Indonesia saat ini menghadapi berbagai persoalan besar yang saling berkaitan. Masalah yang terlihat sederhana ternyata bisa mencerminkan persoalan bangsa yang sangat kompleks. Hal itu bisa kita lihat dari tiga tulisan yang berbeda, yaitu artikel F. Rahardi Fobia Ulat Bulu di Negeri Hantu, editorial Tempo Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal, dan kolom Budiman Tanuredjo Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati. Ketiga tulisan tersebut menunjukkan betapa rapuhnya kehidupan berbangsa, mulai dari ketakutan masyarakat, lemahnya penegakan hukum, hingga hilangnya keteladanan pemimpin.
F. Rahardi dalam artikelnya menjelaskan bahwa ledakan populasi ulat bulu sebenarnya bukan ancaman serius. Ia menilai bahwa ketakutan berlebihan justru merugikan diri sendiri. Ia menulis, “Fobia terhadap apa pun pada akhirnya akan merugikan si penderita. Terlebih bila fobia itu terjadi secara massal dan berkepanjangan seperti di republik hantu ini.” Dari pernyataan itu kita bisa melihat bahwa masyarakat Indonesia sering kali terjebak pada ketakutan yang tidak perlu. Bahkan pemimpin negeri juga mengalami hal yang sama. Mereka takut kehilangan jabatan, takut dimakzulkan, dan takut dikeluarkan dari lingkaran kekuasaan. Akhirnya bangsa ini seolah hidup dalam lingkaran fobia nasional.
Jika Rahardi mengkritik soal fobia, editorial Tempo menyoroti lemahnya penegakan hukum dalam kasus pagar laut ilegal di Banten. Sejak awal kasus ini sudah terlihat aneh karena melibatkan banyak pihak tetapi tidak jelas siapa yang bertanggung jawab. Editorial tersebut menulis, “Buruknya penanganan perkara ini bukan tidak mungkin bakal menyulut bara konflik sosial.” Dari sini kita tahu bahwa masalah pagar laut bukan sekadar urusan teknis pemasangan pagar, melainkan cermin dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola masalah hukum. Kasus yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cepat justru berlarut-larut. Hal ini membuat masyarakat semakin tidak percaya pada pemerintah dan aparat hukum.
Lebih jauh lagi, Budiman Tanuredjo dalam kolomnya membahas tentang sumpah dan etika yang kini hanya menjadi teks mati. Anggota DPR yang sudah mengucapkan sumpah ternyata sering melanggarnya dengan membuat aturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Budiman menulis, “Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum… rasanya belum ada perubahan signifikan. Soal krisis keteladanan rasanya itulah kenyataan yang ada.” Dari tulisan ini kita diajak untuk menyadari bahwa bangsa kita kekurangan tokoh teladan. Padahal, Indonesia pernah memiliki banyak tokoh besar seperti Hatta, Agus Salim, hingga Gus Dur. Keteladanan tokoh-tokoh itu hilang dan belum tergantikan sampai sekarang.
Jika ketiga tulisan tersebut kita hubungkan, terlihat jelas bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis multi dimensi. Masyarakat dan pemimpin yang mudah takut hanya akan melemahkan keberanian untuk menghadapi persoalan besar. Lemahnya hukum memperparah keadaan karena rakyat merasa tidak mendapat keadilan. Sementara itu, hilangnya keteladanan membuat bangsa ini kehilangan arah dan tujuan.
Sebagai pelajar, saya merasa artikel, editorial, dan kolom ini penting untuk dibaca. Kita jadi sadar bahwa masalah bangsa bukan hanya tanggung jawab pemimpin, tetapi juga masyarakat yang harus lebih kritis. Generasi muda seharusnya tidak ikut larut dalam fobia massal, tetapi berani menghadapi kenyataan. Kita juga perlu menuntut agar hukum ditegakkan dengan adil dan mengharapkan munculnya pemimpin yang benar-benar berintegritas. Dengan begitu, sumpah dan etika tidak lagi menjadi teks mati, melainkan pedoman nyata untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI