Bulan Mei bukan hanya tentang romantisme reformasi, tapi Mei adalah bulan perlawanan.
Dinamika ekonomi, sosial dan politik menggebu pada era pengujung 1990-an buntut krisis moneter dan runtuhnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Puncaknya terjadi pada pertengahan Mei 1998.
Aksi demonstrasi besar terjadi di Jakarta, 12 Mei '98, empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak aparat di dalam area kampus. Hal tersebut menjadi katalisator kemarahan publik yang lebih besar dan memicu gelombang kerusuhan.
Sehari setelah Tragedi Trisakti, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia dilanda kerusuhan massal yang menyasar etnis Tionghoa, penjarahan rumah dan toko, hingga kekerasan seksual. "Kami akan habisi cina di Jakarta" kata sekelompok orang dengan penampilan tegap, rambut cepak, dengan sepatu lars, yang membakar hidup-hidup Eng Liong Woen, warga Jakarta Pusat.
15 Mei 98 jadi puncaknya, Jakarta jadi lautan api. Menurut data dari TGPF, setidaknya sebanyak 1.217 orang tewas di tertembak dan terbakar, 488 orang korban kebakaran di Mal Klender, dan 85 perempuan jadi korban pemerkosaan, dan 22 aktivis diculik Tim Mawar-Pasukan Khusus TNI AD yang dipimpin Presiden kita saat ini.
Royalti 'kamis' dan 'anak itu belum pulang'
Kami di generasi ini ingin merawat cerita untuk generasi selanjutnya agar informasi ini tidak terputus, salah satunya dengan cara menuangkannya ke dalam 2 track di Album Doves, '25 on Blank Canvas milik Hindia.
Track 'kamis' menceritakan sudut pandang seorang Ibu Sumarsih terhadap anaknya, Wawan, seorang mahasiswa yang tewas ditembak aparat bukan karena bertindak represif, vandalis, atau radikal, tetapi justu ketika ia berusaha menolong salah seorang temannya yang tertembak lebih dahulu.