Mohon tunggu...
Putri Adi Setya Pramesti
Putri Adi Setya Pramesti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang pemanen saripati literatur dan pembelajar bahasa kucing.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Perilaku Self Injury oleh Para Siswa Dilihat mealui Perspektif Psikologi Pendidikan

3 November 2023   23:43 Diperbarui: 4 November 2023   00:03 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan-perkembangan di atas merupakan proses yang berlangsung selama seumur hidup dan terjadi secara teratur dan terus menerus. Berbeda dengan pertumbuhan, pertumbuhan sendiri memiliki batas waktu tertentu. Sebab, pertumbuhan berkaitan dengan hal yang bersifat fungsional, sedangkan pertumbuhan bersifat biologis.

Data Perilaku Self Injury para Siswa

Perilaku self injury yang paling sering dilakukan ialah mengiris atau menyayat kulit menggunakan silet atau benda tajam lainnya. Perilaku ini biasa diistilahkan dengan sellf cutting. Selain itu, self injury juga terjadi dalam bentuk membakar tubuh, memukul diri, mengorek bekas luka, menjambak rambut, juga mengonsumsi zat beracun (Tang, et al., 2016).

Perilaku self injury merupakan penyebab kematian kedua setilah kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia sendiri pada tahun 2012 menunjukkan bahwa perilaku self injury terdapat sekitar 3,5% damun pada tahun 2015 meningkat menjadi 3,9% dari populasi yang berusia 13-17 tahun. Kemudian fenomena self-injury terjadi pada kalangan remaja yang sedang mencari jati diri, dibuktikan dengan penelitian terdahulu Swannell (dalam Zakaria & Theresa, 2020) menyatakan, sekitar 17,2% remaja, 13,4% dewasa muda, dan orang dewasa memiliki riwayat satu periode self injury di dalam hidup mereka. Hal ini menunjukkan bahwa risiko self injury lebih tinggi pada remaja dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.

Melihat banyaknya kasus self injury yang berseliweran di media membuat masyarakat semakin sadar bahwa literasi mengenai kesehatan mental terhadap siswa terbilang masih rendah. Sosialisasi yang diberikan belumlah cukup untuk memberikan pemahaman terhadap siswa mengenai edukasi kesehatan mental. Siswa yang melakukan self injury perlu diberikan pemahaman mengenai pentingnya self-esteem. Bagaimana siswa meningkatkan harga diri, perasaan dimiliki, merasa layak dan dicintai melalui pemahaman tersebut.

Perkembangan dan Pemecahan Masalah Setiap Peserta Didik akan Berbeda

Bagi para pendidik dan orang tua sangat penting mengetahui dan mengenali bagaimana gejala emosi serta perilaku sosial anak. Sebab kedua hal tersebut saling berasosiasi. Jika perkembangan emosi anak berlangsung dengan baik maka interaksi sosialnya pun akan berkembang dengan baik pula. Tetapi, ketika kondisi psikis dan emosional anak tidak berjalan dengan baik maka akan berpengaruh ke aspek perkembangan lainnya.

Gangguan emosi mengakibatkan cara kerja otak dan kesanggupan belajar anak menjadi tidak optimal. Bahkan pada tekanan emosi yang begitu kuat, fungsi otak dapat berada di titik minimum. Secara psikologis efek dari tekanan emosi akan berdampak terhadap sikap, minat, dan dampak psikologis lainnya. Bahkan berpengaruh pada bagaimana cara bersikap anak, baik dalam bersosialisasi maupun dalam memberikan tanggapan atas stimulus yang diperkenalkan.

 

Perilaku self injury dipicu dari ketidakmampuan remaja dalam mengatasi masalahnya yang dapat dikaji menggunakan theory of personality yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Salah satu dari ketiga konstruksi utama yang membentuk kepribadian indivisi, yaitu ego, super ego, dan id. Jika aspek tersebut tidak terpenuhi maka dapat dimediasi melalui ego dengan perilaku yang merugikan diri sendiri dan dalam kasus yang serius, beberapa melakukan percobaan untuk bunuh diri (Bryan, Ray-Sannerud, Etienne, & Morrow, (2014).

Melalui penjelasan tersebut, terdapat faktor internal yang menyebabkan individu melakukan perilaku self injury berupa perasaan negatif, seperti kehilangan, harga diri rendah, dan trauma. Terdapat pula faktor eksternal yang ikut mempengaruhi kondisi psikis siswa, berkaitan dengan pola asuh yang tidak memadai atau tidak didukung dalam lingkungan keluarga dan sekolah. Sehingga menimbulkan rasa trauma dan masalah baru bagi siswa tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun