Mohon tunggu...
Qurotul Hasanah
Qurotul Hasanah Mohon Tunggu... lainnya -

Alumni Pon.Pes Al-Kamal Blitar dan Mahasiswa UIN Maliki Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyian Titik Temu

29 April 2015   19:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:33 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nyanyian Titik Temu

Brakkkkk!!!!!!

Sesuatu seperti melayang. Sekelebat mimpi mengiringi. Aku terbang. Entah kemana dan mungkin takkan kembali. Lalu semuanya gelap. Menyisakan lorong-lorong panjang yang kelam. Aku seorang diri. Dimanakah ini?

“Ayahhhh….” Suaraku memantul di dinding-dinding batu.

“Ibuuuuu….” Suaraku kembali bergema. Tak menemukan titik temu. Lantas semuanya kelabu.

“Ayahhhh… dia sudah bangun,” lamat-lamat aku mendengar suara seseorang. Sepertinya dia ada di atasku. Apakah aku sudah mati? Kenapa mataku tak bisa terbuka? Kenapa saat kupaksakan untuk membukanya rasanya sakit sekali? Seolah-olah semua cahaya ditumpahkan pada kornea mataku. Membuat mataku tak mampu bahkan hanya sekedar untuk berakomodasi.

“Alhamdulillah, puji syukur pada-Mu yaa Rabb…” tidak mungkin aku sudah mati. Itu suara ayahku. Aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Seseorang menyentuh tanganku yang kaku. Ujung jarinya menyentuh selang infusku. Rasanya hangat. Tapi ini jelas bukan kulit tangan ayah. Kulit tangan ayahku sudah keriput dan kasar, karena banyak memahat properti.

“Nanda… ini ayah nak…” mataku sempurna membuka. Menatap plafon putih. Aku menolehkan kepala. Ayah berada di sebelah kiriku. Syukurlah, aku belum mati. Ayah… jangan khawatir, aku tidak akan mati lebih dulu. Aku akan merawatmu saat tua nanti.

Saat kutolehkan kepala ke sebelah kanan, kulihat seorang laki-laki berkaca mata tersenyum lega. Saat itulah aku sadar, tangannya menggenggam tanganku kuat-kuat. Seolah-olah menyalurkan energi agar aku cepat bangun. Aku ingin menepisnya. Tapi tak bisa. Seluruh persendianku kaku. Aku bahkan belum bisa menggerakkan mulutku untuk berbicara. Aku benci disentuh lelaki. Apalagi dia bukan muhrimku. Aku sungguh membencinya. Hanya saja, kenapa ayahku diam saja. Apa ayah tidak pernah menyadari kenapa aku tak pernah punya tamu laki-laki?

Selang beberapa saat seorang pria paruh baya dengan dua orang perawat datang. Mereka memeriksa kelopak mataku, nadi, dan jantungku. Lalu menyuntikkan sesuatu lewat lubang infus. Rasa pahit menjalar di tenggorokanku. Sial! Aku bahkan tidak bisa bilang ‘jangan’. Rasa sakit mulai menjalar di seluruh persendianku. Aku mengerang, lalu tak sadarkan diri lagi.

“Kau sudah bangun?” aku menoleh kea rah pintu. Tersenyum. Lalu meletakkan Koran dengan tangan kiriku sembarangan di atas meja samping tempat tidur.

“Ayahhhh….” Aku mengulurkan tangan. Minta dipeluk.

“Seperti anak kecil saja.”

“Biarin. Ayah dari mana?”

“Jalan-jalan.”

“Ayah bisa jalan-jalan? Padahal aku terkapar tidak berdaya di sini seorang diri. Ayah kejam sekali.” Aku pura-pura marah. Cemberut. Ayah tertawa.

“Bagaimana rasanya? Sudah enakan?”

“Lumayan. Dari pada kemarin saat bangun pertama kali. Rasanya itu lho yah, sakit semua. Udah persendian kayak mau copot, badan kaku-kaku tak bisa digerakkan. Eh… mulut Nanda juga gagu gitu. Gak bisa buat ngomong. Rasanya kan tersiksa banget. Padahal Nanda mau bilang, tolong dong nanti ayah belikan martabak. Sakit-sakit gini kan paling enak makan martabak. Apalagi martabak Holland. Pasti enak banget deh yah.”

“Dasar bawel. Kamu itu sakit karena gak bisa cerewet. Kalau sudah bisa ngomel lagi kayak gini berarti sudah sembuh. Jadi buat apa dibelikan?”

“Ya…. ayah jahat deh,” obrolan kami mengalir ringan. Aku tahu ayah khawatir sekali. Terlihat dari sorot padanya yang buram. Hanya aku seorang harapannya. Ibu telah meninggal sepuluh tahun lalu. Tapi ayah memilih menduda. Merawatku saja. Aku tahu ayah melakukannya karena teramat sangat mencintai ibu.

Ayah menemaniku sepagian. Saat laki-laki itu datang, membawa obat yang sudah ditebusnya, ayah bilang mau sarapan dulu. Aku mengangguk. Tersenyum menenangkan.

“Kau sudah baikan?”

Aku mengangguk. “Berapa lama aku tak sadarkan diri?”

“Tiga hari. Kami begitu cemas. Padahal operasimu berjalan lancar. Seharusnya tak sampai dua puluh empat jam kau sudah bangun. Tapi ternyata butuh waktu tiga kali lipat.”

“Tak apa. Toh aku sudah bangun sekarang. Berarti ini hari ketiga aku disini?”

Dia menggeleng. “Ini hari kelima. Kau bangun saat hari ketiga. Lalu tidur lagi.”

“Wahhh… lama juga ya aku tidurnya. Ngomong-ngomong kau siapa?”

“A-ku??? A-ku…” dia terbata-bata menjawab.

“Sudahlah, katakan saja. Kau orang yang menabrakku ya?”

“Maaf,” dia menunduk. “A-ku…”

“Sudahlah. Lagi pula aku akan sembuh. Kakiku juga akan kembali seperti semula kan? Tadi dokter sudah bilang. Memang sih aku butuh waktu lebih lama untuk memulihkannya. Tapi jangan khawatir. Selama kau tidak kabur dan terus bertanggung jawab membayar biaya pengobatannya, aku akan memaafkanmu. Deal?”

Dia menatapku. Menurutku itu pandangan paling aneh yang pernah kuterima. Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak punya kekuatan hanya untuk sekedar mencaci makinya. Apalagi untuk marah-marah. Aku lebih memerlukan tenaga untuk memulihkan kondisi ini.

Seseorang mengucap permisi. Ternyata pengantar makanan. Dia menerima mangkok dan piring yang diulurkan. Aku mengucapkan terima kasih dengan riang. Setelah membuka plastik penutupnya, dia mengambil sendok dan hendak menyuapiku.

“Aku bisa makan sendiri,” dia menatapku heran. “Aku sungguh bisa makan sendiri.”

“Bagaimana kau akan makan denga tangan kiri? Tangan kananmu belum boleh terlalu sering digerakkan.”

“Aku tahu. Jadi mendingan kamu siapin saja meja lipat di sini,” aku menunjuk pangkuanku. “Aku akan makan sendiri.”

Aku makan dengan hati-hati. Meski membutuhkan waktu lebih lama, setidaknya aku tidak merepotkan orang lain bukan. Sejujurnya aku menyimpan kepedihan. Untuk seseorang yang terbiasa melakukan apapun sendiri dan tiba-tiba harus terbaring tidak berdaya, menunggu dilayani, rasanya benar-benar mengerikan. Tapi aku tak mungkin mengatakannya           Ini sudah hari ke sepuluh. Esok mungkin aku sudah bisa ulang. Meski harus kontrol dan terapi setiap sebulan sekali. Untuk pemulihan sampai aku bisa berjalan seperti semula kira-kira butuh waktu lima bulan. Aku terdiam saat mendengarnya. Ya Tuhan, lama sekali. Bagaimana mungkin aku akan meminta ayah untuk melayaniku. Itu tidak mungkin. Tapi saat ayah masuh ke ruangan, aku kembali tersenyum ceria. Melaporkan banyak hal seperti gadis usia TK. Ah!!! Semuanya pasti akan baik-baik saja. Sungguh. Semuanya akan baik-baik saja.

“Nanda, ayah minta maaf karena harus mengatakannya. Kau bisa mengatakan apapun opinimu setelah ayah selesai menceritakan semuanya. Ayah janji akan menyetujui semua pilihanmu. Jadi ayah mohon, kau juga harus mengerti ayah,” kenapa ayah jadi serius begini?

“Kau satu-satunya anggota keluarga ayah yang tersisa. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan ayah. Ayah tidak melakukan ini tanpa pemikiran, a-yah,”

“Iya ayah. Nanda percaya sama ayah, jadi katakan saja apa yang ayah inginkan,” aku memotong penjelasan ayah yang berbelit-belit.

“Nak, menikahlah dengan Ajie.”

Apa? Menikah? Dengan siapa? Mas Ajie? Orang yang sudah membuatku menjadi seperti ini. Aku tahu dia lebih dari bertanggung jawab. Dia selalu ada di dekatku meski aku lebih banyak tidak meminta pertolongannya. Kemarin bahkan kami bertengkar hebat. Aku menolak pertolongannya ketika aku ingin ke kamar mandi. Sialnya tongkat penyanggaku menyandung daun pintu. Membuatku terpental jatuh. Sebagai akibatnya, kepulanganku esok hari harus diundur lagi. Mungkin aku harus tinggal di sini paling tidak lima hari lagi.

Dia menggendongku dengan paksa menuju ranjang. Pandangannya marah. Dia mendiamkanku seharian. Aku juga tak berani menjelaskan apapun. Bukankah sepuluh hari cukup bagi dia untuk mengerti diriku? Dia menungguiku pagi siang malam. Membawa pekerjaan kantornya ke sini. Hanya demi menemaniku jika aku butuh sesuatu. Tapi aku mengabaikannya. Menganggap dia tidak ada. Aku bukannya marah atau dendam karena dia telah membuatku begini. Aku tulus ketika mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan akan segera sembuh kembali. Aku hanya tidak siap mendapat perlakuan istimewa. Hal itulah yang justru membuatku tak pernah mengeluh sekalipun aku merasakan sakit yang luar biasa.

“Ayah… jika dia mau menikahiku berdasarkan rasa tanggung jawab karena telah menyebabkan kondisiku seperti ini, sebaiknya lupakan saja. Bukankah dokter sudah bilang, aku akan sembuh seperti semula. Ayah harus mengatakannya.”

“Ayah sudah mengatakannya. Tapi dia bilang dia mau menikahimu.”

“Ayah, bukankah dia tidak pernah kenal aku sebelumnya? Lantas kenapa dia memutuskan untuk menikahiku begitu tiba-tiba? Ayah, menikah bukan sekedar melakukan perbuatan sesaat. Yang sekarang bisa dilakukan dan besok dilupakan. Menikah itu persatuan komitmen dua insan. Menikah adalah refleksi cinta yang sebenarnya. Cinta kita pada Yang Maha Kuasa. Lantas apa alasan dia mau menikahiku?”

“Aku mau menikahimu karena kau hadir sebagai bukti cinta Ilahi padaku. Apakah alasan itu tidak cukup? Jika tidak, aku tak bisa memberi alasan lain padamu. Aku tidak pandai berasalan. Aku hanya tahu, aku memilihmu karena kamu adalah kamu.” Dia berdiri diambang pintu. Menatapku. Mengangguk pada ayah.

“Ayah, biarkan saya sendiri yang menjelaskan padanya. Saya tidak tahu apakah dia akan mempercayaiku, sedang rasanya dia saja masih sulit mempercayai ayah. Tapi saya tidak akan menyerah ayah. Sebaiknya ayah istirahat saja dulu.” Ayah mengangguk. Lantas meninggalkan kami berdua. Ada sesuatu yang menghentak-hentak di dadaku. Kenapa sebuah lamaran harus terjadi di sini? Di tempat yang sangat kubenci.

Kami saling berdiam diri. Menyelami pikir masing-masing.

“Aku hanya akan mengatakannya sekali, jadi tolong dengarkanlah baik-baik. Maukah kau menikah denganku?” ada jeda panjang di sini. Jeda yang kami cipta bersama. “Tidak bisa mengatakannya cinta. Aku bukan orang yang bisa mengumbar kata itu, maafkan aku.” Aku masih tak mampu menjawab. Tapi entah kenapa, saat itu mulai ada getar-getar aneh dalam tubuhku. Menyebabkan tremor di seluruh persendianku. Tanganku gemetar. Aku berusaha menyembunyikannya. Meremas-remas ke dua tangan meski itu tak membuat tremornya berkurang. Ya Tuhan, inikah pertanda untukku?

Seharian itu semua berjalan tak normal. Mulutku kembali gagu. Ayah lebih banyak meninggalkanku berdua dengannya. Sialan! Kenapa aku harus terjebak dalam suasana canggung seperti ini. Baru malam harinya ayah datang. Saat aku menjelang tidur.

“Nanda, umurmu sekarang sudah dua puluh tiga. Kau bisa membedakan mana yang kau inginkan dan tidak. Kau harus memilih nak.”

“Aku memilih untuk berbakti pada ayah. Jika ayah bilang ‘iya’ maka aku juga akan ‘iya’. Aku tidak melakukannya karena aku tidak punya prinsip sendiri. Justru itulah prinsipku ayah. prinsip untuk berbakti pada ayah selama aku belum menikah.” Mendengarnya, ayah menghambur memelukku. Lama. Tergugu.

Sayup-sayup dari televisi yang kami biarkan menyala mengalun suara MLTR menyanyikan lagu“You Took My Heart Away”. Entah kenapa, mala mini lagu itu terdengar begitu indah di telingaku.

Staring at the moon so blue
Turning all my thoughts to you
I was without hopes or dreams
I tried to dull an inner scream
But you…
Saw me through

Walking on a path of air
See your faces everywhere
As you melt this heart of stone
You take my hand to guide me home
And now…
I’m in love

You took my heart away
When my whole world was gray
You gave me everything
And a little bit more
And when it’s cold at night
And you sleep by my side
You become the meaning of my life

dari May Huma ku tercinta... semangat!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun