Mohon tunggu...
Raffi Muhamad Faruq
Raffi Muhamad Faruq Mohon Tunggu... Mahasiswa, Peternak, Pengamat sepak bola, dan Pebisnis.

Seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prodi Manajemen Pendidikan Islam. Menerima jasa konsultasi kuliah bagi mahasiswa. Memiliki peternakan Ayam Hias, Ayam Pelung dan Beberapa jenis burung (Perkutut, Derkuku dan Kicau). Menerima ajakan Bal-balan dan diskusi mengenai sepak bola. Menerima pesanan bibit pohon dan bonsai (by request). Menerima dan tidak akan menolak ajakan masuk Surga. Informasi lebih lanjut hubungi 0821-1939-4586 (WA), raffimfrq (Instagram). Raffi Muhamad Faruq (Facebook dan X/Twitter), raffimfrq@gmail.com, hobbypelunggarut@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tafsir Waktu di Era Serba Tergesa-gesa

18 Oktober 2025   20:57 Diperbarui: 18 Oktober 2025   20:04 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: https://www.istockphoto.com/id/vektor/ilustrasi-jam-pasir-desain-kartun-ilustrasi-vektor-dalam-gaya-modern-gm1355287926-429814269

Oleh: Raffi Muhamad Faruq

Waktu,
bukan sekadar detik yang jatuh dari arloji,
melainkan satu ritme hidup yang diam-diam menuliskan dirinya sendiri.
Ia tidak berlari---kita yang tergesa.
Ia tidak hilang---kita yang sering pergi lebih dulu.

Waktu tidak pernah benar-benar berlalu.
Ia hanya berganti bentuk---dari kehadiran menjadi kenangan,
dari kemungkinan menjadi penyesalan,
dari rencana menjadi sisa yang kita sebut pengalaman.
Manusia sering mengira sedang meninggalkan masa lalu,
padahal yang berpindah hanyalah kesadarannya.

Di antara detik yang silih berganti,
ada yang tetap menanti: perasaan yang belum selesai,
doa yang belum sempat diucapkan,
dan wajah-wajah yang masih terbesit di ingatan.
Waktu tidak bisa menghapusnya,
karena ia tidak bekerja seperti penghapus,
melainkan seperti arsip yang menua bersama kita.

Sebagian orang menunggu waktu yang tepat,
padahal waktu tidak pernah menunggu siapa pun.
Ia tidak tahu "tepat waktu" ---
ia hanya tahu "terjadi".
Yang membuatnya berarti adalah kita,
yang memberi tafsir pada tiap peristiwa
dan menyebutnya kebetulan, takdir, atau penundaan.

Waktu adalah ruang paling demokratis.
Ia memberi tempat yang sama untuk kehilangan dan penemuan,
untuk memulai dan mengakhiri.
Namun manusia, dengan segala ambisinya,
terlalu sering memperlakukan waktu seperti musuh,
bukan sebagai guru yang sabar menunjukkan arah pulang.

Dan ketika segalanya telah lewat,
kita akan tahu bahwa waktu bukan sesuatu yang kita jalani,
melainkan sesuatu yang kita ciptakan
setiap kali kita berani hadir sepenuhnya.
Sebab yang paling berharga dari waktu
bukan panjangnya,
melainkan kedalaman yang kita biarkan ia menetap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun