Kelembaman bukan hanya tentang benda, tapi juga tentang manusia. Tentang guru yang memilih tinggal dan bertahan, meski silih berganti kurikulum datang dan pergi. Dari KBK ke KTSP, lalu K13, hingga kini Kurikulum Merdeka. Semua datang dengan jargon perubahan, tapi di balik itu ada tantangan: guru harus selalu menyesuaikan diri, kadang tanpa cukup pelatihan, tanpa cukup waktu untuk benar-benar mengerti. Tapi kami tetap berjalan. Kami tetap mengajar. Kami tetap hadir.
Dan siswa-siswa... ah, mereka adalah dunia yang tak pernah berhenti bergerak. Karakter mereka berubah dari generasi ke generasi. Ada yang datang dengan semangat membara, ada yang nyaris menyerah bahkan sebelum mencoba. Ada yang sopan dan penuh hormat, ada pula yang kritis hingga kadang menyakitkan. Tapi mereka semua, tanpa terkecuali, adalah alasan mengapa Saya masih di sini.
Tentang Kelas yang Riuh dan Pelan-pelan Mengerti
Saya masih ingat satu kelas yang sangat sulit. Hampir seluruh siswanya menolak Fisika mentah-mentah. "Pak, buat apa sih belajar gaya, percepatan, massa segala?" tanya mereka. Dan jujur, saat itu Saya kelelahan menjelaskan. Tapi Saya tidak menyerah. Saya ubah pendekatannya, Saya beri mereka analogi kehidupan. Tentang bagaimana gaya kecil dari seseorang bisa menggerakkan hati orang lain. Tentang bagaimana kelembaman bisa menjelaskan kenapa kita tSayat berubah. Mata mereka mulai terbuka. Tidak semua langsung paham rumusnya, tapi setidaknya mereka mulai memahami maknanya. Dan itu cukup bagiku.
Ruang Guru: Tempat Beristirahat, Tempat Bertumbuh
Tapi di balik kelas yang penuh dinamika, ada satu tempat yang selalu menjadi ruang aman: ruang guru. Di sanalah Saya menepi sejenak setelah kelas yang gaduh. Di sanalah Saya berbagi tawa bersama rekan-rekan guru yang, meskipun wajahnya itu-itu saja sejak puluhan tahun lalu, selalu punya cerita baru. Ada yang bercerita tentang anaknya, tentang siswa yang tidak mengerjakan tugas, tentang strategi mengajar yang berhasil, atau sekadar tentang harga sembako yang naik. Tapi dari obrolan sederhana itu, ada kekuatan yang tumbuh, semacam energi yang membuat kami tetap mau datang ke sekolah esok hari.
Banyak hal berubah, tapi teman-teman guru di sini seperti gaya gesek---diam, tapi selalu ada. Mereka adalah bagian dari sistem kehidupan sekolah yang membuatku merasa punya rumah kedua.
Siswa yang Kini Menjadi Rekan
Bagian yang paling menyentuh, kini ada beberapa guru muda di ruang guru yang dulu... adalah siswa kami sendiri. Dulu mereka duduk di bangku paling belakang, menyalin rumus di buku tulis. Sekarang mereka duduk di sebelah kami, menyusun jadwal pelajaran, membuat RPP, menghadiri rapat, bahkan memanggil kami "Pak" dan "Bu" dengan hormat dan kehangatan yang sama seperti dulu. Suatu hari, salah satu dari mereka berkata dengan mata berkaca, "Saya jadi guru karena suasana sekolah ini, karena komunitas guru di sini yang saling mendukung."
Kalimat itu membuatku diam. Bukan karena tak percaya, tapi karena tersentuh. Di tengah kegaduhan dunia, ternyata ketulusan dan kebersamaan bisa memantul kembali. Inilah aksi dan reaksi dalam kehidupan nyata. Kami memberi waktu, kesabaran, dan perhatian---dan sekarang kami menerima hormat, kepercayaan, dan kebersamaan yang tak ternilai.
Saat Nyaris Menyerah