Agama tidak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui agama, kehidupan manusia bisa terkontrol sehingga dapat dijadikan acuan norma oleh para penganutnya. Secara tidak langsung agama berfungsi sebagai pengawasan sosial individu maupun kelompok.
Banyak orang memandang agama sebagai jalan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Agama mengajarkan nilai-nilai suci yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang beragama untuk mencari kedamaian, mengagungkan Tuhan, dan mengikuti ajaran-Nya. Namun, ada pula yang berpindah agama demi mencari kebaikan yang lebih sempurna. Selain itu ada juga yang menggunakan agama untuk tujuan pribadinya yang dianggap baik.
Agama seharusnya menjadi sumber kedamaian, namun saat ini sering dijadikan 'Jokes', 'meme', atau bahkan alat untuk menyerang agama lain. Fenomena ini terjadi baik di media sosial maupun dunia nyata. Agama tidak lagi dianggap sakral dan malah dijadikan bahan perdebatan, sehingga orang menjadi ragu untuk mengikuti ajaran agamanya.
Agama yang kita kenal sebagai "rahmatan lil 'alamin" Â kini merubah sudut pandang kita menjadi agama yang pantas dijadikan sebuah lelucon. Ada beberapa faktor yang sangat terlihat jelas dalam polemik ini, diantaranya:
1. Fanatisme (Konflik Internal dan External)
Kata fanatisme berasal dari dua kata yaitu "fanatik" dan "isme." Fanatik sebenarnya berasal dari bahasa Latin "fanaticus", yang dalam bahasa Inggrisnya diartikan sebagai frantic atau frenzied. Artinya adalah gila-gilaan, kalut, mabuk atau hingar binger.
Menurut KBBI, fanatisme adalah keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama, dll.). Biasanya dalam bahasa arab sikap fanatisme sering didengar dengan sebutan "'Ashabiyyah".
Sebuah penelitian membuktikan munculnya konflik karena faktor perbedaan kelas sosial sebanyak 2,2%, budaya 3,2%, suku 2,3%, kepentingan 0,7%, pribumi-non pribumi 2,6% dan faktor agama 10,8 %.1 Dalam hal ini, agama menduduki peringkat pertama sebagai pemicu timbulnya konflik dalam kehidupan sosial.
Faktor External
Dalam faktor eksternal, agama sering dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran. Fanatisme adalah bentuk pengabdian yang tinggi terhadap agama, yang seharusnya mendorong seseorang untuk mengamalkan ajaran agamanya dengan baik. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan atau permusuhan.
Menurut Mun'im A. Sirry, perbedaan agama bukanlah halangan untuk melakukan kerjasama (dalam bidang sosial), bahkan Al-Qur'an menggunakan kalimat "lita'arafu" (Q.S. Al-Hujurat: 13), supaya saling mengenal, yang kerap diberi konotasi "saling membantu".
Dalam literatur yang sama, Nabi Muhammad pernah mengizinkan delegasi kristen Najran yang berkunjung di Madinah untuk berdoa di kediaman beliau tatkala menjadi pemimpin Madinah, beliau pernah berpesan: "Barangsiapa mengganggu umat Samawi, maka ia telah menggangguku".
Rasulullah pun tidak pernah memaksa para tawanan perang untuk berpindah agama. Hal ini menunjukkan bahwa rasulullah sangat menghargai perbedaan kepercayaan, karena sebuah iman dan keyakinan dalam hati tidak dapat dipaksakan seperti yang tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 256: "Laa ikraha fiddin"Â (tidak ada paksaan dalam beragama).
Seharusnya hubungan sosial masyarakat beragama sepenuhnya menganut nilai kasih sayang dan sikap toleransi yang tinggi. Namun, hal ini semakin langka hingga saat ini umat sering terbentur pada konflik keagamaan, fanatisme, kerusuhan, dll. Yang sejatinya tiada paksaan untuk memeluk suatu agama menjadi salah satu faktor pembuka permusuhan antar agama.
Faktor Internal
Sudah menjadi hal yang lumrah jika manusia memiliki pemikiran yang berbeda, dan melahirkan pendapat yang berbeda pula. Perbedaan pendapat ini dalam agama melahirkan beberapa madzhab yang di dalamnya membahas masalah fikih atau furu'iyah (cabang hukum Islam).
Pokok perbedaan pendapat ini terletak pada cabang hukum syariat, bukan pokok hukum syariat. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai terkait masalah sholat subuh yang memakai qunut dan tidak, masing-masing memiliki dalilnya sendiri. Tapi para ulama tidak akan berdebat pada ranah pokok syariat hukum seperti sudah ditetapkannya sholat lima waktu.
Dapat dipastikan pokok perbedaan pendapat terjadi pada dalil zhanni yakni cabang hukum syariat, bukan pada pokok hukum syariat.
Seiring dengan berkembangnya madzhab, muncul kecenderungan ber-taqlid dan fanatik. Hal ini menyebabkan perpecahan dan pemisahan antar kelompok dengan otoritasnya masing-masing. Meski fanatik menggambarkan sebuah keberpihakan, namun dapat pula menyebabkan konflik perpecahan yang tidak sesuai dengan nilai syariat. Seperti memecah belah umat atau menganggap kelompok lain salah.
Sebenarnya sebuah perbedaan adalah hal yang wajar, karena pada zaman dahulu perbedaan pendapat dijadikan sebagai jalan alternatif untuk  berdiskusi, memahami situasi serta landasan masing-masing atas timbulnya hasil pemikiran yang berbeda-beda.
Dalam kenyataannya, perbedaan memunculkan konflik kehidupan sosial antar madzhab. Faktor timbulnya konflik tersebut karena dominannya sikap fanatik dan kurangnya rasa toleran antara para penganut madzhab.
2. Penyalahgunaan Agama
Agama sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan kebaikan. Kita harus sadar bahwa tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar, dan kebaikan sejati tidak bersifat relatif. Kebaikan tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Sumanto Al-Qurtuby mengemukakan bahwa agama bisa lahir sebagai 'pemberontakan teologis' atau 'protes kultural' terhadap kekuasaan yang tidak adil. Namun, di sisi lain, ada juga agama yang disalahgunakan oleh segelintir individu untuk mengontrol dan mengatur masyarakat.
Hal ini menunjukkan betapa bahayanya jika penyalahgunaan agama tidak disadari, karena selain berdampak pada keyakinan masyarakat, juga dapat berubah menjadi sebuah bisnis yang meraup keuntungan dengan mengorbankan keyakinan umat, yang seringkali disebut sebagai 'jualan agama'.
Contoh penyalahgunaan agama bisa ditemukan pada praktik-praktik seperti penjualan garam ruqyah, air celupan yang diklaim berasal dari Baginda Nabi saw, atau bahkan klaim-klaim keberkahan lainnya yang tak dapat dipertanggungjawabkan.
Yang lebih memprihatinkan, umat diposisikan sebagai rakyat jelata dan kepercayaannya dimanfaatkan untuk meraup keuntungan pribadinya. Fenomena ini jelas mencerminkan penyalahgunaan posisi dan kepercayaan. Selain itu, ada banyak dalil agama, sirah Nabi ataupun kisah orang saleh yang disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadinya.
Kita sebagai umat beragama harus mengingat bahwa kewajiban kita bukan hanya melaksanakan ibadah saja, tetapi juga melayani umat serta menjaga integritas dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, agar agama tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
3. Kurangnya Literasi Umat
Kemampuan dan Minat Literasi
Literasi dalam bahasa Inggris memiliki makna "Literacy" (keberaksaraan atau kemampuan membaca dan menulis). Sedangkan dalam bahasa latin "Literatus" (orang yang belajar). Dalam bahasa Yunani dikenal dengan istilah "Literra" (huruf). Sehingga literasi melibatkan kemampuan membaca dan menulis.
Pendidikan di Indonesia telah menjadi masalah besar sejak dulu. Kurangnya pendidikan berdampak langsung pada tingkat literasi masyarakat, termasuk umat beragama.
Dari sini kita bisa lihat dari dua hasil penilaian yang dilakukan oleh Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu penilaian Programme For International Student Assessment (PISA) dan Programme For The International Assessment Of Adult Competencies (PIAAC).
Pertama, penilaian PISA dilakukan untuk men-survei tingkat literasi siswa berusia 15 tahun khususnya dalam hal membaca, matematik, dan sains. Ada 83 negara yang ikut berpartisipasi termasuk Indonesia.
Pada tahun 2018, skill membaca siswa di Indonesia mendapat peringkat ke 72, matematika peringkat ke 72 dan sains peringkat 70 dari 78 negara. Namun pada tahun 2022 Indonesia memiliki kenaikkan tapi bukan karena skornya lebih tinggi, melainkan karena negara partisipannya lebih banyak.
Soal dalam PISA terdiri dari level 1-6, rata-rata pelajar Indonesia bisa menyelesaikan soal di bawah level 2. Pada tes membaca, hanya 25% Â pelajar Indonesia yang bisa mencapai level 2 dan 12% pelajar Indonesia bisa menyelesaikan matematika level 2 ke atas. Sedangkan rata-rata pelajar dunia 72% tes membaca dan 69% tes matematik level 2.
Kedua, penilaian PIAAC untuk mengukur tingkat kompetensi dan kemampuan orang dewasa. Survei ini mengukur tingkat kemampuan masyarakat dalam rentang usia 16-65 tahun di bidang literasi, numerasi, dan problem solving. Ada 40 negara yang ikut berpartisipasi termasuk Indonesia.
Pada survei ini warga Jakarta yang ikut serta mewakili program ini. Secara logika seharusnya ibu kota memiliki literasi yang bagus, karena paparan edukasi yang sangat total. Namun, skor Indonesia di PIAAC berada di peringkat paling bawah, bisa dibilang lebih buruk dari skor PISA.
Menurut chairil Abdini, dalam bidang literasi hanya 70% orang dewasa di Jakarta yang memiliki kemampuan memahami informasi dari tulisan pendek, tapi kesulitan untuk memahami informasi dari tulisan yang lebih panjang.
Sedangkan menurut UNESCO, Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah soal literasi dunia yakni hanya 0,001%. yang berarti dari 1000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Adapun riset dari Central Connecticut State University pada tahun 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca.
Tradisi Literasi
Literasi telah menjadi tradisi sejak zaman dahulu. Dalam Al-Qur'an, ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW adalah "Iqra'" yang berarti "Bacalah" (Q.S. Al-'Alaq: 1), menunjukkan pentingnya budaya membaca bagi umat beragama.
Pada Perang Badar, terdapat sekitar 70 tawanan dari kaum Musyrik Quraisy yang ditangkap oleh umat Islam. Salah satu cara Rasulullah SAW membebaskan mereka adalah dengan memberi syarat agar mereka mengajarkan baca-tulis kepada penduduk Madinah. Setiap tawanan diminta untuk mengajarkan sepuluh penduduk Madinah, sehingga berkat kebijakan ini, sekitar 700 penduduk Madinah dewasa berhasil terbebas dari buta huruf.
Budaya literasi terus mendorong umat beragama hingga pada masa keemasan Arab dan Islam (The Golden Age of Arabic and Islam) --disebut seperti itu karena ada sebagian tokoh besar adalah orang-orang arab  tetapi non-muslim. Hingga membangun perpustakaan terbesar yaitu Bait Al-Hikmah yang menjadi jantung pembudayaan literasi.
Pada masa Fatimiyah, Mesir menjadi rumah bagi perpustakaan Dar Al-Hikmah yang mengoleksi sekitar 2 juta judul buku. Di Andalusia, kaum muslim telah memiliki 20 perpustakaan umum. Perpustakaan Cordova misalnya, memiliki koleksi 400.000 judul buku.
Tidak mengherankan jika ulama-ulama terdahulu dianggap sebagai 'Polymath' (jenius dalam berbagai bidang), berkat kebiasaan dan budaya literasi yang sangat berkembang pada zaman itu. Ilmuwan kelas dunia beserta karya-karyanya tetap menjadi rujukan hingga era kontemporer.
Kini, sangat disayangkan jika banyak umat lebih memilih untuk marah-marah, bersikap fanatik, dan saling mengejek, daripada saling menghargai dan menjunjung tinggi toleransi. Karena minimnya minat literasi sehingga kita selalu terpenjara pada kesalahpahaman dan berakhir pada permusuhan, sikap anarkis dan diskriminatif.
Untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan harmonis, penting bagi kita untuk mengedepankan pemahaman agama yang mendalam melalui peningkatan literasi. Dengan literasi yang baik, kita dapat memperkuat toleransi, mengurangi fanatisme, dan meminimalkan kesalahpahaman antar umat beragama.
Dengan begitu, agama tidak lagi menjadi 'Badut' yang dipermainkan, melainkan kembali menjadi sumber kedamaian yang 'Rahmatan lil 'alamin'.
Referensi
Abdini Chairil. (2017). Yang Harus Dilakukan Untuk Meningkatkan Tingkat Literasi Indonesia. Diakses pada website: https://theconversation.com/yang-harus-dilakukan-untuk-meningkatkan-tingkat-literasi-indonesia-83781.
Ayma Syaratul, dkk. (2023). Fanatisme Bermadzhab di Kalangan Masyarakat Islam Kota Makassar; Studi Komparatif Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Shautuna: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Perbandingan Madzhab.
Depok Pos. (2023). Pengaruh Fanatisme Keagamaan Terhadap Perilaku Sosial. Diakses pada websiter: https://www.depokpos.com/2023/12/pengaruh-fanatisme-keagamaan-terhadap-perilaku-sosial/.
Kalla Institute. (2024). Rendahnya Minat Literasi Indonesia. Diakses pada website: https://kallainstitute.ac.id/rendahnya-minat-literasi-di-indonesia/.
Mutolib Abdul. (2020). Literasi dan Peradaban. Diakses pada website: https://www.kompasiana.com/abdul71880/5ef68a9ad541df24577c9525/literasi-dan-peradaban?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Mobile.
Rochmat Muchlison, A. (2019). Empat Sikap Rasulullah Terhadap Tawanan Perang. Diakses pada website: https://nu.or.id/sirah-nabawiyah/empat-sikap-rasulullah-terhadap-tawanan-perang-2Eizl.
Sianturi & Nino. (2022). Kritik Filosofis Terhadap Kekerasan Berlatarbelakang Agama Menurut Konsep Kebahagiaan Boethius. FORUM: Filsafat dan Teologi.
Sepulang Sekolah. (2024). Pengakukan! Saya Seorang Guy! Kenapa Orang Kita Literasi Rendah & Antisains? | Learning By Googling. Diakses pada website: https://youtu.be/rMbira1-7gM?si=L5XUkjDCTj-uZ-zL.
Zulkarnain. (2020). Pengaruh Fanatisme Keagamaan Terhadap Perilaku Sosial. Kontekstualita: Jurnal penelitian Sosial Keagamaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI