Sejauh yang kuingat, sejak dulu aku sudah sangat mengagumi Ibuku. Empat puluh tahun dengan paras aristokrat yang mengagumkan. Selain permunculannya yang menawan, Ibu juga memiliki aura feminin yang sangat kuat. Apa pun yang ia lakukan akan tampak elok, bahkan sekadar meminum secangkir teh. Setiap kali berbicara, mengutarakan pendapat, atau hanya sebatas tersenyum---kelopak-kelopak bunga seolah hadir di sekitarnya.
Membicarakan kecantikan Ibu memang tiada habis-habis. Tak heran saat remaja dulu kutemukan puluhan puisi berisi utaraan kekaguman seorang laki-laki bernama Adipati padanya. Aku sering membaca puisi-puisi itu---disimpan oleh Ibu di perpustakaan rumah kami, lembaran-lembarannya tersusun rapi dalam sebuah kotak kayu yang tidak dikunci.
Perpustakaan adalah tempat favoritku di rumah, walaupun harus kucium aroma buku-buku tua dan kertas lama yang khas dan terkadang mengganggu---membuatku bersin-bersin tak keruan. Di sana, di sudut ruangan diterangi cahaya matahari yang akan tenggelam, aku kerap berlama-lama membaca sajak-sajak Adipati sampai lupa waktu.
Kau tahu apa yang membuatku betah membacanya? Cara laki-laki itu memandang Ibu sama seperti aku. Yang paling istimewa dari Ibu bukan kecantikannya, bukan pula kepintaran atau perangainya yang lembut, namun ketegaran luar biasa ia miliki. Apa kata laki-laki itu? Rosana... seperti botol kaca yang terombang-ambing di lautan, tidak ingin hancur meski ombak bergulung-gulung tinggi menghempasnya.
Ibuku cukup pendiam dan tertutup. Tapi bukan berarti ia tidak ramah, apalagi angkuh. Lihat saja wajahnya ketika berbicara dengan orang lain, teduh sekali. Dulu, Ibu senang memakai gaun dengan warna cerah atau bermotif floral, tapi semenjak cerai dari suami pertamanya 15 tahun yang lalu, ia lebih memilih mengenakan sweater panjang, kaos, hoodie, baju-baju nyaman. Pernah kudengar ia bertanya pada pengasuhku, "Nina, di mana kira-kira aku bisa dapat baju-baju nyaman seperti ini lagi?" lalu ia minta diantarkan langsung ke toko-toko thrift pinggir laut itu. Pulang-pulang tumpukkan baju murahan itu sudah tergeletak di kamarnya. Ketika kuhampiri, ia hanya menyunggingkan tawa sungguhan yang sudah lama tak kulihat. Oh, jangan lupa, kau tahu apa yang ia lakukan tiga hari setelah resmi berpisah? Dipotongnya rambut panjang itu habis! Maksudku, cepak. Ya, cepak sependek rambut laki-laki kebanyakan.
Model rambut pendek menurutku pantas-pantas saja pada wajah Ibu yang manis dan kepalanya yang mungil. Namun, orang-orang dulu katakan Ibuku sudah gila---kalau bukan anak kecil ingin kurobek saja mulut-mulut jahat itu.
Walaupun banyak orang mengatakan hal tidak mengenakan tentang dirinya, Ibu tidak pernah terusik... hanya aku yang mendidih.
Dalam batas kegilaan dan kewarasanku, Ibuku adalah karya seni yang dipajang dalam museum, aku penjaganya. Menurutku orang lain yang tidak tahu dan tidak mengenalnya hanya bisa melihat, barangkali mengagumi atau sedikit-sedikit menghinanya. Meskipun semestinya walau mereka tidak mengenal, setidaknya mereka mengerti bahwa... sama seperti mereka, setiap manusia dengan hidupnya sangatlah kompleks---dan oleh karena itu tidaklah adil bila mereka merendahkan ibuku... meski di dalam kepala.
Ah tapi sudahlah... aku mengerti (lagi-lagi harus pihak yang cukup terkena yang memaklumi). Begitulah jalannya dunia. Mau bagaimana pun aku telah tumbuh menyaksikan kehidupannya---mungkin lebih adil kubilang separuhnya. Intinya, aku mulai paham bahwa sebenarnya mereka itu... hanya kebingungan... dengan Ibuku.
Tapi persetan-lah dengan kebingungan-kebingungan itu. Tidak semua hal harus dijawab. Sudah dijawab-pun, tidak semua hal bisa diterima.
Yang terpenting bagiku hanya satu, akan kulindungi Ibuku ini baik-baik. Dan kalau memang ada laki-laki atau siapa pun yang berniat mengacaukan hidup Ibuku lagi, harus ia langkahi aku dulu---seperti yang mereka bilang---anak perempuan yang rela mati melindungi Ibu angkatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI