Mohon tunggu...
Putri Ninda Novianti
Putri Ninda Novianti Mohon Tunggu... Sekretaris - create your own happiness🕊️

Semesta menginspirasi, manusia berimajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Makna

5 April 2023   19:44 Diperbarui: 5 April 2023   19:46 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A.   Teori -Teori dalam Semantik ('Ilm Al-Dilalah)

       Makna bahasa terkait dengan lafaz (bentuk kata), struktur (tarkib), dan konteks (siyaq), situasi dan kondisi. Makna kata suatu bahasa tidak dapat dipisahkan dari akar kata, penunjukan, dan konteks penggunaannya. Teori-teori yang lahir berkaitan dengan makna dilatarbelakangi keinginan para filsuf dan linguis untuk melihat hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran, dan realitas. Karena itu, dalam 'ilm al-dilalah ditemukan setidaknya delapan teori tentang makna , yaitu : (1) al-nazhariyyah al-isyariyyah, (2) al nazhariyyah al-tashawwuriyyah, (3) al-nazhariyyah al-sulukiyyah, (4) al-nazhariyyah  al-siyaqiyyah, (5) al-nazhariyyah al-tahliliyyah, (6) al-nazhariyyah al-taulidiyyah, (7) al-nazhariyyah al-wad'iyyah al-mantiqiyyah fi al-ma'na, dan (8) al-nazhariyyah al-brajmatiyyah. 

1.   Al-Nazhariyyah al-Isyariyyah

      Al-nazhariyyah al-isyariyyah disebut juga dengan ''al-nazhariyyah al-ismiyyah bi al-makna'' (theory of meanings naming), atau teori referensi/korespondensi adalah teori yang merujuk kepada segitiga makna, seperti yang dikemukakan oleh Odgen dan Richards. Menurut teori ini, makna adalah sesuatu yang terbentuk dari hasil hubungan antara refence dengan referent sehingga membentuk simbol bunyi bahasa (berupa: kata. frase, dan kalimat).

      Makna adalah hubungan antara reference (pikiran, makna) dan referent (rujukan) di alam nyata yang disimbolkan lewat bunyi bahasa, baik berupa kata, frasa atau kalimat. Makna suatu kata itu menunjuk (mengisyaratkan) kepada sesuatu di luar dirinya. Teori ini mempunyai dua varian, yaitu (1) makna kata itu adalah apa yang ditunjuk atau menjadi rujukan kata itu sendiri; dan (2) makna kata itu merupakan hubungan antara ungkapan dan yang menjadi rujukannya. Berdasarkan teori ini, muncullah beberapa teori yang memfokuskan kajian terhadap isyarat dan tanda yang kemudian melahirkan ilmu tentang tanda atau semiologi atau semiotik. Ilmuwan Inggris Odgen dan Richards yang terkenal dengan segitiganya memberikan karakter ilmiah terhadap teori ini yang membedakan unsur semantik yaitu:

  •  (Ide, berupa isi pikiran)
  •  (Simbol/'dal /petanda, berupa kata)
  •  (Dunia luar/alam nyata, berupa rujukan).

      Ketiga unsur tersebut menggambarkan bahwa pikiran, sebagai unsur yang mengadakan signifikansi sehingga menghadirkan makna tertentu, memiliki hubungan langsung dengan acuan/rujukan. Adapun simbol merupakan rujukan terhadap alam nyata. Kata yang tidak merujuk kepada alam nyata bukan sebuah simbol. Akan tetapi, tidak ada hubungan antara simbol dan rujukan yang ada di alam nyata, Jika kita memperhatikan ujaran dalam bahasa Arab, misalnya: Yasser Arafat. Mekkah, Masjid Nabawi, dan sebagainya, maka makna ujaran itu merujuk kepada suatu benda atau hal yang sama, yaitu Presiden Palestina, kota tempat al-Masjid al-Haram berada, masjid yang dibangun oleh Nabi saw. dan para sahabatnya di Madinah. Dengan kata lain, fungsi bahasa menurut teori ini adalah sebagai wakil realitas yang menyertai proses berpikir manusia secara individual.


      Contoh: Ketika menyebut kata (kuda) sebagai simbol pada sudut (a) maka terbayang dibenak bahwa kuda sejenis binatang berkaki empat yang biasa ditunggangi untuk membawa barang atau manusia pada sudut (b); dan yang merujuk pada sebuah referent di alam nyata pada sudut (c).

 

2.   Al-Nazhariyyah al-Tashawwuriyyah 

      Al-nazhariyyah al-tashawwuriyyah (teori konsepsional) adalah teori semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip konsepsi yang ada pada pikiran manusia. Teori yang dinisbahkan kepada John Locke ini disebut juga dengan teori mentalisme. Teori ini disebut teori pemikiran, karena kata itu menunjuk pada ide yang ada dalam pemikiran. Karena itu, penggunaan suatu kata hendaknya merupakan penunjukan yang mengarah kepada pemikiran.

      Teori mentalisme ini dipelopori oleh Ferdinand de Saussure, Linguis Swiss, yang pertama kali menganjurkan studi bahasa secara sinkronis dan membedakan analisis bahasa atas trilogi (tsalus): la parole, la langue, dan la langage (al-lughah). la menghubungkan bentuk bahasa lahiriah (la parole, al-kalam) dengan konsep atau citra penuturnya (la langue, al-lughah al-mu'ayyanah). Teori mentalisme berbeda dengan teori referensial, karena makna suatu kata, frasa atau kalimat merupakan citra mental dari penuturnya. De Saussure ini juga dianggap sebagai pendiri teori sosial dalam linguistik, karena teori linguistiknya didasarkan atas teori sosial Durkheim, bahwa aktivitas sosial, termasuk berbahasa, merupakan aktivitas yang berdiri sendiri, terpisah dari individu-individu. Bahasa termasuk bagian dari fenomena sosial yang unik. Individu juga mempunyai eksistensi tersendiri dalam kehidupan sosial.

      Contoh: Konsepsi "pohon" membuat kalimat maka semantiknya berbeda-beda, ada yang semantiknya banyak atau adanya menjadi sedikit tergantung dari eksistensi konsepsi yang masuk, sebagaimana di sini kata tersebut tidak membuat konsepsi yang tidak ada hubungannya segala sesuatu seperti adat, hurf, dan lainnya.

3.   Al-Nazhariyyah al-Siyaqiyyah 

      Al-nazhariyyah al-siyaqiyyah (teori kontekstual) adalah teori semantik yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu, dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein (Ludwig Josef Johann Wittgenstein) ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu (a) konteks kebahasaan, (b) konteks emosional, (c) konteks situasi dan kondisi, dan (d) konteks sosiokultural.

      Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdim (posisi didahulukan) dan ta'khir (diakhirkan). Konteks emosional dapat menentukan makna bentuk kata dan strukturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti ''membunuh''. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Adapun konteks kultural adalah nilai-nilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna yang demikian dapat dijumpa dalam peribahasa, seperti ''Nasi telah menjadi bubur'', bukan ''Air bah telah mencapai tempat yang tinggi''.

      Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antarbahasa, Makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini mengisyaratkan adanya hubungan antara kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Menurut teori ini, sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kata baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Singkatnya hubungan makna itu bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosiokutural.

4.   Teori Formalisme

      Secara etimologis, formalisme berasal dari kata forma (latin), yang berarti bentuk atau wujud. Dalam ilmu sastra, formalisme adalah teori yang digunakan untuk menganalisa karya sastra yang mengutamakan bentuk dari karya sastra yang meliputi teknik pengucapan, meliputi ritma, rima, aquistik/bunyi, aliterasi, asonansi dsb, kata-kata formal (formal words) dan bukan isi serta terbebas dari unsur luar seperti sejarah, biografi, konteks budaya dsb sehingga sastra dapat berdiri sendiri (otonom) sebagai sebuah ilmu dan terbebas dari pengaruh ilmu lainnya. Teori formalis ini bertujuan untuk mengetahui keterpaduan unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut sehingga dapat menjalin keutuhan bentuk dan isi dengan cara meneliti unsur-unsur kesastraan, puitika, asosiasi, oposisi, dsb.

      Dalam literatur Arab, formalisme dikenal sebagai ilmu Balaghah, yaitu ilmu yang membahas tentang teori menggunakan ungkapan yang indah dalam bahasa. Ilmu ini berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan serta kejelasan perbedaan yang samar di antara macam-macam uslub (gaya bahasa) yang digunakan oleh seorang penulis. Kebiasaan mengkaji Balaghah, merupakan modal pokok dalam membentuk tabiat sastra dan menggiatkan kembali beberapa bakat yang terpendam. Unsur-unsur Balaghah, di antaranya adalah sebagai berikut: kalimat, makna, dan susunan kalimat yang memberikan kekuatan, pengaruh dalam jiwa, serta keindahan dalamnya penggunaan gaya bahasa dan pemaknaan. Selain itu, juga termasuk kejelian dalam memilih kata dan gaya bahasa, yang tentu saja sesuai dengan tempat bicara, teman bicara, situasi bicara, kondisi para pendengar dan lain sebagainya dijadikan unsur penunjang lain dalam mengkaji sebuah karya sastra. Terdapat tiga fan (disiplin) ilmu dalam kajian Balaghah ini, yaitu

  •  Ilmu Bayan: tasybih, hakikat dan majaz, kinayah.
  •  Imu Ma'ani: kalam khabar dan insya', qashr, fashal dan washal, musawah dan ijaz serta ithnab.
  •  Ilmu Badi': muhassinat lafzhi (jinas, iqtibas, saja'), muhassinat maknawiyah (tauriyah, thibaq, muqabalah, husnut ta'lil).

      Selain Balaghah layak dipilih sebagai alat analisis untuk literatur sastra klasik seperti al-Qur'an di atas, Balaghah juga sangat layak dan operasional jika dipakai untuk mengkaji novel-novel moder dan kontemporer, meski disadari bahwa balaghah lahir pada masa klasik dan pertengahan. Bukan saja novel yang lahir di tangan sastrawan Arab modern yang beraliran klasik yang menjunjung tinggi bayan, seperti Mustafa Lutfi al-Manfaluti (1876-1924) dan Mustafa Sadiq ar-Rafi'i (1880-1937) tetapi pada novel-novel Najib Mahfuz (1911-2006) yang realis dan sekuler.

      Menurut Muhammad Ahmad Khadir, kajian balaghah terhadap karya kontemporer Arab seperti karya Najib Mahfuz masih sangat panjang. Oleh karena itu, ia melakukannya dengan menggunakan teori hadzaf (gaya bahasa eliptik) pada bab ma'ani di atas. Dalam penelitiannya, ia menemukan penggunaan hadzaf sekitar 21 kali dalam novel al-Lis wa al-Kilab. Misalnya, Najib Mahfuz banyak membuang kalimat setelah kata "tetapi", "ya" atau setelah kata "kemarin" dalam struktur tanya jawab. Misalnya saat Sa'id ditanya: "kapan kamu keluar (dari penjara)?" jawabnya: "kemarin". Padahal kata yang dimaksud dengan kata "kemarin" itu adalah "saya keluar (dari penjara itu) kemarin". Dalam struktur lain, Najib Mahfuz juga banyak membuang khobar (predikat) dalam jumlah ismiyyah (kalimat yang diawali oleh kata kerja) dan juga membuang fa'il (subyek) dalam jumlah fi'liyyah (kalimat yang diawali kata kerja/fi'il).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun