Mohon tunggu...
putri jelita manulang
putri jelita manulang Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa di Universitas Riau jurusan kedokteran hewan. Saya tertarik dengan dunia kesehatan, medis, sastra, dan dunia fauna. Saya selalu punya keinginan untuk mempelajari hal baru. Ekspresi yang paling baik menurut saya adalah dengan menulis. Melalui hal itu, saya harap tiap momen dapat diabadikan sebagai pelajaran dan kenangan yang universal untuk semua orang dari tempat bahkan peradaban manapun.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ironi Konservasi: Monyet Terancam Punah yang Masih Dieskploitasi

15 September 2025   22:10 Diperbarui: 15 September 2025   22:08 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bahwa kita membeli penderitaan dengan tawa pada satwa demi hiburan, bahwa kita menceraikan keluarga mereka di hutan demi hiasan di rumah, bahwa kita menyebarkan penyakit antara kita kemudian menyalahkan hewan. Kita semua yang melakukan dan diam atas praktik ini telah menghina kemuliaan dari Tuhan untuk menjaga bumi.

Di sebuah jalanan kota, seekor monyet kecil berpakaian duduk dengan rantai di lehernya. Monyet berusaha meniru gerakan manusia hingga menari dengan gerakan kaku, sementara penonton yang tertawa memberi recehan. Pertunjukan ini dikenal luas sebagai topeng monyet. Tampaknya sederhana, namun di balik atraksi itu tersimpan kisah panjang eksploitasi, penderitaan satwa, dan ancaman kesehatan yang sering diabaikan.

Ironinya, monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) justru masuk kategori terancam punah menurut Daftar Merah IUCN. Namun, keduanya masih diperdagangkan, dijadikan hewan peliharaan, dipekerjakan, bahkan dipakai dalam industri biomedis. Situasi ini menyingkap sebuah paradoks besar: satwa yang seharusnya dilindungi justru terus dieksploitasi. Artikel ini mengurai bentuk eksploitasi monyet ekor panjang dan beruk di Indonesia, dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan satwa, potensi zoonosis, serta tawaran solusi berbasis konservasi dan pendekatan One Health (Macaque Coalition, 2022).

Bentuk-Bentuk Eksploitasi

Bentuk-bentuk eksploitasi monyet dan beruk di Indonesia cukup beragam dan pastinya menyakiti harkat dan martabat dari hewan yang tergolong dilindungi. Berikut adalah praktik-praktik tersebut:

  • Hewan Peliharaan Eksotis

Pasar satwa tradisional maupun media sosial kerap memperjualbelikan bayi primata. Mereka dipisahkan dari induk di alam, dibesarkan dalam kandang sempit, lalu diperlakukan layaknya “boneka hidup”. Praktik ini bukan hanya menyiksa, tetapi juga berkontribusi pada penurunan populasi liar. Padahal kepemilikan pribadi satwa ini sudah dilarang tegas (IUCN, 2022; Macaque Coalition, 2022).

  • Pertunjukan Topeng Monyet

Pertunjukan ini dulunya dianggap hiburan rakyat murah. Kenyataannya adalah monyet terkadang dilatih dengan kekerasan: dicambuk, dipaksa lapar, atau dirantai berjam-jam. Pemerintah kota Jakarta bahkan resmi melarang atraksi ini sejak 2013 karena dianggap melanggar etika dan berpotensi menularkan penyakit. Praktik ini melanggar hak kesejahteraan dan kesehatan dari hewan yang menjadi korban dari praktik ini (Indriani, 2024; MediaJustitia, 2022).

  • Beruk sebagai Pekerja                   

Beruk masih digunakan untuk memetik kelapa di beberapa daerah. Meski dianggap tradisi, kenyataannya beruk kerap dilatih keras dan tidak pernah mendapat ruang untuk hidup sesuai perilaku alaminya. Eksploitasi ini melanggar prinsip kesejahteraan hewan (animal welfare), yang seharusnya menjamin satwa bebas dari rasa sakit, lapar, dan penderitaan.

  • Eksploitasi dalam Riset Biomedis

Lonjakan permintaan primata dalam riset medis, terutama pasca pandemi COVID-19, membuat monyet ekor panjang menjadi salah satu spesies primata yang paling banyak dieksploitasi secara global. Indonesia bahkan menjadi salah satu pemasok besar, sebuah ironi ketika status konservasi mereka justru kian genting. Meskipun penggunaannya adalah sebagai hewan laboratorium, seharusnya kita lebih bertanggung jawab dalam pengaturan eksploitasi ini (Macaque Coalition, 2022).

Dampak Eksploitasi

Bentuk-bentuk eksploitasi berlebihan ini memberi dampak negatif yang dirasakan oleh semua struktur ekosistem, mulai dari satwa hingga manusia. Berikut adalah dampak-dampak merugikan tersebut:

  • Kesejahteraan Hewan

Monyet dan beruk adalah satwa dengan kecerdasan tinggi, struktur sosial kompleks, dan kebutuhan perilaku alami yang luas. Hidup dalam rantai atau kandang sempit menyebabkan stres kronis, trauma, serta perilaku abnormal. Tentunya kondisi ini mempertanyakan hati nurani dan etika kita dalam memperlakukan sesama makhluk hidup (Macaque Coalition, 2022).

  • Konservasi

Populasi monyet ekor panjang di alam telah menurun drastis dalam tiga dekade terakhir, terutama akibat perburuan dan kehilangan habitat. Jika tren ini berlanjut, satwa yang dulu melimpah bisa segera menghilang dari hutan-hutan Indonesia. Ekosistem akan terganggu dan hal ini akan berlanjut pada ketidakseimbangan lingkungan (IUCN, 2022).

