Mohon tunggu...
QORI HANDAYANI
QORI HANDAYANI Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMKN 1 Koto Besar

Lahir dan Besar di Sumatera Barat, Dewasa di Yogyakarta, dan Mengabdii untuk Negara Tercinta "Indonesia" :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gugatan Kartini untuk Kami

6 April 2014   21:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:59 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Jika Kartini kembali terbangun untuk mencicipi gemerlap bumi putera di era kini, mungkinkah beliau akan tersenyum bangga akan “kemajuan” potret kaum wanita masa kini?”

Meski telah lebih dari 1 abad, beliau meninggalkan dunia ini tanpa sempat menapaki glamouritas sebuah kota dengan segala kebebasan dan penjaminan hak bagi perempuan, namun pemikiran serta karya nya tetap tertinggal dalam goresan sejarah yang senantiasa selalu dikenang. Karena dengan pemikiran cemerlang beliaulah, beliau telah tercatat sebagai pahlawan “emansipasi wanita”. Sebagaimana surat-surat serta kisah perjalanan hidup beliau telah banyak dibukukan dengan judul “habis gelap, terbitlah terang”. Kontras dengan terangnya kehidupan malam yang dihiasi kaum wanita penuh pesona. Mungkinkah kartini tersenyum?

Kartini merupakan sosok penuh semangat yang ingin mengangkat dan memperjuangkan sesama. Meski beliau telah bisa merasakan duduk di bangku sekolah sampai berumur 12 tahun, sebab memang keberuntung takdir telah mengitari beliau, sehingga beliau dilahirkan dari kalangan keluarga bangsawan. Namun disisi lain ketika banyak yang silau dengan kenyamanan justru beliau masih tetap saja mau memikirkan saudari lainnya dari kalangan bawah. Beliau turut merasakan kungkungan adat yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.

Beliau masih ingin melihat kaum perempuan memiliki kesempatan untuk menuntut ilmu dan belajar, seperti semangat dan kebebasan berkarya yang dimiliki perempuan-perempuan muda Eropa. Serta keinginan untuk memiliki hak sejajar dengan kaum pria tak hanya sekedar sebatas tembok rumah. Sungguh pola fikir yang luar biasa, meski belum sempat merealisasikan seluruh keinginannya saat Kartini masih hidup.

Keinginan beliau baru mampu terwujud setelah akhirnya diakui adanya penjaminan hak asasi manusia di dunia setelah perang dunia kedua pada tahun 1945, meski belum menjurus secara detail kepada nasip perempuan, namun setidaknya sudah jelas ada perlindungan hak bagi setiap manusia. Kemudian setelah beberapa dekade dilanjutkan oleh para pejuang perempuan sehingga akhirnya menghasilkan Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada tahun 1976 dan mulai berlaku pada 1979 (Rhona,Eko:Editor 2008:26)

Begitulah hingga untuk mengenangnya, setiap hari kelahiran beliau tanggal 21 April selalu diperingati. Bersyukur karena saya menjadi perempuan yang dilahirkan pada era 90 an dimana pada saat ini saya tidak turut merasakan terkekangnya hak untuk mencicipi dunia pendidikan, yang untuk saat sekarang bisa saya nikmati dengan begitu mudahnya, serta mendapat dukungan dari pemerintah. Dan untuk mengenang beliau, di bulan kelahirannya ini saya hanya ingin mengingat-ingat dan mengintropeksi arti kehadiran, peran saya serta peran kita semua. Dan gugatan ini untuk kami semua, para perempuan Indonesia.

Meski kami dan Kartini berbeda zaman, serta beratnya beban yang dirasa zaman beliau sangatlah nyata, namun tantangan dalam menjadi perempuan masa kini menurut saya juga tidaklah mudah. Hal ini dikarenakan ada banyaknya pengaruh yang mulai merasuk dan melengahkan peran kaum perempuan, yang selalu menuntut kesetaraan hak. Pengaruh itu tidak hanya muncul dari dalam diri kaum perempuan, tapi juga lingkungan serta derasnya arus informasi, lalu didukung pernak pernik kehidupan, yang kemudian mempengaruhi pola fikir perempuan, sehingga nantinya menentukan akan dibawa ke arah mana kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Menjadi pilihan ketika seseorang akan menggunakan kelebihannya untuk turut memperjuangkan hak sesama, atau lebih memilih untuk menikmati kebebasan yang telah dimiliki sendiri tanpa memperdulikan nasipyang lainnya, yang masih merasakan ketidakadilan serta mendapat perlakuan yang semena-mena dalam kesehariannya.

Meski pemerintah telah mengakui serta menuangkan hak-hak yang dimiliki dalam konstitusi, juga telah banyak membentuk komisi untuk perempuan demi mengangkat eksistensi perempuan, begitu pun dengan munculnya syarat keterlibatan 30% perempuan dalam pemilu turut menambah poin pengakuan terhadap kompetensi perempuan. Namun, dalam kenyataannya masih banyak PR yang belum terselesaikan tentang masalah perempuan, dimana secara harafiah perempuan tetaplah makhluk yang lemah sehingga kerap diberlakukan tidak adil. Kekerasan dalam rumah tangga, para TKW yang terlunta lunta, serta dianggap sebelah mata dalam kompetensi perpolitikan. Pelaksanaan peraturan itu dirasa belumlah maksimal.

Mungkinkah Kartini Menggugat? Menanyakan dimana semangat yang ditularkan kartini untuk membuktikan bahwa wanita juga memiliki kemampuan berkarya seperti laki-laki? Apakah peringatan hari lahirnya hanya dijadikan Simbol belaka? Apakah kita hanya menyukai kebebasan ini tanpa berkarya dan mengupgrade kemampuan? Berpangku tangan serta tak memperdulikan ketidakadilan yang masih terjadi dan dirasakan kaum perempuan lain, karena merasa hidup kita telah cukup. Apakah kita telah melihat kesetaraan yang benar-benar nyata meski telah tertulis dan telah ada komisi pembela perempuan? Setelah kesetaraan hak kita dapat, cukup sampai disitukah cita cita kita sebagai wanita Indonesia?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun