- Dampak Lingkungan yang Serius : Keberadaan Freeport juga membawa dampak lingkungan yang signifikan. Eksploitasi tambang dalam skala besar telah menyebabkan kerusakan ekosistem yang sulit diperbaiki. Salah satu dampak terbesar adalah pencemaran sungai dan tanah akibat limbah tambang atau tailing yang dibuang secara massal.
Masyarakat adat yang selama ini menggantungkan hidup pada alam sekitar kini harus menghadapi air sungai yang tercemar, tanah yang tidak lagi subur, dan hilangnya habitat bagi banyak spesies hewan. Bagi mereka, tambang bukanlah simbol kemajuan, melainkan ancaman yang menggerus sumber kehidupan mereka. Parahnya lagi, pengelolaan limbah yang tidak optimal telah menimbulkan bencana ekologis yang merugikan banyak pihak. Hutan-hutan yang dahulu hijau kini berubah menjadi lahan gundul, sementara sedimentasi dari limbah tambang telah mengubah aliran sungai dan memusnahkan biota air.
- Ketimpangan Sosial dan Konflik di Papua : Papua adalah salah satu provinsi terkaya di Indonesia dalam hal sumber daya alam. Namun, fakta di lapangan menunjukkan ironi yang menyakitkan: tingkat kemiskinan di Papua tetap tinggi, sementara akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan masih terbatas.
Masyarakat setempat sering kali merasa terpinggirkan dari keuntungan yang dihasilkan tambang ini. Alih-alih mendapatkan kehidupan yang lebih baik, mereka justru menyaksikan bagaimana tanah mereka dieksploitasi tanpa mendapatkan bagian yang sepadan.
Ketidakpuasan ini kerap berujung pada konflik sosial yang berkepanjangan. Demonstrasi dan protes telah berkali-kali terjadi, menuntut hak yang lebih adil atas kekayaan alam Papua. Sayangnya, respons yang diberikan sering kali berujung pada bentrokan antara aparat keamanan dan masyarakat, menambah daftar panjang ketegangan di wilayah ini.
Nasionalisasi Freeport: Kemenangan Nyata atau Hanya Simbolis?
Pada tahun 2018, Indonesia mencatat sejarah dengan mengambil alih 51% saham Freeport Indonesia. Akuisisi ini dilakukan melalui PT Inalum (sekarang MIND ID) dengan biaya sebesar USD 3,85 miliar atau sekitar Rp 56 triliun. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk mengurangi dominasi asing atas sumber daya alam Indonesia, khususnya tambang Grasberg di Papua yang merupakan salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia.
Namun, meskipun saham mayoritas kini berada di tangan pemerintah, kendali operasional masih didominasi oleh Freeport-McMoRan. Perusahaan asal Amerika Serikat ini tetap mengelola teknologi dan manajemen pertambangan, membuat Indonesia belum sepenuhnya mandiri dalam mengelola kekayaannya sendiri.
Dari sisi ekonomi, keuntungan nasionalisasi ini juga belum sepenuhnya terasa bagi rakyat. Sebelum pengambilalihan saham, royalti yang diterima Indonesia dari Freeport hanya 1% hingga 3,75% dari pendapatan tambang. Setelah nasionalisasi, angka ini meningkat menjadi 4% hingga 5% untuk tembaga dan 3,75% untuk emas. Namun, sebagian besar pendapatan Freeport pasca-nasionalisasi masih digunakan untuk membayar utang akuisisi, sehingga dampak langsung bagi pembangunan nasional belum signifikan.
Ketimpangan ekonomi di Papua tetap menjadi persoalan besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tingkat kemiskinan di Papua mencapai 24,32%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 9,36%. Infrastruktur di wilayah ini masih tertinggal, dengan akses listrik, air bersih, kesehatan, dan pendidikan yang belum memadai.
Nasionalisasi Freeport seharusnya menjadi awal dari kedaulatan ekonomi yang nyata, bukan sekadar perubahan kepemilikan saham. Pemerintah perlu memastikan penguasaan teknologi pertambangan, mengoptimalkan pendapatan untuk pembangunan, dan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Jika tidak, nasionalisasi ini hanya akan menjadi simbolis tanpa dampak nyata bagi rakyat Indonesia.