Mohon tunggu...
Putu Diah Kirana
Putu Diah Kirana Mohon Tunggu... Guru Content Creator

Trust the seeds that you are planting

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Kurikulum yang terlalu menganut Aliran Idealisme Cocok diterapkan di Indonesia?

9 Oktober 2025   05:30 Diperbarui: 9 Oktober 2025   06:44 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan di Indonesia, sejak era kemerdekaan hingga implementasi Kurikulum Merdeka saat ini, selalu berada dalam pusaran dialektika filosofis. Di satu sisi, cita-cita luhur pendiri bangsa mewariskan semangat Idealisme, menekankan pembentukan manusia seutuhnya, berkarakter mulia, dan berorientasi pada nilai-nilai spiritual dan moral yang abadi. Filosofi pendidikan Idealisme, yang berakar pada pemikiran Plato, meyakini bahwa realitas sejati terletak pada dunia ide, dan tujuan utama pendidikan adalah membantu peserta didik menemukan kebenaran universal, keindahan, dan kebaikan (nilai-nilai absolut). Tujuannya bukanlah sekadar transfer pengetahuan, melainkan pengembangan jiwa dan akal budi. Guru dipandang sebagai model ideal (exemplar) yang memimpin siswa dari ketidaktahuan menuju pencerahan batin. Di sisi lain, sistem pendidikan kita harus berhadapan dengan realitas lapangan: tuntutan globalisasi, industrialisasi, kebutuhan pasar kerja yang serba cepat, serta keragaman sosial-ekonomi yang ekstrem. Realitas inilah yang melahirkan pertanyaan krusial: Sejauh mana filosofi Idealisme murni dapat diterapkan secara efektif dalam konteks Indonesia yang majemuk dan pragmatis? Kurikulum yang terlalu Idealisme (yang mengesampingkan realitas material dan kebutuhan praktis) mungkin terlihat indah di atas kertas, tetapi berpotensi menimbulkan tantangan serius dalam praktik. 

Untuk memahami tantangannya, kita perlu merangkai ulang esensi Idealisme dalam pendidikan. Aliran ini menekankan pada mata pelajaran yang bersifat liberal (humaniora, filsafat, agama, sastra) yang bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan moralitas. Pengetahuan dipandang sebagai hasil dari olah pikir dan refleksi batin, bukan hanya penginderaan. Guru adalah poros utama, sementara siswa dipandang sebagai jiwa yang memiliki potensi terpendam yang perlu "diingatkan" atau "ditarik keluar" menuju kebenaran absolut. Dalam konteks Indonesia, Idealisme sangat selaras dengan Pancasila, khususnya sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), yang meletakkan landasan nilai moral dan spiritual sebagai fondasi bernegara dan berpendidikan.

Namun, ketika Idealisme menjadi terlalu dominan (Idealisme murni), ia cenderung mengabaikan aspek-aspek berikut:

  1. Pengalaman Indrawi (Realisme): Idealisme murni meremehkan dunia material sebagai "bayangan." Sementara itu, dunia nyata menuntut siswa untuk memiliki keterampilan berbasis pengalaman dan observasi ilmiah.

  2. Kebutuhan Sosial dan Praktis (Pragmatisme): Idealisme tidak terfokus pada "bagaimana melakukan" tetapi "apa yang benar." Dunia modern menuntut lulusan yang mampu memecahkan masalah praktis, memiliki kompetensi vokasional, dan adaptif terhadap perubahan teknologi.

  3. Peran Siswa yang Terlalu Pasif: Idealisme menempatkan guru sebagai sentrum pengetahuan dan moralitas. Paradigma ini bertentangan dengan kebutuhan pendidikan modern yang menuntut siswa aktif, kreatif, dan mandiri (student-centered learning).

Tantangan Praktis Penerapan Idealisme di Indonesia

Penerapan kurikulum yang terlalu menekankan Idealisme akan menghadapi kendala besar di lapangan, yang bersumber dari kondisi sosiologis, ekonomi, dan struktural Indonesia.

1. Konflik dengan Tuntutan Ekonomi dan Industrialisasi

Pendidikan di Indonesia, baik disadari atau tidak, memiliki fungsi utama sebagai penyiap tenaga kerja. Masyarakat dan orang tua cenderung menilai keberhasilan pendidikan dari kemampuan lulusan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan berkontribusi pada pendapatan keluarga. Kurikulum yang terlalu Idealisme, dengan fokus utama pada filsafat dan moralitas, dikhawatirkan mengabaikan mata pelajaran dan keterampilan vokasional (keterampilan praktis) yang dibutuhkan oleh industri. Di tengah persaingan global, menekankan pencarian kebenaran absolut tanpa bekal keterampilan teknis yang memadai dapat meningkatkan pengangguran terdidik. Pragmatisme (kemampuan fungsional dan aplikasi praktis) mutlak diperlukan untuk menjembatani Idealisme dengan tuntutan nyata kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun