Mohon tunggu...
Jonathan Latu
Jonathan Latu Mohon Tunggu... Wiraswasta - Banser NU

menulis supaya membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada yang Tahu Isi Hati Batman dan Ibnu Muljam?

12 Mei 2019   22:14 Diperbarui: 14 Mei 2019   15:05 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya selalu bertanya dalam hati sendiri, apakah semua orang jahat itu tidak punya kebaikan atau semua orang baik itu tidak punya kejahatan didalam dirinya? Ketika kecil kita diberikan role model baik buruk, hitam putih, dan seterusnya. Sampai akhirnya kita mendapatkan pelajaran tentang hidup ketika mulai baligh.

Mulai menyadari penis saya bisa tegang terhadap rangsangan eroptika tertentu, ataupun itu karena satu hal yang alami (morning wood). Pada masa inilah terindah, karena otak sudah mulai tahu apa itu siyasah atau cara mencapai tujuan dengan cara apapun namun terlihat tetap etis dan syukur-syukur tidak melanggar hukum. 

Mulai latihan merokok disudut rumah sambil bawa kipas angin kecil dan juga permen rasa menthol, kadang tidak ada permen ya bawa odol. Siyasah untuk tidak menyakiti hati orangtua namun kepuasan merokok juga beres tidak ketahuan. Kemudian beranjak pada sebuah nilai dominasi, dimana ketahuan juga tidak apa-apa asal disetting seolah tidak sengaja ketahuan.

Lalu apa hubungannya semua kisah masa lalu itu dengan apa yang akan saya bicarakan disini? Terus terang saya ini masih belajar untuk menyadari dan memahami bahwa kehidupan ini ada 2 kutub yang bertolak belakang. Konsep China ada Yin-Yang, kemudian ada juga Pandawa dan Kurawa, Tuhan dan setan tentu saja sebagai konsep dasar budi pekerti pada umumnya.

Sehingga menjadi sebuah nilai pragmatis untuk mendidik generasi kita tentang betapa dunia ini isinya baik dan jelek. Sebagai orang baik (ini subjektif sekali), saya sangat gerah dengan sebuah kondisi yang namanya berjuang. Lah buat apa saya berjuang, wong domainnya sudah baik kan pada akhirnya pasti masuk surga. Tapi sejak saya tahu bahwa salah satu pencapaian hidup adalah uang, yang tidak punya sifat baik atau buruk ataupun bahkan tak beragama. Otak saya agak geser dikit buat menyelam tentang hidup.

Saya punya seorang kawan dimasa kecil, bapaknya seorang tukang kayu serabutan yang hobinya minum whiskey double kiwi dan dia jualan daging anjing untuk tambahan penghasilan dan nyekolahin anaknya. Saya belajar berenang sama dia, termasuk diajak main ke sungai besar sebelah lokalisasi di kota Muntilan. Dan disitu kita ngintip mbak-mbak pekerja dan kadang dapat bonus (maaf) dimainin penisnya sama dia buat jamu katanya.

Saya adalah juara kelas (SD doang), dan kawan masa kecil saya tahu banget, bahwa ketika main kerumah saya dia akan jadi anak baik walaorangtuaku tahu tuh kawan anak pemabuk penjual daging anjing. Orangtuaku juga biasa saja, tidak berusaha menghakimi dia atau apapun karena tahu aku dan dia berteman normal seperti anak pada umumnya (yang seperti orangtuaku mau).

Kalo sudah diluar beda lagi, aku dan kawanku adalah pribadi paling bebas yang bisa melakukan apapun mulai nyolong tanaman mahal sampai bisa nongkrong di pangkalan preman terminal sambil mencicipi miras disana. Ketika preman terminal sudah mabuk maka kita yang jadi bagian beli rokok, beli makan, cariin cewek, dan kerjaan lain yang tentu saja banyak duitnya karena mereka para preman tidak pernah minta kembalian atas duit yang mereka kasih untuk kita.

Sore hari kita pulang, sebagai anak yang besok kudu sekolah dan tidak pernah punya uang saku yang cukup karena orangtua kerja pas-pasan. Tapi tentu saja kita ada uang dari para preman yang tiap hari kasi duit ketika kita disana. Hey! Itu tidak gratis rupanya, pada saat yang sama kita dicetak untuk menjadi seperti mereka: "Jo, tolong ambilin duit di kiosnya si A sejumlah sekian, kalo dia gak kasi rusakin aja barang-barang disana atau kalo kamu berani pukulin si A"

Awalnya bangga sekali diberikan tanggungjawab sebagai preman muda, hingga akhirnya diperjalanan waktu yang tiba-tiba cepat sekali hidupku berubah total dan hidup bukan cuma soal baik dan buruk. Tapi ada nilai yang jauh lebih menjadi prioritas, yaitu mau hidup atau mati (baca disini). Sudah bukan pengejaran terhadap nilai-nilai pragmatis lagi, mungkin kalo pada 5 stage of grief ini mentok pada kuadran depresi yang lama banget gak karuan.

Bahwa untuk semua perbuatan ada konsekuensi itu adalah hukum alam yang cukup tua, yang kemudian dimoderasi oleh agama dan juga "ilmu hukum". Tapi pernahkah kita bertanya sebentar, apakah hukuman (baca: nasib) yang kita alami sekarang ini adalah sebuah konsekuensi masa silam atau hukum karma? Padahal saya adalah orang yang mengimani secara optimis tentang sebuah jalan yang lurus, yang setiap saat saya lafalkan dalam hati ketika ada beban berat, dan yang membantu saya adalah sebuah surat bernama Alfatiha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun