Mohon tunggu...
H.  Rackhmad Kristianto Adi
H. Rackhmad Kristianto Adi Mohon Tunggu... Kurikulum

Saya Guru Fisika di SMA Sedes Sapientiae Jambu, sekolah swasta Katolik berasrama yang berfokus pada pembentukan karakter dan pendidikan holistik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghidupkan Pancasila dengan Rasa, Nalar, dan Kehendak

1 Oktober 2025   05:15 Diperbarui: 1 Oktober 2025   05:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Indonesia.  https://www.bing.com/images/

"Pancasila bukan sekadar teks yang kita hafalkan, melainkan nafas hidup yang menuntun rasa, nalar, dan kehendak bangsa untuk tetap berdiri bersama."

Setiap 1 Oktober kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Tanggal ini lahir dari sejarah kelam bangsa: peristiwa 30 September 1965, ketika ada upaya mengguncang fondasi negara dengan kekerasan. Namun bangsa ini tetap berdiri. Pancasila terbukti sakti---tidak tergoyahkan oleh ancaman apa pun. Bung Karno pernah mengingatkan, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah." Maka setiap kali kita memperingati hari ini, kita tidak sekadar bernostalgia, melainkan merenung: bagaimana Pancasila harus hidup dalam diri kita sekarang?

Tema tahun 2025, "Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya", terasa sangat kontekstual. Kita hidup di zaman ketika wajah Indonesia tidak selalu indah. Kita melihat demonstrasi yang kadang berujung anarkis dengan perusakan fasilitas publik. Kita mendengar kabar korupsi yang masih merajalela, bahkan di lembaga yang seharusnya jadi teladan. Kita menyaksikan partai politik yang berdebat dengan nada kasar, saling menghujat di layar televisi. Kita merasakan hukum yang sering kali tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Di tengah kenyataan seperti itu, kita bertanya: apakah Pancasila masih hidup, atau hanya tersimpan di buku pelajaran dan naskah upacara?

Menyapa Pancasila dalam Kehidupan Kekinian

Lima sila Pancasila bukanlah hiasan, melainkan penuntun hidup. Mari kita lihat dalam konteks situasi bangsa saat ini.

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
    Sila pertama mengingatkan bahwa iman seharusnya melahirkan kasih dan kerendahan hati. Namun kadang agama dipakai sebagai alat politik, bahkan jadi pemicu perpecahan. Padahal, seperti pernah ditegaskan Mohammad Hatta, "Pancasila bukan untuk satu golongan, melainkan untuk semua." Nilai ketuhanan yang sejati mestinya menghadirkan cinta, bukan kebencian.

  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
    Kita masih sering melihat kekerasan dalam demonstrasi, atau orang yang diperlakukan tidak adil. Sila kedua mengajak kita menempatkan sesama sebagai manusia, bukan musuh. B.J. Habibie pernah berpesan, "Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya. Tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup." Itulah makna kemanusiaan yang sejati---perpaduan antara kasih dan akal sehat.

  3. Persatuan Indonesia
    Sila ketiga menegaskan bahwa keberagaman adalah kekuatan. Tetapi faktanya, perbedaan suku, agama, atau pilihan politik sering jadi jurang perpecahan. Dialog politik pun kadang berubah jadi arena saling ejek. Padahal Bung Karno sudah berkata, "Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsanya hidup dalam damai dan persaudaraan." Indonesia hanya bisa tegak jika kita memilih bersatu, bukan tercerai-berai.

  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
    Musyawarah seharusnya jadi roh demokrasi. Sayangnya, kita sering melihat politik yang sarat transaksi, bukan kebijaksanaan. Yang muncul bukan hikmat, tapi perebutan kursi. Sila keempat mengingatkan: musyawarah adalah jalan menemukan kebijaksanaan bersama, bukan arena saling menjegal.

  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
    Korupsi, hukum yang tidak tegak, ketimpangan sosial---semua ini tantangan nyata sila kelima. Pancasila menuntut agar keadilan tidak hanya jadi milik segelintir orang. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan, "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Kepemimpinan yang sejati adalah yang memberi teladan dan menebar keadilan bagi semua, bukan untuk diri sendiri.

Kelima sila itu menjadi cermin. Pertanyaannya: apakah kita sudah bercermin dengan jujur, atau hanya sekadar membaca teksnya?

Mengolah Tiga Daya: Rasa, Nalar, dan Kehendak

Pancasila akan hidup kalau kita mengolah tiga daya manusia:

  • Rasa: melatih empati dan kepedulian, sehingga kita tidak gampang membenci atau menyakiti.
  • Nalar: membekali diri dengan berpikir kritis, agar tidak mudah terjebak hoaks atau manipulasi.
  • Kehendak: menggerakkan kita untuk bertindak, dari hal sederhana seperti jujur dalam ujian sampai menolak praktik korupsi.

Tanpa ketiga daya ini, Pancasila akan mandek sebagai hafalan. Dengan ketiganya, ia jadi jalan hidup.

Peran Pendidikan: Sekolah dan Perguruan Tinggi

Dalam situasi bangsa yang penuh riuh ini, peran pendidikan sangat krusial. Ki Hadjar Dewantara sudah menegaskan bahwa pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

  • Sekolah dasar hingga menengah adalah tempat menanam karakter. Dari hal sederhana seperti menghargai guru, disiplin waktu, atau jujur saat ujian---itulah Pancasila yang dipraktikkan.
  • Sekolah berasrama maupun non-asrama adalah miniatur Indonesia. Siswa dari latar belakang berbeda hidup bersama. Mereka belajar toleransi, gotong royong, dan saling memahami.
  • Perguruan tinggi harus melahirkan bukan hanya sarjana, tetapi juga intelektual yang kritis sekaligus berjiwa kebangsaan. Habibie pernah berkata, "Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi." Generasi muda harus berani mengambil peran membawa nilai Pancasila ke dunia nyata.

Pendidikan menjadi jembatan agar Pancasila tidak berhenti di ruang kelas atau podium upacara. Ia harus mengalir ke kebiasaan sehari-hari: antre di kantin, berdiskusi di kelas, hingga menggunakan media sosial dengan etika.

Refleksi di Tengah Riuh Bangsa

Hari-hari ini, kita menyaksikan realitas yang pahit: demonstrasi yang berujung kekerasan, korupsi yang mencederai rasa keadilan, perdebatan politik yang kasar di televisi, hukum yang tidak tegak. Semua itu bisa membuat kita pesimis. Namun, jangan lupa, Pancasila lahir dan terbukti tangguh justru dalam situasi sulit.

Kesaktian Pancasila bukan karena teksnya magis, melainkan karena kita bersedia menghidupinya. Ia sakti ketika ada keberanian untuk jujur, tekun membangun persaudaraan, dan berani melawan kebencian. Ia sakti ketika siswa memilih belajar dengan disiplin, guru mengajar dengan kasih, dan pemimpin meneladani dengan jujur.

Seperti kata Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa para pahlawannya." Maka memperingati Hari Kesaktian Pancasila adalah juga memperingati jasa Pancasila itu sendiri---sebuah ideologi yang telah menjaga kita tetap utuh.

Penutup

Hari Kesaktian Pancasila adalah ajakan untuk kembali ke jati diri. Ia mengingatkan bahwa bangsa ini tidak akan pernah besar jika kehilangan rasa, nalar, dan kehendak yang berakar pada Pancasila.

Pendidikan, sekolah, dan perguruan tinggi memegang peran penting agar Pancasila terus hidup di generasi muda. Kita tidak bisa menyerahkan nasib bangsa hanya pada politik atau hukum. Harapan itu ada di ruang belajar, di keluarga, dan di hati setiap anak bangsa.

Tantangan kita memang berat, tapi justru di situlah Pancasila diuji: apakah ia hanya simbol, atau sungguh pedoman?

Mari kita pilih yang kedua: menjadikan Pancasila sebagai kompas hidup. Bukan sekadar slogan, tapi jalan bersama. Dengan begitu, kita sungguh bergerak menuju Indonesia Raya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun