Pagi hari biasanya penuh dengan semangat dan harapan baru. Namun, terkadang emosi yang tak terkendali bisa mengubah hari yang cerah menjadi penuh penyesalan. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah pertengkaran kecil bisa mengajarkanku arti pentingnya mengendalikan amarah dan menjaga persahabatan.
Waktu menunjukkan pukul 05.00 WIB, aku terbangun karena mendengar alarm berbunyi dan adzan salat Subuh. Aku pun melaksanakan salat Subuh, kemudian sarapan. Setelah sarapan, aku mandi dan bersiap-siap. Aku memakai baju sekolah dan sepatu, lalu berangkat ke sekolah.
Tiba di sekolah, seperti biasanya pagi-pagi diadakan apel dan pengumuman. Setelah apel, aku dan teman-temanku masuk ke dalam kelas dan menunggu guru masuk. Guru kemudian masuk, menjelaskan materi pelajaran, dan memberi tugas.
Bel berbunyi, menandakan waktu istirahat. Aku pergi ke kantin dan bertemu teman dari kelas lain, lalu mengajaknya membeli makanan. Setelah membeli makanan, kami mencari meja untuk duduk dan menikmati makanan kami. Setelah makan, temanku membawa bola dan mengajak aku dan teman-teman bermain bola.
Kami pun bermain bola. Kami membagi tim dan bermain dengan bahagia dan penuh semangat. Namun, saat timku kebobolan lima gol, suasana yang tadinya santai berubah menjadi panas. Aku dan teman-temanku mulai merasa kesal.
Di tengah permainan, kawanku mengoper bola ke arahku, lalu aku membawa bola. Ketika hendak menendang bola ke gawang, tiba-tiba temanku menendang kakiku hingga aku terjatuh.
Saat aku terjatuh, aku langsung berdiri dengan emosi yang memuncak karena permainan semakin panas. Dalam pikiranku, aku ingin meninju temanku. Secara sadar, aku mengejar temanku dan meninju wajahnya.
Kami pun berkelahi. Aku dan temanku saling memukul satu sama lain. Teman-teman lain berusaha melerai, tetapi tidak berhasil. Karena temanku terlalu tengil, emosiku semakin memuncak dan aku meninju mukanya dengan keras.
Temanku berdarah dari hidungnya dan langsung pusing, lalu terjatuh. Aku langsung berhenti berkelahi. Emosi yang sebelumnya memuncak berubah menjadi rasa cemas.
Guru pun datang karena banyak orang berkumpul di tempat kami berdua. Guru memarahi aku. Aku terdiam, merasa menyesal mengapa aku sampai berkelahi hingga membuat hidung temanku berdarah.
Guru membawa temanku ke UKS untuk menghentikan pendarahan di hidungnya. Aku berdiri di depan pintu UKS. Dalam hati aku merasa menyesal, bersalah, dan bertanya-tanya mengapa hal ini bisa terjadi. Temanku kemudian pulang untuk dirawat di rumah.