Ayah itu menatap pemuda itu dengan mata lembut namun tajam. Karena negeri ini sudah lama lupa cara menghargai darah sendiri, Nak. Mereka lebih bangga dengan yang datang dari luar daripada yang tumbuh dari tanah ini."
Pemuda itu mengangguk pelan. Jadi buat apa kita sekolah tinggi, kalau akhirnya yang diutamakan bukan kita? Orang luar datang, dapat rumah, dapat kerja, dapat fasilitas. Sementara kita? Bertani pun makin susah, lahan sudah dibeli perusahaan besar.
Ayah itu tertawa kecil, pahit. Dulu orang datang ke negeri ini untuk belajar, sekarang kita yang sibuk jadi tamu di rumah sendiri.
Malam semakin larut. Lampu warung mulai redup, kopi di gelas sudah dingin. Namun percakapan itu masih hangat-hangat oleh rasa cinta dan marah pada negeri yang dicintai tapi kadang terasa tak peduli.
Sebelum beranjak pulang, ayah itu menepuk bahu anak muda itu pelan.
Jangan berhenti berharap, Nak. Kalau mereka lupa dengan anak negeri, maka kitalah yang harus mengingatkan. Bukan dengan marah, tapi dengan bukti bahwa kita masih bisa berdiri tegak, tanpa harus menunggu diundang.
Pemuda itu tersenyum lirih, menatap langit malam yang gelap. Mungkin, Yah... sudah saatnya anak negeri berhenti minta tempat, dan mulai menciptakan tempatnya sendiri.
Dan malam itu, di warung kopi yang sederhana, dua hati yang berbeda usia menemukan kesamaan nasib  sama sama mencintai negeri yang kadang terlalu sibuk untuk mencintai balik.
---
Kolom berdiskusi :
Bagaimana menurut kamu?