Kalimat ini sudah akrab di telinga kita: "Rupiah kembali melemah terhadap Dolar AS." Angka yang menembus Rp16.500 per Dolar pada pertengahan 2025 bukan sekadar statistik, melainkan sinyal keras tentang rapuhnya daya beli masyarakat dan ketergantungan ekonomi Indonesia pada faktor eksternal. Pelemahan ini seolah menjadi berita rutin yang muncul di media, namun sesungguhnya adalah refleksi masalah struktural ekonomi yang sudah lama mengintai.Â
Dari Angka Ke Cerita Ekonomi
Grafik di atas memperlihatkan tren Rupiah yang cenderung melemah dalam empat tahun terakhir. Tahun 2021--2022, pelemahan dipengaruhi pemulihan pasca-pandemi serta pengetatan kebijakan moneter global. Pada 2023--2024, gejolak geopolitik dan fluktuasi harga komoditas memperburuk tekanan. Hingga 2025, situasi makin menantang ketika The Fed mempertahankan suku bunga tinggi untuk waktu yang lama, sementara Indonesia justru menurunkan BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75% (September 2025), dengan Deposit Facility turun ke 3,75% dan Lending Facility menjadi 5,50%.Â
Di sisi lain, The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 bps ke level 4,00--4,25% (17 September 2025)---pemangkasan pertama dalam sembilan bulan, sebagai respons terhadap melemahnya pasar tenaga kerja AS. Meski langkah ini seolah memberi ruang bernapas, perbedaan arah kebijakan moneter antara Indonesia dan AS justru memicu keluarnya aliran modal asing, sehingga menambah tekanan terhadap Rupiah.
Dengan kata lain, grafik ini bukan sekadar garis tren yang menanjak ke arah Rp16 ribuan. Ia adalah alarm keras bahwa fondasi ekonomi kita masih rentan dan mudah goyah oleh guncangan eksternal.
Mengapa Rupiah Tertekan?Â
Menyalahkan faktor global memang mudah, tetapi faktor domestik tak kalah penting. Ada tiga persoalan mendasar:
1. Defisit Transaksi Berjalan. Indonesia masih terlalu bergantung pada impor minyak, bahan baku, dan barang modal. Sementara itu, ekspor kita didominasi komoditas mentah seperti batu bara, CPO, dan nikel yang nilainya fluktuatif. Ketika harga komoditas turun, defisit membesar, permintaan dolar naik, dan Rupiah pun tertekan.
2. Ketergantungan pada Arus Modal Asing Jangka Pendek. Pasar obligasi dan saham Indonesia memang menarik bagi investor global, tetapi uang panas (hot money) ini bisa keluar sewaktu-waktu ketika imbal hasil di negara lain lebih tinggi atau situasi global memburuk. Ketika arus keluar modal terjadi, Rupiah langsung terpukul.
3. Ketidakpastian Kebijakan dan Iklim Investasi. Reformasi struktural berjalan lambat, birokrasi masih rumit, dan menjelang pemilu banyak investor lebih memilih menunggu. Akibatnya, investasi jangka panjang yang membangun kapasitas produksi tidak tumbuh optimal.