mereka tidak dapat beristirahat dengan tenang dan kembali dalam wujud tertentu untuk membalaskan dendamnya ataupun untuk menyelesaikan yang belum terselesaikan semasa hidupnya. 

Memang tidak dapat aku pungkiri kenyataan pahit bahwa Ki Adman yang aku kira dapat menolongku dapat juga membunuhku apabila aku lengah sedikit saja mungkin aku akan terjebak di alam "mereka" tanpa tau jalan kembali. Aku bersyukur masih dapat hidup walaupun masih mendapati gangguang dari mahluk tak kasat mata namun aku belajar untuk menguatkan imanku dengan ilmu agama agar aku tidak mudah tergoda dengan kekuatan, kekuasaan dan kekayaan semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun