Mohon tunggu...
Qismah Nuroniyyah Hidayati
Qismah Nuroniyyah Hidayati Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Ekonomi

tetaplah menjadi seseorang yang baik hati dan punya sabar yang tak terbatas, jangan ubah tatapan matamu, biarlah teduh bagi siapa aja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Freeport dan Warisan Penguasa Baru Dunia: Benarkah Indonesia Sudah Berdaulat?

23 Maret 2025   21:56 Diperbarui: 23 Maret 2025   22:28 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dokumenter The New Rulers of the World karya John Pilger kembali mengungkap realitas pahit tentang dominasi ekonomi global terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia. Film ini membahas bagaimana korporasi multinasional dan kekuatan Barat mengendalikan sumber daya negara-negara dunia dengan dalih investasi. Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah pengelolaan tambang Grasberg di Papua oleh PT Freeport Indonesia.

Selama puluhan tahun, kekayaan emas dan tembaga yang terkandung di perut bumi Papua lebih banyak menguntungkan perusahaan asing dibandingkan masyarakat lokal. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengambil alih saham mayoritas Freeport pada 2018, berbagai tantangan masih menghambat upaya mencapai kedaulatan ekonomi yang sesungguhnya.

Indonesia dan Warisan Ekonomi Orde Baru

Sejak 1967, pasca-kejatuhan Presiden Sukarno, Indonesia memasuki era baru yang ditandai dengan masuknya investasi asing secara besar-besaran. Pilger dalam dokumenternya mengungkap bagaimana sebuah konferensi rahasia di Jenewa yang disponsori oleh The Time-Life Corporation merancang peta ekonomi Indonesia di bawah kendali investor global.

Akibatnya, berbagai sektor strategis seperti minyak, gas, dan pertambangan dikuasai oleh perusahaan asing. Pemerintah yang saat itu membutuhkan modal pembangunan memberikan berbagai kemudahan bagi investor, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kedaulatan ekonomi nasional.

Salah satu hasil dari kebijakan tersebut adalah penguasaan tambang Grasberg oleh Freeport-McMoRan, perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang mendapat izin eksploitasi sejak 1967. Meskipun Indonesia memiliki sumber daya melimpah, keuntungan lebih banyak mengalir ke luar negeri, sementara masyarakat Papua tetap hidup dalam kemiskinan.

Tambang Freeport: Ketimpangan di Balik Kekayaan Alam

Di tengah pertamanan pegunungan Papua yang megah, Tambang Grasberg berdiri sebagai salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Selama lebih dari lima dekade, tambang ini telah menghasilkan keuntungan triliunan rupiah, namun ironisnya, kesejahteraan masyarakat setempat masih jauh dari kata sejahtera. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah bagi Papua justru menjadi sumber ketimpangan dan konflik yang tak kunjung usai.

Keberadaan Freeport di Indonesia sejak 1967 menjadi simbol bagaimana sumber daya alam dikuasai oleh korporasi asing dengan sedikit manfaat bagi negara dan rakyatnya. Meskipun pada 2018 pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih 51% saham Freeport, banyak pihak mempertanyakan apakah ini benar-benar kemenangan atau hanya formalitas belaka.

- Keuntungan yang Tidak Proporsional : Sebelum nasionalisasi pada 2018, Indonesia hanya menerima royalti sebesar 1% hingga 3,75% dari pendapatan Freeport. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan besar yang diraup oleh Freeport-McMoRan, perusahaan induknya yang berbasis di Amerika Serikat. Selama bertahun-tahun, kekayaan yang dihasilkan dari perut bumi Papua lebih banyak mengalir ke luar negeri dibandingkan masuk ke kas negara. Hal ini mencerminkan ketimpangan dalam perjanjian bisnis yang dibuat pada masa Orde Baru, di mana kepentingan asing lebih diutamakan dibandingkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Setelah pengambilalihan saham oleh pemerintah, Indonesia memang memperoleh porsi keuntungan yang lebih besar, tetapi pertanyaan besar masih menggantung: apakah rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua, benar-benar mendapatkan manfaat yang seharusnya?

- Dampak Lingkungan yang Serius : Keberadaan Freeport juga membawa dampak lingkungan yang signifikan. Eksploitasi tambang dalam skala besar telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang sulit diperbaiki. Salah satu dampak terbesar adalah pencemaran sungai dan tanah akibat limbah tambang atau tailing yang dibuang secara massal.

Masyarakat adat yang selama ini menggantungkan hidup pada alam sekitar kini harus menghadapi air sungai yang tercemar, tanah yang tidak lagi subur, dan hilangnya habitat bagi banyak spesies hewan. Bagi mereka, tambang bukanlah simbol kemajuan, melainkan ancaman yang menggerus sumber kehidupan mereka. Parahnya lagi, pengelolaan limbah yang tidak optimal telah menimbulkan bencana ekologis yang merugikan banyak pihak. Hutan-hutan yang dahulu hijau kini berubah menjadi lahan gundul, sementara sedimentasi dari limbah tambang telah mengubah aliran sungai dan memusnahkan biota air.

- Ketimpangan Sosial dan Konflik di Papua : Papua adalah salah satu provinsi terkaya di Indonesia dalam hal sumber daya alam. Namun, fakta di lapangan menunjukkan ironi yang menyakitkan: tingkat kemiskinan di Papua tetap tinggi, sementara akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan masih terbatas.

Masyarakat setempat sering kali merasa terpinggirkan dari keuntungan yang dihasilkan tambang ini. Alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mereka justru menyaksikan bagaimana tanah mereka dieksploitasi tanpa mendapatkan bagian yang sepadan.

Ketidakpuasan ini kerap berujung pada konflik sosial yang berkepanjangan. Demonstrasi dan protes telah berkali-kali terjadi, menuntut hak yang lebih adil atas kekayaan alam Papua. Sayangnya, respons yang diberikan sering kali berujung pada bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat, menambah daftar panjang ketegangan di wilayah ini.

Nasionalisasi Freeport: Kemenangan Nyata atau Hanya Simbolis?

Pada tahun 2018, Indonesia mencatat sejarah dengan mengambil alih 51% saham Freeport Indonesia. Akuisisi ini dilakukan melalui PT Inalum (sekarang MIND ID) dengan biaya sebesar USD 3,85 miliar atau sekitar Rp 56 triliun. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk mengurangi dominasi asing atas sumber daya alam Indonesia, khususnya tambang Grasberg di Papua yang merupakan salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia.

Namun, meskipun saham mayoritas kini berada di tangan pemerintah, kendali operasional masih didominasi oleh Freeport-McMoRan. Perusahaan asal Amerika Serikat ini tetap mengelola teknologi dan manajemen pertambangan, membuat Indonesia belum sepenuhnya mandiri dalam mengelola kekayaannya sendiri.

Dari sisi ekonomi, keuntungan nasionalisasi ini juga belum sepenuhnya terasa bagi rakyat. Sebelum pengambilalihan saham, royalti yang diterima Indonesia dari Freeport hanya 1% hingga 3,75% dari pendapatan tambang. Setelah nasionalisasi, angka ini meningkat menjadi 4% hingga 5% untuk tembaga dan 3,75% untuk emas. Namun, sebagian besar pendapatan Freeport pasca-nasionalisasi masih digunakan untuk membayar utang akuisisi, sehingga dampak langsung bagi pembangunan nasional belum signifikan.

Ketimpangan ekonomi di Papua tetap menjadi persoalan besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkat kemiskinan di Papua mencapai 24,32%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 9,36%. Infrastruktur di wilayah ini masih tertinggal, dengan akses listrik, air bersih, kesehatan, dan pendidikan yang belum memadai.

Nasionalisasi Freeport seharusnya menjadi awal dari kedaulatan ekonomi yang nyata, bukan sekadar perubahan kepemilikan saham. Pemerintah perlu memastikan penguasaan teknologi pertambangan, mengoptimalkan pendapatan untuk pembangunan, dan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Jika tidak, nasionalisasi ini hanya akan menjadi simbolis tanpa dampak nyata bagi rakyat Indonesia.

Kesimpulan: Perjuangan Menuju Kedaulatan Ekonomi yang Sebenarnya

Nasionalisasi Freeport pada 2018 merupakan langkah maju bagi Indonesia dalam mengendalikan sumber daya alamnya. Namun, kendali operasional yang masih dipegang Freeport-McMoRan, ketergantungan pada tenaga ahli asing, serta keuntungan ekonomi yang belum maksimal menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi belum sepenuhnya tercapai.

Selain itu, dampak lingkungan yang serius dan ketimpangan kesejahteraan di Papua tetap menjadi tantangan besar. Jika kebijakan tidak diubah dan implementasi tidak diperkuat, nasionalisasi ini berisiko menjadi sekedar simbol tanpa dampak nyata bagi rakyat.

Untuk mencapai kedaulatan ekonomi sejati, pemerintah harus memperkuat regulasi, memberdayakan masyarakat lokal, dan mengurangi ketergantungan pada perusahaan asing. Tanpa langkah nyata, nasionalisasi ini hanya akan menjadi perubahan administratif tanpa kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun