Mohon tunggu...
H.  Rackhmad Kristianto Adi
H. Rackhmad Kristianto Adi Mohon Tunggu... Kurikulum

Saya Guru Fisika di SMA Sedes Sapientiae Jambu, sekolah swasta Katolik berasrama yang berfokus pada pembentukan karakter dan pendidikan holistik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghidupkan Pancasila dengan Rasa, Nalar, dan Kehendak

1 Oktober 2025   05:15 Diperbarui: 1 Oktober 2025   05:03 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Indonesia.  https://www.bing.com/images/

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Korupsi, hukum yang tidak tegak, ketimpangan sosial---semua ini tantangan nyata sila kelima. Pancasila menuntut agar keadilan tidak hanya jadi milik segelintir orang. Ki Hadjar Dewantara mengajarkan, "Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani." Kepemimpinan yang sejati adalah yang memberi teladan dan menebar keadilan bagi semua, bukan untuk diri sendiri.

Kelima sila itu menjadi cermin. Pertanyaannya: apakah kita sudah bercermin dengan jujur, atau hanya sekadar membaca teksnya?

Mengolah Tiga Daya: Rasa, Nalar, dan Kehendak

Pancasila akan hidup kalau kita mengolah tiga daya manusia:

  • Rasa: melatih empati dan kepedulian, sehingga kita tidak gampang membenci atau menyakiti.
  • Nalar: membekali diri dengan berpikir kritis, agar tidak mudah terjebak hoaks atau manipulasi.
  • Kehendak: menggerakkan kita untuk bertindak, dari hal sederhana seperti jujur dalam ujian sampai menolak praktik korupsi.

Tanpa ketiga daya ini, Pancasila akan mandek sebagai hafalan. Dengan ketiganya, ia jadi jalan hidup.

Peran Pendidikan: Sekolah dan Perguruan Tinggi

Dalam situasi bangsa yang penuh riuh ini, peran pendidikan sangat krusial. Ki Hadjar Dewantara sudah menegaskan bahwa pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.

  • Sekolah dasar hingga menengah adalah tempat menanam karakter. Dari hal sederhana seperti menghargai guru, disiplin waktu, atau jujur saat ujian---itulah Pancasila yang dipraktikkan.
  • Sekolah berasrama maupun non-asrama adalah miniatur Indonesia. Siswa dari latar belakang berbeda hidup bersama. Mereka belajar toleransi, gotong royong, dan saling memahami.
  • Perguruan tinggi harus melahirkan bukan hanya sarjana, tetapi juga intelektual yang kritis sekaligus berjiwa kebangsaan. Habibie pernah berkata, "Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi." Generasi muda harus berani mengambil peran membawa nilai Pancasila ke dunia nyata.

Pendidikan menjadi jembatan agar Pancasila tidak berhenti di ruang kelas atau podium upacara. Ia harus mengalir ke kebiasaan sehari-hari: antre di kantin, berdiskusi di kelas, hingga menggunakan media sosial dengan etika.

Refleksi di Tengah Riuh Bangsa

Hari-hari ini, kita menyaksikan realitas yang pahit: demonstrasi yang berujung kekerasan, korupsi yang mencederai rasa keadilan, perdebatan politik yang kasar di televisi, hukum yang tidak tegak. Semua itu bisa membuat kita pesimis. Namun, jangan lupa, Pancasila lahir dan terbukti tangguh justru dalam situasi sulit.

Kesaktian Pancasila bukan karena teksnya magis, melainkan karena kita bersedia menghidupinya. Ia sakti ketika ada keberanian untuk jujur, tekun membangun persaudaraan, dan berani melawan kebencian. Ia sakti ketika siswa memilih belajar dengan disiplin, guru mengajar dengan kasih, dan pemimpin meneladani dengan jujur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun