Mohon tunggu...
Rachmawati Ash
Rachmawati Ash Mohon Tunggu... Guru, Penulis, dan pegiat literasi

Hobi menulis, membaca dan menonton film romance. Kegiatan mengajar di SMA, menulis novel, cerpen, artikel dan bahan ajar. Mengisi materi literasi ke sekolah-sekolah di Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung-burung yang Terbang di Langit

16 Januari 2024   19:28 Diperbarui: 16 Januari 2024   19:53 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest/google.pt

Aku menolak minum kapsul pemberian kakakku. Aku selalu merasa mengantuk setelah meminumnya. Aku juga menjadi lupa tentang burung-burung itu. Aku benci minum kapsul. Aku ingin tetap menjadi burung yang bisa terbang bebas di udara. Tapi, lagi-lagi ibuku menangis. Kali ini Ibu yang memberikan kapsul itu padaku. Aku menerima secangkir air putih dan meminum kapsul dengan terpaksa.

Ibu tersenyum, menerima cangkir dari tanganku. Ibu menyuruhku merebahkan tubuh di kursi, menyandarkan kepalaku di pahanya. Ibu tidak berkata apa-apa, hanya mengelus lembut kepalaku berkali-kali. Sampai aku mengantuk.

"Bu, kenapa burung selalu bersiul?" tanyaku setengah mengantuk di pangkuannya.

"Karena mereka sedang memuji Tuhan," jawab Ibu sambil mengusap air mata di pipinya.

Aku bangkit, duduk di sebelah Ibu. Aku manggut-manggut, mulai bersiul, aku juga ingin memuji Tuhan. Kulihat Ibu semakin menangis menjadi-jadi. Memeluk tubuhku dengan keras sekali.

"Kamu bukan burung, kamu anak ibu yang sedang sakit."

"Aku bukan burung?" tanyaku menghentikan siulan.

"Kamu anak ibu. Kamu bisa memuji Tuhan dengan membaca doa-doa, Nak, istigfar ...." Ibu menatapku dengan tatapan dalam. Aku membalas tatapannya, cukup lama aku memandang ibuku. Aku merasakan seperti anak kecil yang terpisah dari ibunya dalam waktu yang lama. Aku juga memerhatikan gerak bibir ibuku-merapal doa.

Kemudian aku berontak, terbang berputar-putar dengan dahyat. Aku mengelilingi rumah. Menukik dengan keras, hingga tubuhku yang terasa sangat ringan membentur dinding yang berdiri dengan sombongnya. Aku melihat kekasihku tersenyum,berdiri mengelus kepalaku yang berlumuran darah. Ibu menangis sejadi-jadinya, tapi aku tak bisa lagi memenangkan dan menyentuhnya. Sedangkan  Kakakku masih berdiri dengan lembaran kapsul di tangannya.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun