Sudah sebulan ini Pak Kasdun dan Bu Eem, yang tak lain adalah orang tua Harun, nyaris gantung diri. Sudah beberapa kali mereka bersekongkol untuk mengakhiri hidup bersama-sama. Hanya saja, mereka urung. Membayangkan masa depan di alam lain sana, yang diyakini khalayak sebagai alam pembalasan, nyali mereka mengeriput.
“Manusia yang paling dzalim, paling pengecut, paling miskin rasa syukur, adalah yang membunuh dirinya sendiri. Kecewa bukan main Tuhan dengan orang macam begini. Terlaknat, bahan bakar api neraka.” Kalimat Mbah Rebon, sesepuh kampung yang mengetuai Aliansi Orang Bijak Anti Bunuh Diri di kampung mereka terngiang-ngiang, serupa bunyi ambulance yang pernah mereka dengar di televisi. Maklumlah, jalan kampung pegunungan tempat mereka tinggal benar-benar mengenaskan, sulit dijelaskan dengan bahasa apapun, hingga mobil jenis apa saja, termasuk ambulance, kehilangan nyali untuk melewatinya. Televisilah satu-satunya jalan orang-orang kampung itu untuk mengenal ambulance; melihatnya, mendengarnya, menaikinya dalam mimpi. Jika punya rezeki lebih, mereka membeli posternya di pedagang keliling.
“Rupanya kita tidak berbakat bunuh diri, Pak,” keluh Bu Eem, sambil kepala disandarkan pada pundak suaminya.
“Benar, bayang-bayang wajah marah Mbah Rebon akhir-akhir ini membuat tidur rasanya kurang nyenyak.” Pak Kasdun menanggapi sambil bergidik, membuat isterinya tersenyum geli. Di atas sana, rembulan menatap mereka dari sela daun-daun randu, lalu tersenyum tipis.
Kasus percobaan gantung diri sepasang suami-isteri dari desa terpencil di leher gunung itu, adalah karena ulah Harun, anak semata wayang mereka. Pasalnya, anak yang tidak terlalu jelek, namun juga kurang meyakinkan untuk dibilang tampan itu telah membuat aib. Hal memalukan yang diperkirakan Pak Kasdun tidak akan sanggup ditanggung hingga tujuh turunan.
Setiap hari Harun keliling kampung, menanyai setiap orang yang ditemuinya tentang Inaya, gadis yang menurutnya membawa aura rembulan, teduh. Harun sempat menyangka bahwa keteduhan yang dimiliki Inaya tak lain dan tak bukan karena Inaya adalah sejenis manusia pemakan rembulan, yang karenanya membuat rembutan hanya tinggal seukuran sabit. Tidak masuk akal memang. Tapi, Harun acuh tak acuh mendapat cibiran setiap kali ia menjelaskan tentang Inaya, gadis rembulan yang ia cari-cari itu.
Semua orang di kampung terpecil itu sudah pernah ditanyainya tentang Inaya, dari yang tua sampai yang muda, laki dan perempuan, besar maupun kecil, bahkan yang masih dalam kandungan pun ditanyainya pula.
“Apakah Bapak tahu gerangan keberadaan Inaya?”
“Apakah Bapak pernah melihat Inaya?”
“Apakah Inaya pernah menitip surat kepada Bapak?”
“Apakah Bapak adalah Inaya?”