Mohon tunggu...
Rachminawati
Rachminawati Mohon Tunggu... Dosen

Nama panggilannya Upi, seorang Dosen dan Peneliti di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Indonesia sejak tahun 2003. Selain aktif menjalankan tugasnya sebagai dosen dan peneliti, dikenal juga sebagai praktisi Pendidikan Berbasis Fitrah sebuah konsep pendidikan otentik Islam yang mengembalikan lagi Pendidikan pada fitrah manusia berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Ia terapkan langsung pada kedua permata hatinya di rumah. Hal inilah yang mendorong Ia dan keluarga kecilnya beserta sahabat terdekat mendirikan komunitas Garut Zero Waste (GZW) sebagai wadah berkhidmat pada Bumi dan lingkungannya yang kini sudah banyak kerusakan karena ulah manusia. “Pilah sampah dari rumah untuk Garut bebas sampah”, sebagaimana slogan GZW tersebut, Ia berkeyakinan, dari rumahlah tempat solusi segala kebaikan, maka mulailah diri kita ini bisa hebat dan bermanfaat sejak dari rumah. Sehebat atau sejauh apapun kita pergi, rumahlah tempat kita pulang. Aktif juga di Majelis PAUD DASMEN Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat sejak 2023, Ia berkomitmen untuk bisa lebih meluaskan khidmahnya di bidang Pendidikan Masyarakat yang menekankan pada konsep ketahanan keluarga dengan penerapan Pendidikan Berbasis Fitrah. Baginya, menjadi pendidik tidak cukup hanya berada di ruang-ruang kampus dengan diskusi elite keilmuan tertentu, tetapi bagaimana Pendidikan itu mampu mencerahkan dan membuat banyak perubahan baik secara langsung di Masyarakat. Untuk bersilaturahmibisa menghubungi alamat email berikut: rachminawati@gmail.com atau rachminawati@unpad.ac.id.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Slogan Anti-Bullying yang Tak Mampu Menyelamatkan Anak-anak Kita

16 Juli 2025   10:37 Diperbarui: 16 Juli 2025   10:37 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini dunia pendidikan kembali tercabik oleh tragedi perundungan (Bullying) yang dialami seorang remaja SMA yang berusia 16 tahun yang berakhir dengan duka mendalam bagi kita semua karena Anak itu telah kembali pada sang Pemilik sesunggguhnya, Allah SWT. Kepergiannya bukan karena penyakit, bukan karena kecelakaan alam, tetapi karena luka yang tak tampak oleh mata: perundungan (Bullying). Ia adalah korban dari kekerasan yang sering dianggap "sepele" dan "biasa" dalam dinamika sekolah. Namun kini, kepergiannya telah mengetuk hati kita yang selama ini diam, menyadarkan kita bahwa bullying yang "sepele" dan "biasa" itu tidak bisa lagi kita sepelekan!Banyak sekolah dengan bangga menyematkan label sebagai "anti-bullying school". Tapi, berapa banyak yang benar-benar menanamkan budaya anti-bullying ini dengan sungguh-sungguh? Kita sebagai orang tua pun, seringkali hanya mencemaskan pencapaian akademik saja, tanpa benar-benar peduli apakah anak kita merasa aman secara emosional dan sosial di lingkungan sekolahnya. Ketika yang menjadi korban bully bukan anak kita, kita menganggapnya urusan orang lain. Ketika anak kita menjadi pelaku bully, kita pun kerap menyalahkan si korban yang dianggap terlalu lemah atau "baperan" dan menganggap anak kita itu benar dan kuat. Namun, saat yang menjadi korban adalah anak kita sendiri, barulah kita sadar: semua ini tidak main-main.

Anatomi Bully: Korban, Pelaku, Pendukung dan Penonton
Bullying bukan hanya menyangkut korban dan pelaku saja. Ada lima peran dalam dinamika  Bullying, yaitu: korban, pelaku, supporter (yang mendukung, baik aktif atau pasif), penonton (yang melihat tapi tak mampu bertindak), dan terakhir adalah: defender (mereka yang berani bangkit menghentikan bullying dan membela korban). Kelima peran ini sangat berpengaruh dalam terjadi atau tidaknya tindakan Bullying. Dalam dinamika yang sering terjadi, kita hanya melihat peran pelaku dan korban. Padahal, jika saja perubahan peran-peran lainnya, tentu Bullying ini bisa dicegah. Harus ada perubahan dari peran supporter aktif menjadi pasif, dan dari supporter pasif atau penonton menjadi Defender. Namun, apa yang terjadi? Kebanyakan kita, baik anak-anak maupun orang dewasa hanya mau berperan sebagai penonton: hanya diam, tidak melakukan apa-apa. Sebetulnya, diamnya ini dapat dikategorikan sebagai pelaku pasif bully. Bisa jadi apa yang terjadi pada korban remaja SMA tadi karena sebagian besar siswa dan guru diam dan mendiamkan pelaku berbuat Bullying pada korban.

Akar Luka: Mengapa Bullying Terjadi?
Bullying tumbuh dari luka batin, kekuasaan, dan ketidakpedulian yang dialami oleh Pelaku Bullying. Jadi, sesungguhnya Pelaku pun adalah korban. Pelaku seringkali memiliki masalah berat yang tidak terselesaikan dengan baik, tumbuh dari pola asuh otoriter atau tekanan lingkungan dan hidup yang berat. Hingga mereka mengekspresikan kemarahannya dengan jalan mendominasi dengan cara melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang yang mereka nilai lebih lemah. Sekolah biasanya menjadi tempat mereka bebas mengekspresikan itu, jika mereka adalah "korban"luka di rumahnya. Jika lingkungan baik di rumah, sekolah maupun di masyarakat tidak dapat membaca fenomena ini, maka Bullying ini akan terus terjadi karena adanya pemahaman yang salah baik pada korban maupun pelaku. Orangtua jangan hanya takut anak kita menjadi korban, tetapi harus juga takut anak kita menjadi pelaku. Orangtua harus mampu menangkap perbedaan sikap anak di rumah dan di sekolah baik pada anak yang berpotensi sebagai pembully atau korban.

Kenali Bullying mulai dari Bibitnya: Langkah Awal Pencegahan
Bullying tidak serta-merta muncul dalam bentuk kekerasan besar bahkan kematian. Ia tumbuh perlahan---dari bibit-bibit kecil yang kadang tak terlihat, atau justru dianggap "sepele" atau "biasa" dalam kehidupan sekolah. Sekolah yang benar-benar peduli seharusnya mampu mendeteksi bibit atau tanda awal dari bullying ini. Bentuknya bisa sangat halus: ejekan yang terus diulang, julukan yang menyudutkan, gosip yang menyebar diam-diam, atau komentar bernada meremehkan terhadap anak yang dianggap berbeda.
Dari bibit-bibit kecil itulah, kekerasan bisa terus tumbuh menjadi besar, berbahaya dan  sistematis. Kenapa sistematis? Karena sistem diam dan tidak peduli. Candaan kasar yang tidak dihentikan bisa berubah menjadi hinaan menyakitkan bagi korban serta tambahan kekuasaan bagi pelaku. Cemoohan kecil bisa berubah menjadi pengucilan. Dan ketika tidak ada yang membela, ketika semua orang hanya menonton, maka pengucilan itu mendapat ruang tumbuh untuk menjadi kekerasan yang menyakitkan bahkan mematikan bagi korban.
Bentuk bullying pun beragam. Secara fisik, ia bisa hadir dalam bentuk kekerasan fisik seperti  dorongan, pukulan, atau ancaman langsung untuk menyakiti fisik. Secara verbal, ia muncul lewat kata-kata kasar dan ejekan yang menghinakan yang diulang-ulang sehingga membuat harga diri korban terkikis sedikit demi sedikit. Secara sosial, bullying hadir dalam bentuk pengucilan, fitnah, dan penjarangan relasi yang disengaja agar korban merasa sendirian. Lalu ada bullying digital atau siber, yang kini tak kalah menyakitkan yakni melalui komentar jahat di media sosial, penyebaran foto tanpa izin, atau tekanan psikis lewat grup percakapan daring.
Semua bentuk ini, jika diabaikan sejak dari kecil (bibit) nya, maka akan terus berkembang layaknya api yang dibiarkan menyala di tumpukan jerami. Apa yang awalnya hanya terasa sebagai "candaan", perlahan bisa menghanguskan rasa aman anak. Dan jika kita tidak peka, mungkin kita sedang menyaksikan nyawa-nyawa kecil yang padam perlahan, tanpa sempat kita peluk.
Mengenal bibit bully dan mencegahnya tumbuh lebih besar adalah Langkah awal pencegahan. Sekolah harus mulai memiliki program khusus untuk anti bully yang bisa berfokus pada penumbuhan  empati melalui diskusi bersama tentang bullying itu sendiri.

Bagaimana Hukum Melindungi Korban Bully?
Di tengah luka yang ditinggalkan, pertanyaan besar muncul: "Apakah korban benar-benar dilindungi? Apakah pelaku bisa dihukum dengan adil?" Jawabannya, ya. Perlindungan bagi korban dan hukuman bagi pelaku itu sudah ada.
Secara hukum, Indonesia telah memberikan perlindungan bagi anak-anak melalui Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014. Undang-undang ini dengan tegas menyatakan bahwa segala bentuk kekerasan fisik maupun psikis terhadap anak adalah tindakan pidana. Jika kekerasan itu menyebabkan luka berat, apalagi sampai merenggut nyawa, pelaku dapat dijatuhi hukuman hingga 15 tahun penjara dan denda miliaran rupiah. Tak berhenti di situ, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menjerat berbagai bentuk bullying melalui pasal-pasal yang terkait dengan penganiayaan berat, pengeroyokan, pencemaran nama baik, hingga tindakan yang mendorong seseorang untuk bunuh diri.
Semua itu menunjukkan bahwa negara hadir untuk melindungi. Namun, yang menjadi permasalahan adalah implementasi hukumnya. Hukum tak bisa bekerja sendirian. Ia butuh kita semua untuk menyuarakan, melapor, dan mendampingi korban agar keadilan ini benar-benar hadir di tengah masyarakat.
Apa yang harus dilakukan ketika Bullying terjadi?
1. Orang tua perlu membuka ruang untuk anak bercerita tanpa takut dihakimi, mendengarkannya dengan sungguh-sungguh, dan mendampingi konseling psikologis jika sudah diperlukan.
2. Sekolah wajib merespons cepat dengan investigasi, mengedepankan perlindungan terhadap korban, dan melakukan tindakan restoratif serta hukum yang sesuai ketentuan negara. Menutup rapat kasus bullying hanya mengubur masalah yang satu saat bisa meledak dan sangat merugikan.
3. Masyarakat terlebih masyarakat sekolah (siswa dan guru) harus hadir sebagai defender aktif: memberi dukungan pada korban, melaporkan pelaku, dan mendorong budaya saling peduli dan membantu, bukan hanya diam dan sekadar mendoakan.

Menghidupkan Fitrah Komunal: "Butuh Satu Kampung untuk Mendidik Satu Anak"
Berbicara Bullying dari sisi teori dan hukum sudah dipaparkan di atas, maka pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan untuk hati nurani kita, akankah kita tetap diam? Kita sering mendengar ungkapan, "butuh satu kampung untuk membesarkan satu anak." Tapi hari ini, makna itu sama seperti slogan anti bullying, hanya sekadar pepatah. Padahal seharusnya ia adalah panggilan untuk bertindak bersama. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali fitrah komunal kita.
Lingkungan anti bullying ini akan tercipta jika sekolah, rumah, lingkungan, dan Masyarakat  menjadi tempat yang aman bagi anak dengan latar belakang apapun, dengan segala keunikannya untuk dapat tumbuh tanpa ketakutan. Sayangnya, saat ini kita hidup terlalu individualistis, terlalu sibuk atau terlalu malas untuk peduli dengan urusan anak orang lain. Kita butuh semua pihak mulai dari sekolah dan seluruh warga sekolahnya, tetangga se-RT hingga lingkungan luar terjauh tempat anak beraktivitas, dari remaja masjid hingga tokoh agama untuk menghidupkan kembali rasa "jaga" terhadap sesama, termasuk generasi masa depan bangsa ini.
Anak yang tumbuh dalam pelukan komunitas adalah anak yang tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia tumbuh dengan sebuah kepercayaan bahwa meski jatuh, akan ada tangan yang menolongnya. Bahwa berbeda bukan berarti salah. Bahwa dunia ini, meski tidak selalu ramah, masih punya cukup cinta untuk melindunginya. Karenanya, mari kita hidupkan kembali fitrah komunal kita.
Tulisan ini dibuat sebagai doa dan pelukan sayang pada almarhum anak remaja SMA yang menjadi korban bullying dan kedua orangtuanya. Pun, untuk para korban lainnya. Ananda tercintamu telah meninggalkan kita, tetapi suaranya dan harapannya masih hidup. Kini, suara dan harapan itu yang harus terus kita hidupkan. Dia sesungguhnya merindukan dunia pendidikan yang aman dan menyenangkan. Dia tidak mau ada korban-korban bullying lainnya. Karenanya, marilah kita bersama-sama menguatkan rasa kepedulian kita pada anak-anak bangsa dengan aksi yang lebih nyata untuk mencegah Bullying: jangan DIAM!

Garut, 17 Juli 2025
Rachminawati

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun