2. Kesenjangan Mutu Guru dan Fasilitas
Idealisme menuntut guru ideal. Dalam sistem yang sangat Idealisme, guru harus menjadi teladan sempurna intelektual, moral, dan spiritual. Guru adalah satu-satunya instrumen vital dalam mentransmisikan nilai-nilai absolut. Sayangnya, realitas di Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan mutu guru dan fasilitas antar daerah (Jawa-luar Jawa, kota-desa). Menerapkan kurikulum yang hanya bisa berhasil dengan guru-guru superior akan memperlebar jurang pendidikan, di mana sekolah di perkotaan dapat mencapai tujuan Idealisme, sementara sekolah di daerah terpencil kesulitan bahkan dalam pemenuhan materi dasar.
3. Benturan Nilai Universal dan Nilai Lokal (Relativisme)
Idealisme mencari nilai-nilai universal yang berlaku abadi. Sementara itu, Indonesia adalah negara dengan ribuan suku, bahasa, dan sistem nilai lokal yang unik. Ketika sekolah terlalu menekankan kebenaran universal ala Idealisme tanpa menoleransi dan mengapresiasi keragaman kearifan lokal (seperti yang ditekankan oleh Eksistensialisme atau Rekonstruktivisme sosial), kurikulum bisa terasa asing dan hegemonik bagi peserta didik dari latar belakang budaya tertentu. Tantangan relativisme dan pluralisme kontemporer menunjukkan bahwa kebenaran tidak selalu seragam, dan pendidikan perlu mengajarkan toleransi dan inklusivitas, bukan hanya mengejar satu kebenaran ideal.
4. Kurangnya Relevansi dengan Perkembangan Sains dan Teknologi
Idealisme klasik cenderung memandang ilmu pengetahuan empiris (sains) sebagai pengetahuan tingkat rendah karena bersumber dari dunia bayangan (materi). Namun, abad ke-21 digerakkan oleh sains, data, dan teknologi. Kurikulum yang terlalu Idealisme berisiko ketinggalan zaman karena kurang menekankan pada metode ilmiah, eksperimen, penalaran induktif, dan literasi digital. Pendidikan harus menggabungkan kekuatan Idealisme (visi, nilai) dengan kekuatan Realisme (fakta, sains) dan Pragmatisme (aplikasi, pemecahan masalah) untuk mempersiapkan siswa menghadapi revolusi industri dan digital.
Kurikulum yang terlalu Idealisme tidak cocok, bukan karena filosofinya salah, tetapi karena tidak cukup untuk menjawab kompleksitas dan kebutuhan praktis pendidikan di Indonesia. Solusi yang paling realistis dan efektif adalah menggunakan pendekatan Ekletisisme Filosofis, pengambilan unsur-unsur terbaik dari berbagai aliran filsafat yang relevan.
Mengintegrasikan Filosofi secara Harmonis
Pondasi Nilai (Idealisme): Idealisme harus tetap menjadi roh pendidikan, fokus pada pembangunan karakter, penanaman moral, dan pengembangan kesadaran spiritual (sesuai Pancasila). Ini terwujud melalui pendidikan agama, budi pekerti, dan humaniora. Idealisme memberikan arah dan tujuan luhur.
Landasan Fakta dan Keterampilan (Realisme): Realisme harus menjadi tubuh pendidikan, memastikan siswa memiliki penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA), matematika, dan ilmu sosial berbasis data. Ini memastikan kurikulum relevan dengan dunia nyata, objektif, dan faktual. Realisme memberikan isi yang solid.
Metode dan Aplikasi (Pragmatisme): Pragmatisme harus menjadi metode pendidikan, menekankan pembelajaran berbasis proyek (Project-Based Learning), pemecahan masalah (Problem-Based Learning), dan keterampilan praktis. Ini memastikan pengetahuan dapat diaplikasikan dan diuji dalam konteks sosial. Pragmatisme memberikan kebermanfaatan.