  • Etika dan Kemanusiaan

Eksploitasi ini mencerminkan kontradiksi: budaya yang memelihara hiburan rakyat tetapi mengorbankan makhluk hidup lain. Pertanyaan mendasar muncul: sampai kapan manusia menormalisasi penderitaan satwa demi hiburan murah? Manusia adalah makhluk hidup yang dibekali akal pikiran untuk mampu mengukur nilai pengorbanan hewan demi kesejahteraan kita. Prioritas kita bukan hanya kebutuhan pribadi, namun sebuah kondisi dimana manusia dan hewan dapat hidup berdampingan serta saling menghargai satu sama lain.

  • Kesehatan Manusia (Zoonosis)

Interaksi erat antara manusia dan monyet meningkatkan risiko penularan penyakit lintas spesies, yaitu dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya. Penyakit-penyakit yang dapat menular seperti ini disebut sebagai penyakit zoonosis. Berikut adalah penyakit dengan peluang penularan dari monyet ke manusia apabila dilakukan kontak langsung yang tidak sesuai dengan protokol kesehatan:

  • Rabies, Tuberkulosis, Herpes B

Primata seperti monyet dan beruk dapat mengalami penyakit rabies, tuberkulosis, dan herpes B. Penyakit-penyakit ini disebabkan oleh patogen, yaitu agen infeksius seperti virus dan bakteri. Sudah banyak kasus yang menyatakan bahwa manusia diinfeksi penyakit karena kontak langsung maupun tidak langsung dari primata yang terinfeksi. Primata tersebut umumnya tidak diperiksa kesehatannya sehingga tidak terdeteksi menderita penyakit infeksius (Jiang et al., 2023; Virdana et al., 2024).

  • Malaria primata (Plasmodium knowlesi)

Kasus penularan malaria dari hewan yang terinfeksi pada manusia di Asia Tenggara mengalami peningkatan. Kejadian ini harusnya menjadi peringatan bahwa monyet dan beruk yang berpotensi mengalami malaria primata bisa saja menyebarkan penyakit tersebut pada manusia disekitarnya (Carrillo-Bilbao et al., 2021).

  • Virus baru

Riset terhadap penyakit di dunia ini masih terus berkembang dan berlanjut. Hasil penelitian menyatakan adanya virus baru yang ditularkan dari primata ke manusia. Contohnya adalah Simian Foamy Virus (SFV) dan simian retrovirus yang memiliki potensi berkembang menjadi patogen baru (Virdana et al., 2024).

Fakta bahwa 70–75% penyakit infeksius baru berasal dari satwa liar menegaskan bahwa eksploitasi monyet bukan hanya ancaman etika, tetapi juga ancaman kesehatan masyarakat global (Virdana et al., 2024).

Mengapa Eksploitasi Bertahan?

Eksploitasi yang masih terjadi saat ini bukanlah bentuk ketidaktahuan masyarakat akan resiko yang dapat terjadi. Dorongan ekonomi menyebabkan topeng monyet atau perdagangan satwa menjadi sumber pendapatan bagi kelompok miskin perkotaan (Indriani, 2024). Budaya seperti penggunaan beruk untuk memetik kelapa dianggap tradisi turun-temurun juga tidak dapat dihilangkan secara instan. Penegakan hukum yang masih lemah juga menyebabkan monyet ekor panjang belum dapat dilindungi sepenuhnya (Macaque Coalition, 2022). Industri riset internasional yang memperkuat permintaan, menjadikan Indonesia bagian dari rantai suplai global (Macaque Coalition, 2022). Kombinasi faktor inilah yang membuat eksploitasi sulit dihentikan meskipun sudah ada bukti kerugian ekologis dan kesehatan.

Jalan Keluar: Dari Eksploitasi ke Konservasi

Berikut adalah jalan keluar yang dapat kita lakukan demi keberlangsungan monyet ekor panjang serta ekosistemnya:

  • Edukasi Publik

Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan, khususnya terkait kesejahteraan hewan dan bahaya zoonosis. Kampanye edukatif berbasis sekolah dan komunitas bisa mengubah persepsi masyarakat terhadap primata (Patouillat et al., 2024; Virdana et al., 2024).

  • Alternatif Ekonomi dan Budaya

Pelaku topeng monyet bisa dialihkan ke pekerjaan kreatif lain, misalnya seni pertunjukan tanpa satwa atau kerajinan. Tradisi yang melibatkan beruk dapat digantikan dengan teknologi pemanjat kelapa modern.

  • Penguatan Hukum

Urgensi untuk memasukkan monyet ekor panjang ke daftar satwa dilindungi nasional semakin jelas. Regulasi juga harus diikuti dengan penegakan tegas, bukan sekadar aturan di atas kertas (Macaque Coalition, 2022).

  • Pendekatan One Health

Kolaborasi antara sektor kesehatan, konservasi, dan masyarakat diperlukan untuk mencegah penularan penyakit dari hewan ke manusia. Monitoring penyakit pada populasi primata liar dan rehabilitasi satwa harus menjadi prioritas (Jiang et al., 2023; Patouillat et al., 2024).

  • Visi Masa Depan

Indonesia bisa menjadi contoh global dalam konservasi primata dengan menghentikan eksploitasi monyet untuk hiburan dan perdagangan. Bayangkan masa depan di mana monyet kembali bebas di hutan, dan masyarakat tetap bisa merayakan budaya tanpa menyiksa satwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun