Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Subkultur Geng Motor di Jatinangor

26 November 2015   12:57 Diperbarui: 26 November 2015   13:10 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Inggris, kita terbang lagi ke Jatinangor. Sebuah pertanyaan pun berkelebat: mengapa Jatinangor? Mengapa saya justru jarang mendengar adanya kabar serupa di Bandung? Atau saya saja yang kudet? Yah, entahlah. Tapi, kalaupun memang ada kabar serupa yang melibatkan mahasiswa sebagai korbannya di daerah Bandung, Jatinangor pasti sudah ramai, mengingat kedua daerah itu sudah seperti kakak-adik.

Apa karena Jatinangor berada di perbatasan kedua daerah: Bandung dan Sumedang? Dan daerah yang perbatasan-perbatasan itu dianggap less civilized atau kurang "ngota"? Tapi, bukannya Jatinangor kota pendidikan, meski predikat itu belum seterkenal Jogja.

Nah, sepertinya dari titik inilah subkultur bisa bebas keluar-masuk kawasan ini. Bisa dibilang, fakta bahwa daerah Jatinangor itu sendiri masih menarik ulur statusnya antara area "kurang kota" dan area pendidikan, menjadi sasaran tersendiri bagi geng motor. Sementara di Bandung, bergabung dengan geng motor justru menjadi gengsi tersendiri bagi orang "kota". Motor mahal (tak hanya besar), jaket kulit mentereng, dan kacamata hitam seksi menjadi "touchstone" tadi untuk menaikkan harga diri anggotanya.

Dengan begitu, saya bukannya tidak suka dengan mereka yang bergabung dalam subkultur tertentu. Kaum punk, geng motor, komunitas gay, atau "kaum-kaum" lainnya, memiliki agenda politiknya, orientasi, dan keberpihakannya masing-masing, sama saja seperti mereka yang masuk (atau dimasukkan) dalam kaum nonsubkultural.

Yang menjadi berbahaya dan mengerikan, adalah ketika, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, kaum-kaum itu membuat definisi dunia mereka sendiri, menjunjung idealisme kelompok, menganggap benar diri, dan menolak berdialog. Kalau sudah begitu, ya mau tak mau, kekacauanlah yang akan didapat.

Seperti akhir postingan mahasiswa di media sosial itu, tulisan ini juga mengingatkan bahwa tidak ada yang lebih menyelamatkan dibandingkan bersikap waspada terhadap apapun.

(Termasuk terhadap Melodi JKT 48!)

Salam.

 

Rujukan

Dick Hebdige. 1999. "The Function of Subculture". Subculture: The Meaning of Style. New York: Routledge.

https://kitabgaul.com/word/beceng

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun