Namun, tak semuanya selalu manis. Ada masa-masa di mana Saya nyaris menyerah. Ketika semangat mulai pudar, ketika rasa lelah menggerogoti tubuh, ketika kebijakan sekolah atau birokrasi pendidikan terasa semakin menjauh dari nurani. Ada saat di mana Saya merasa kerja keras tidak dihargai, ketika nilai diukur dari angka, bukan dari dampak. Dan lebih dari sekali, Saya bertanya dalam hati: apakah Saya masih dibutuhkan di sini?
Tapi seperti gaya normal yang menopang benda diam, selalu ada yang menahan Saya untuk tidak jatuh. Doa-doa pagi yang lirih, senyum siswa di lorong, secarik surat kecil yang ditemukan di meja, dan tentu saja---satu-dua sahabat di ruang guru yang tak pernah bosan bertanya, "Kamu baik-baik saja hari ini?"
Menjadi Guru Adalah Jalan Sunyi yang Penuh Cahaya
Menjadi guru adalah perjalanan spiritual yang luar biasa. Kita ditantang untuk memberi bahkan saat sedang kosong. Kita diminta tetap tersenyum meski hati sedang resah. Kita diajak berjalan dalam gelap, berharap bahwa cahaya yang kita nyalakan dalam diri siswa suatu saat akan menyala untuk menerangi dunia.
Saya tidak sempurna. Banyak hal yang belum bisa kuperbaiki. Tapi Saya bangga sudah mencoba.
Kini, rambut mulai memutih, dan beberapa siswa menyapa dengan kalimat, "Wah, Bapak masih di sini ya?" Saya hanya tersenyum. Karena ya, Saya masih di sini. Dan Saya memilih untuk tetap di sini.
Di tengah pergeseran zaman dan nilai-nilai, Saya ingin menjadi jangkar kecil yang tetap tertanam. Seorang guru Fisika yang percaya bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan materi, tapi membangun relasi, menyalakan cahaya, dan menjadi bagian dari cerita hidup orang lain.
Ruang guru, bagiku, bukan sekadar tempat kerja. Ini adalah rumah kedua. Tempat di mana Saya mengalami kelelahan yang penuh makna, tawa yang tulus, dan cinta dalam bentuk yang tak bisa dijelaskan dengan rumus apa pun.
Warisan Tanpa Tinta
Ketika saat itu tiba, saat saya harus berpamitan, yang tertinggal bukan sekadar papan tulis yang pernah penuh coretan ide dan angka, bukan pula alat peraga yang menemani proses belajar. Saya ingin meninggalkan semangat yang menyala dalam keheningan, warisan tak kasat mata yang terus hidup dalam cara siswa melangkah, berpikir, dan memilih kebaikan. Saya ingin mewariskan kelembutan yang kokoh---yang tahu kapan harus mendekap dan kapan membiarkan terbang. Aksi-aksi kecil yang tampak sederhana namun berjejak panjang: menyapa, mendengar, mempercayai, dan mencintai tanpa syarat.
Menjadi guru bukan sekadar pekerjaan; ia adalah jalan sunyi yang justru dipenuhi cahaya. Sebuah panggilan batin yang tidak menjanjikan popularitas, tapi memberi kedalaman makna. Saya bersyukur pernah berjalan di jalan ini---di sekolah ini, di ruang guru ini---bersama mereka yang bukan hanya rekan kerja, melainkan keluarga dalam perjuangan. Dari ruang inilah saya belajar bahwa pendidikan adalah bentuk cinta yang paling sabar, dan meninggalkan sesuatu yang baik di hati manusia lain adalah pencapaian yang tak ternilai.