Mohon tunggu...
ARIES1993
ARIES1993 Mohon Tunggu... Warga biasa

Penulis lepas yang peduli isu sosial dan kehidupan rakyat kecil. Menyuarakan kegelisahan melalui tulisan agar menjadi bahan refleksi bersama. Percaya bahwa kata-kata bisa mengubah arah kebijakan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saat Anak Negeri Tersisih di Tanah Sendiri

13 Oktober 2025   19:57 Diperbarui: 13 Oktober 2025   19:57 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung kopi desa  tempat sederhana yang menyimpan suara hati anak negeri yang mulai lelah jadi penonton di tanah sendiri.

Di sebuah warung kopi kecil di desa, percakapan antara seorang ayah dan pemuda membuka mata tentang pahitnya kenyataan: anak negeri yang bekerja keras justru kalah bersaing di tanahnya sendiri.

---

Suara sendok beradu dengan gelas kopi terdengar di antara asap rokok yang menebal di warung kecil dekat jalan utama desa. Di pojok warung, seorang ayah duduk bersandar di kursi kayu, menatap langit malam yang mulai temaram. Di hadapannya, seorang pemuda menunduk, memainkan sendok kecilnya dengan gelisah.

Kerja sekarang susah, Yah kata si pemuda akhirnya, suaranya berat, nyaris seperti mengeluh.

Ayah itu tersenyum tipis. Dari dulu kerja memang nggak pernah mudah, Nak. Tapi dulu yang susah itu masih bisa berjuang. Sekarang, yang berjuang malah kalah sama orang luar yang datang ke negeri kita.

Pemuda itu menatapnya dengan raut serius. Itu dia, Yah. Sekarang di perusahaan-perusahaan, bahkan proyek di desa kita aja, yang kerja kebanyakan orang luar. Anak daerah cuma jadi penonton.

Ayah itu menarik napas dalam-dalam, menatap gelasnya yang sudah tinggal ampas. Lucunya, pemerintah bilang ingin memakmurkan rakyat. Tapi siapa rakyat yang dimaksud? 

Kadang aku heran, kenapa anak negeri sendiri justru makin susah berdiri di tanahnya sendiri.

Warung itu mendadak hening. Hanya suara jangkrik yang bersahutan di luar, mengisi ruang di antara dua generasi yang sama-sama kecewa.

Pemuda itu melanjutkan, nada suaranya meninggi, Kita bukan malas, Yah. Kita mau kerja. Tapi pintunya kayak ditutup rapat. Yang punya koneksi duluan, yang dari kota duluan, atau malah tenaga kerja dari luar negeri yang datang karena katanya lebih profesional. Padahal kita ini lahir di sini, besar di sini. Kenapa malah dianggap asing di negeri sendiri?

Ayah itu menatap pemuda itu dengan mata lembut namun tajam. Karena negeri ini sudah lama lupa cara menghargai darah sendiri, Nak. Mereka lebih bangga dengan yang datang dari luar daripada yang tumbuh dari tanah ini."

Pemuda itu mengangguk pelan. Jadi buat apa kita sekolah tinggi, kalau akhirnya yang diutamakan bukan kita? Orang luar datang, dapat rumah, dapat kerja, dapat fasilitas. Sementara kita? Bertani pun makin susah, lahan sudah dibeli perusahaan besar.

Ayah itu tertawa kecil, pahit. Dulu orang datang ke negeri ini untuk belajar, sekarang kita yang sibuk jadi tamu di rumah sendiri.

Malam semakin larut. Lampu warung mulai redup, kopi di gelas sudah dingin. Namun percakapan itu masih hangat-hangat oleh rasa cinta dan marah pada negeri yang dicintai tapi kadang terasa tak peduli.

Sebelum beranjak pulang, ayah itu menepuk bahu anak muda itu pelan.

Jangan berhenti berharap, Nak. Kalau mereka lupa dengan anak negeri, maka kitalah yang harus mengingatkan. Bukan dengan marah, tapi dengan bukti bahwa kita masih bisa berdiri tegak, tanpa harus menunggu diundang.

Pemuda itu tersenyum lirih, menatap langit malam yang gelap. Mungkin, Yah... sudah saatnya anak negeri berhenti minta tempat, dan mulai menciptakan tempatnya sendiri.

Dan malam itu, di warung kopi yang sederhana, dua hati yang berbeda usia menemukan kesamaan nasib  sama sama mencintai negeri yang kadang terlalu sibuk untuk mencintai balik.

---

Kolom berdiskusi :

Bagaimana menurut kamu?

Apakah anak negeri memang semakin tersisih di tanah sendiri?

Atau sebenarnya kita masih punya ruang untuk membuktikan bahwa anak daerah bisa berdiri di depan?

Tulis pendapatmu di kolom komentar, mari berdiskusi tanpa menyalahkan  karena perubahan besar selalu dimulai dari suara kecil di warung kopi.

---

#Kompasiana #CeritaDesa #WarungKopi #PutraDaerah #PemudaDesa #Pekerjaan #Sosial #Refleksi #AnakNegeri #InspirasiMalamSelasa

---

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun