Oleh: Raffi Muhamad Faruq
Waktu,
bukan sekadar detik yang jatuh dari arloji,
melainkan satu ritme hidup yang diam-diam menuliskan dirinya sendiri.
Ia tidak berlari---kita yang tergesa.
Ia tidak hilang---kita yang sering pergi lebih dulu.
Waktu tidak pernah benar-benar berlalu.
Ia hanya berganti bentuk---dari kehadiran menjadi kenangan,
dari kemungkinan menjadi penyesalan,
dari rencana menjadi sisa yang kita sebut pengalaman.
Manusia sering mengira sedang meninggalkan masa lalu,
padahal yang berpindah hanyalah kesadarannya.
Di antara detik yang silih berganti,
ada yang tetap menanti: perasaan yang belum selesai,
doa yang belum sempat diucapkan,
dan wajah-wajah yang masih terbesit di ingatan.
Waktu tidak bisa menghapusnya,
karena ia tidak bekerja seperti penghapus,
melainkan seperti arsip yang menua bersama kita.
Sebagian orang menunggu waktu yang tepat,
padahal waktu tidak pernah menunggu siapa pun.
Ia tidak tahu "tepat waktu" ---
ia hanya tahu "terjadi".
Yang membuatnya berarti adalah kita,
yang memberi tafsir pada tiap peristiwa
dan menyebutnya kebetulan, takdir, atau penundaan.
Waktu adalah ruang paling demokratis.
Ia memberi tempat yang sama untuk kehilangan dan penemuan,
untuk memulai dan mengakhiri.
Namun manusia, dengan segala ambisinya,
terlalu sering memperlakukan waktu seperti musuh,
bukan sebagai guru yang sabar menunjukkan arah pulang.
Dan ketika segalanya telah lewat,
kita akan tahu bahwa waktu bukan sesuatu yang kita jalani,
melainkan sesuatu yang kita ciptakan
setiap kali kita berani hadir sepenuhnya.
Sebab yang paling berharga dari waktu
bukan panjangnya,
melainkan kedalaman yang kita biarkan ia menetap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI