"Romo Sunu mengingatkan, orang yang mencermati rasa akan tumbuh menjadi pribadi cerdas, bermutu, dan selalu nyambung dengan Sang Pencipta."
Ada perjumpaan dalam hidup yang tidak melibatkan orang lain, melainkan perjumpaan dengan diri sendiri. Diri yang kini tampak tegar, dewasa, dan berusaha kuat "aku besar" akhirnya berhadapan dengan diri yang rapuh, polos, dan sering terluka "aku kecil".
Pertemuan ini tidak terjadi di luar, tetapi di dalam ruang batin yang paling dalam. Dan momen itu bagi saya menjadi pengalaman yang membebaskan: aku besar akhirnya berani menatap aku kecil yang sekian lama menunggu.
Luka Kecil yang Tidak Pernah Benar-Benar Hilang
Dalam pendampingan bersama Romo Petrus Sunu Hardiyanto, SJ, Â saya diajak masuk ke dalam olah rasa. Saat itu, sebuah kenangan masa kecil mendadak muncul begitu jelas.
Saya kembali ke kelas 4 SD, ketika sedang bermain petak umpet bersama teman-teman. Tawa riang mendadak berubah menjadi tangis ketika saya jatuh dan tangan saya terkilir. Sakitnya memang luar biasa, tetapi yang lebih membekas adalah rasa takut. Saya tidak berani bercerita kepada orang tua. Saya duduk di depan pintu rumah, menangis pelan, menahan perih, takut dianggap lemah.
Hingga akhirnya ayah datang, menatap penuh perhatian, dan dengan lembut bertanya: "Kenapa menangis?" Lalu beliau menggandeng saya berobat. Saat itu rasa lega menyelimuti hati: ada yang melihat, ada yang menolong, ada yang memahami.
       Kadang justru rasa sakit dan takut adalah cara Tuhan menyapa kita dengan penuh kelembutan.
Kenangan sederhana ini ternyata menyimpan pesan besar. Aku kecil yang duduk di depan pintu rumah itu ternyata masih hidup dalam diriku. Luka, ketakutan, dan rasa tidak aman itu tidak pernah benar-benar hilang. Mereka hanya menunggu untuk diakui.
Menyelami Tiga Daya Jiwa