Mohon tunggu...
Rafael
Rafael Mohon Tunggu... Pelajar

Pelajar asal Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fobia Ulat Bulu dan Ketakutan Kolektif

9 Oktober 2025   16:27 Diperbarui: 9 Oktober 2025   16:27 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ulat bulu (halodoc.com)

Pernahkah Anda melihat ulat bulu merayap di tembok atau pohon, lalu tiba-tiba orang-orang panik dan menyemprot racun serangga? Pemandangan ini bukan hal asing di negeri kita. Padahal, seperti yang ditegaskan F. Rahardi dalam artikelnya "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu", ledakan populasi ulat bulu bukan ancaman serius bagi lingkungan, pertanian, atau kesehatan.

Fobia massal terhadap ulat ini justru merugikan diri sendiri. Masyarakat begitu mudah ketakutan pada hal yang sebenarnya alami, tapi sering abai pada persoalan besar yang jauh lebih mengancam. Di sinilah kritik tajam Rahardi menjadi relevan untuk kita renungkan.

Mari jujur: siapa yang suka melihat ulat bulu? Penampilannya memang bikin merinding. Tapi faktanya, ulat bulu adalah larva kupu-kupu. Setelah bermetamorfosis, merekalah yang terbang indah di taman-taman. Ironisnya, kita membenci bentuk awalnya tapi memuja hasil akhirnya.

Rahardi bahkan mengingatkan, pada tahun 1950--1960-an saat Indonesia mengalami krisis pangan, masyarakat pernah mengonsumsi pupa ulat avokad sebagai sumber protein. Ulat dianggap sumber kehidupan, bukan sumber bahaya. Dulu orang mengandalkan alam. Sekarang, sedikit ulat muncul saja, kita panik seperti kiamat kecil.

Yang lebih menarik, Rahardi juga menunjukkan bahwa cuaca ekstrem dan hilangnya predator alami akibat pestisida justru mempercepat ledakan populasi ulat. Jadi bukan ulatnya yang salah, tetapi cara kita memperlakukan alam.

Rahardi menyebut Indonesia sebagai "republik hantu." Maksudnya? Kita sering dikuasai ketakutan yang tidak proporsional. Presiden takut dimakzulkan, menteri takut di-reshuffle, partai takut keluar koalisi, semua sibuk dengan ketakutan sendiri. Sementara rakyatnya panik pada ulat bulu yang tidak berbahaya.

Sebenarnya, yang harus ditakuti bukan ulat, tapi kerusakan lingkungan, kemiskinan struktural, dan krisis moral para pemimpin. Fobia terhadap ulat hanya menunjukkan betapa gampangnya kita dialihkan dari masalah besar oleh hal-hal kecil.

Saya sepakat dengan pandangan Rahardi: energi ketakutan itu sebaiknya diarahkan ke tempat yang tepat. Daripada menyemprot racun membabi buta, lebih baik kita belajar memahami siklus alam. Ulat hanyalah satu bagian kecil dari ekosistem yang jauh lebih besar.

Ketika kita belajar menerima kehadiran ulat, kita sebenarnya sedang belajar menjadi masyarakat yang lebih dewasa secara ekologis. Alam tidak butuh ketakutan kita, alam butuh pemahaman kita.

Fobia ulat bulu mencerminkan betapa rentannya kita sebagai bangsa dalam menghadapi hal-hal sederhana. Padahal, di balik tubuh kecil mereka, ada pelajaran besar: bahwa alam bekerja dengan caranya sendiri. Jika kita mau mendengar, ketakutan bisa berubah menjadi pemahaman.

Ulat akan menjadi kupu-kupu. Semoga kita juga bisa berubah, dari masyarakat yang gampang takut menjadi masyarakat yang lebih cerdas mencintai alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun