Mohon tunggu...
Putu Mahatma Satria Wibawa
Putu Mahatma Satria Wibawa Mohon Tunggu... Pemenang Medali Emas bidang Menulis Cerita Pendek dalam Ajang Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) SMA Tingkat Nasional 2024

Adalah seorang pemuda yang senang memperhatikan dunia di sekitar; gemar menulis untuk mencurahkan perasaan; menyukai teh lemon dan film fiksi-ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Perayaan Seabad Pram: Kebangkitan Literatur Indonesia dalam Masa Kebangkitan Nasional

6 Februari 2025   10:08 Diperbarui: 6 Februari 2025   08:22 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pram ketika berada di Jakarta 1986 [Charlie Hanley/AP]

Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. Kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin menguasai dunia dengan kehebatannya--kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak pernah benar-benar hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan semua ilmu dan pengetahuannya. (Anak Semua Bangsa, Tetralogi Buru, Pramoedya Ananta Toer 1980). 

Dunia literatur Indonesia sedang bergembira. Bagaimana tidak? Seorang sastrawan besar sedang dirayakan ulang tahunnya yang keseratus. Seorang sastrawan yang, karena kehebatannya, pernah dijebloskan menjadi tahanan di sebuah pulau yang menjadi lahirnya mahakarya literatur kebanggan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai: Novel Tetralogi Buru, yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Novel-novel tersebut lahir di Pulau Buru, ketika Pram tengah diasingkan dari tanah kelahirannya di Blora, Jawa Tengah. Ia dijebloskan sebagai tahanan politik (tapol) tanpa proses pengadilan pada 1965 hingga 1969 di Pulau Nusakambangan lalu di Pulau Buru pada 1969 - 1979.

Meskipun dilarang menulis selama menjadi tapol, ia tetap bisa menulis Tetralogi Buru di Pulau Buru. Karya-karyanya sukses dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah dari para aktivis kiri dan oleh karenanya, buku-bukunya sempat dibakar dan dilarang beredar pada zaman orde baru. 

Hal ini sempat dibicarakan oleh salah seorang saudaranya, Soesilo Toer, dalam acara gelar wicara di Ubud Writters and Readers Festival di Ubud, Bali, pada 2024 yang lalu. 

Kini, di hari Kamis pada 6 Februari 2025, tepat seratus tahun masa kelahirannya, sebuah momentum dirayakan sebagai suatu memori peringatan bahwa betapa besar sumbangsih Pram bagi kesusastraan Indonesia yang bangkit dengan berkaca pada sumber-sumber inspirasi kehidupan dalam masa Kebangkitan Nasional.

Saya pribadi berharap, bahwa buku-buku Pram dapat disebarluaskan menjadi bacaan wajib dalam kegiatan, Sastra Masuk Kurikulum bagi para siswa dan mahasiswa di seluruh Indonesia agar dapat tumbuh kesadaran akan betapa pentingnya literasi dalam berkaca pada sejarah untuk menyongsong masa delan negeri yang jauh lebih indah dan lebih baik. (PMSW)

Denpasar, Kamis, 6 Februari 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun