Mohon tunggu...
Radit ramadana
Radit ramadana Mohon Tunggu... Mahasiswa universitas Peradaban Bumiayu

Santri ponpes Bustanul arifin bantarkawung dan mahasiswa Universitas Peradaban Bumiayu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dunia Tak Lagi Sama: Saatnya Kurikulum Indonesia Berpikir Global, Bertindak Lokal

12 Mei 2025   13:00 Diperbarui: 12 Mei 2025   11:26 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://Shutterstock.com

Globalisasi telah mengubah cara manusia berinteraksi, bekerja, dan belajar. Dalam bidang pendidikan, dampaknya terlihat jelas pada tuntutan agar sistem pendidikan, khususnya kurikulum, mampu merespons perubahan global secara cepat dan tepat. Giddens (2020) dalam bukunya The Consequences of Modernity menyatakan bahwa globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan satu peristiwa di satu tempat dengan peristiwa di tempat lain secara langsung. Ini menciptakan tantangan baru dalam pendidikan, terutama dalam merancang kurikulum yang relevan, adaptif, dan berwawasan internasional.

Schleicher (2019), dalam buku World Class: How to Build a 21st-Century School System, menjelaskan bahwa negara-negara yang berhasil di bidang pendidikan adalah mereka yang mengembangkan kurikulum berdasarkan kebutuhan masa depan, dengan penekanan pada kreativitas, inovasi, dan kemampuan berpikir kritis. Hal ini sejalan dengan pendapat Trilling dan Fadel (2021) dalam 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times, yang menekankan pentingnya pengembangan keterampilan abad ke-21, seperti kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan literasi digital, sebagai bagian tak terpisahkan dari kurikulum modern.

Pentingnya pendidikan global juga ditegaskan oleh UNESCO (2023) dalam Global Citizenship Education: Topics and Learning Objectives, yang merekomendasikan integrasi isu-isu global seperti keberlanjutan lingkungan, hak asasi manusia, dan perdamaian dunia ke dalam kurikulum nasional. Dengan pendekatan ini, peserta didik tidak hanya dibekali dengan kemampuan akademis, tetapi juga dibentuk menjadi warga dunia yang bertanggung jawab.

Sebagaimana dijelaskan oleh Banks (2019) dalam Diversity and Citizenship Education: Global Perspectives, kurikulum multikultural sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran akan keadilan sosial, keragaman budaya, dan toleransi dalam masyarakat. Sementara itu, pendekatan glokalisasi yang dikemukakan oleh Rizvi dan Lingard (2022) dalam Globalizing Education Policy menekankan bahwa kurikulum harus mampu menyerap nilai-nilai global tanpa kehilangan akar budaya lokal. Ini berarti pendidikan harus mencerminkan kearifan lokal sembari mempersiapkan peserta didik untuk tantangan global. 

Meski demikian, reformasi kurikulum bukanlah tugas yang sederhana. Fullan (2020) dalam The New Meaning of Educational Change mengingatkan bahwa keberhasilan perubahan kurikulum sangat bergantung pada keterlibatan semua pemangku kepentingan, terutama guru. Peran guru sangat krusial dalam menerjemahkan kebijakan kurikulum ke dalam praktik pembelajaran yang kontekstual. Dalam kaitannya dengan ini, Darling-Hammond et al. (2019) dalam Preparing Teachers for Deeper Learning menekankan bahwa kualitas guru sangat mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Maka, pelatihan guru yang berkelanjutan dan kontekstual menjadi keharusan.

Namun, perubahan kurikulum juga kerap menghadapi resistensi. Smith (2021), yang mengulas kembali pemikiran Beauchamp, menjelaskan bahwa kurikulum merupakan produk sosial yang sarat dengan muatan ideologi, budaya, dan kepentingan politik. Oleh karena itu, perubahan kurikulum tidak hanya merupakan isu teknis, melainkan juga persoalan politis dan kultural.

Sebagai contoh praktik baik, Finlandia telah menunjukkan bagaimana kurikulum dapat dikembangkan dengan menyeimbangkan nilai-nilai lokal dan global. Sahlberg (2018) dalam FinnishED Leadership menguraikan bahwa kesuksesan sistem pendidikan Finlandia didorong oleh kepercayaan pada guru sebagai agen perubahan dan pendekatan kurikulum yang manusiawi dan holistik.

Pada akhirnya, kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang membebaskan. Seperti ditegaskan oleh Paulo Freire, yang dikutip oleh Torres (2020) dalam The Student as a Critical Thinker, pendidikan harus menjadi alat emansipasi, yang membentuk peserta didik menjadi individu yang kritis, sadar sosial, dan berpihak pada kemanusiaan. Maka dari itu, kurikulum Indonesia harus mampu berpikir global tanpa melupakan pijakan lokal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun