Mohon tunggu...
Puteri Shania C
Puteri Shania C Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Do what you like.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Content Creator dalam Membangun Konten Positif di Instagram

10 Juni 2021   18:59 Diperbarui: 10 Juni 2021   19:15 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkenalkan saya adalah Puteri Shania dari Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Jogjakarta. Kali ini sayq akan membahas tentang peran dari konten kreator dalam membangun konten positif di Instagram, selamat membaca.

Di jaman yang serba digital ini, penggunaan media sosial tidak hanya menjadi sarana berkomunikasi semata. Namun, kini media sosial juga menjadi sumber informasi, tanpa mengenal keterbatasan ruang dan waktu, meski isi yang ada di dalamnya tidak selalu bersifat positif dan edukatif. Sebagian media sosial memiliki filter khusus untuk menyaring konten-konten yang negatif. 

Di Indonesia sendiri, Kementrian Komunikasi dan Informatika sudah membuat regulator konten, dalam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia nomor 19 tahun 2014, yang berisikan kewenangan Kominfo dalam menangani konten yang dianggap memiliki muatan negatif. Akan tetapi, tekadang filter teknologi dan adanya peraturan tidak selalu berjalan mulus. Pengguna yang perlu melakukan filter mandiri terhadap apa yang baik untuk kita dilihat dan tidak.

Kaplan dan Haenlein (2010) mengkategorikan sosial media ke dalam enam jenis, yakni (1) collaboration project, (2) blog dan microblog, (3) content share, (4) social network sites, (5) virtual game world, dan (6) virtual social world. Dahulu, penggunaan media sosial blog dan microblog banyak disukai, namun seiring dengan perkembangan teknologi, kini media sosial berbasis content share dan social network sites lebih disukai, beberapa di antaranya adalah Youtube dan Instagram. Menurut opini saya, platform youtube relatif disukai karena isi kontennya yang bervariatif, sehingga sesuai dengan berbagai kalangan usia. Mereka dapat memilih preferensi konten mereka sendiri. Sedangkan instagram, relatif lebih terbatas dari segi usia. Hal ini dikarenakan sistem kerja instagram yang berkaitan dengan pertemanan.

Sejak SMA hingga kini, saya cukup aktif untuk membuat konten di Instagram. Beberapa jenis konten yang saya bagikan di Instagram adalah publikasi tentang moment atau event penting yang pernah saya lalui, outfit of the day, dan beberapa ulasan produk tertentu, khususnya di bidang beauty. Saya juga pernah mencoba beberapa platform lain seperti Twitter dan Facebook, namun dari pengalaman saya, penggunaan instagram relatif lebih menyenangkan dan mudah untuk digunakan. Fitur di instagram yang paling sering saya gunakan adalah fitur PostFeed dan Instagram Story. Pada fitur Instagram Story juga terdapat banyak variasi filter dan efek yang membantu saya dalam membuat konten lebih menarik. Saya rutin memposting di InstagramStory setidaknya 3x per hari, dan PostFeed setidaknya setiap dua hari sekali. Fitur lain dari Instagram adalah live streaming yang juga saya gunakan sesekali, dan Instagram TV yang sangat jarang sekali saya gunakan.

Selama berkonten di Instagram, ada beberapa algoritma dan fitur Instagram yang membantu menyebarkan konten saya ke audience yang lebih banyak, tidak hanya terbatas pada followers dan teman-teman terdekat saya. Yang pertama adalah fitur hashtag. Dengan menggunakan hashtag tertentu yang sedang tren membuat konten saya dilihat oleh audience yang lebih besar. Fitur kedua adalah fitur explore. Yang saya pahami dari fitur ini adalah ketika salah satu konten kita banyak disukai orang, maka akan muncul di explore orang lain yang beririsan dengan followers kita dan pada akhirnya juga membuat konten kita terboost kepada audience yang lebih besar. Kedua fitur dari instagram tersebut menjadikan Instagram sebuah platform yang potensial mendatangkan followers baru bagi content creator.

Di luar peran sebagai content creator, saya juga merupakan pengguna dari Instagram yang cukup aktif untuk merespons konten-konten orang lain. Tidak hanya memberi respon positif melalui like, saya juga seringkali memblokir dan membuat pengaduan atas beberapa pengguna yang menurut saya mengunggah konten yang mengganggu dan menyebarkan hoax. Menurut Mastel (2017), media sosial (termasuk Facebook, Twitter, Instagram, dan Path) merupakan media terbanyak penyebaran berita hoax yaitu mencapai 92,40%. 

Sementara itu, data yang dipaparkanoleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada sebanyak 800 ribu situsdi Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoax dan ujaran kebencian (Pratama, 2016). Berita-berita meresahkan yang biasa saya lihat di Instagram tersebut biasanya membawa isu politik, radikalisme, cyberbullying, bahkan SARA. 

Sebenarnya, penyebaran konten negatif tidak hanya bergantung pada si pengunggah pertama, namun juga oleh pengguna lain yang aktif mengomentari, dan menyebarkan. Sebagai pengguna, saya melakukan filter mandiri terhadap konten negatif melalui cara-cara berikut: (1) berhati-hati terhadap konten-konten dengan judul yang provokatif, (2) melihat siapa yang memposting berita tersebut, (3) mencari kebenaran berita dengan membandingkannya dengan sumber lain, (4) melaporkan pengunggah apabila terbukti hoax dan meresahkan. Keberadaan konten negatif ini sangatmeresahkan, terlebih ada banyak remaja usia sekolah menjadi pengguna aktifinstagram, dan mereka belum memiliki kemampuan untuk menyaring informasi.

Menurut saya, sebenarnya, untuk mengurangi eksistensi konten negatif di media sosial, konten yang bersifat positif dan edukatif harus lebih digalakkan. Popularitas konten positif di media sosial masih tertinggal apabila dibandingkan dengan konten-konten yang lain. Menurut Rahmawan, dkk. (2019) perlu ada gerakan bersama antara para kreator, dan berbagai pihak lain yang memiliki kepentingan terkait wacana media sosial yang lebih sehat, seperti kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan akademis. 

Komunitas content creator juga sebaiknya lebih peduli terhadap isu-isu sosial dan berfokus untuk menciptakan konten positif untuk kemudian bersinergi dan saling membantu mempromosikan konten mereka, agar konten positif menjadi lebih popular, menutupi keberadaan konten negatif yang tersebar. Berita hoax dan konten negatif juga biasanya (meski tidak semua) datang dari akun anonim yang tidak jelas. Salah satu cara lain untuk mengurangi keberadaan konten negatif dan hoax ini mungkin dapat bisa dilakukan dengan meminimalisir keberadaan akun anonim melalui verifikasi akun sosial yang lebih ketat. Melalui cara-cara tersebut, diharapkan eksistensi dan popularitas konten negatif menurun, atau bahkan lebih baik lagi, berkurang.

 

Referensi: 

Kaplan, A, M., dan Haenlein,M., (2010). Users of the world, unite! The challenges and opportunities ofsocial media. Business Horizons,53(1): 59-68.

Mastel. (2017). HasilSurvey MASTEL Tentang Wabah HOAX Nasional. Diakses dari situs: mastel.id  diaksestanggal 10 Juni 2021.

Pratama, A. B. (2016).Ada 800 Ribu Situs Penyebar Hoax di Indonesia. Diakses dari situs: www.cnnindonesia.com diakses tanggal 10 Juni 2021. 

Rahmawan, D., Mahameru,A., Anisa, R., (2019), Pengembangan konten positif sebagai bagian dari gerakan literasi digital, JurnalIlmiah Komunikasi, 7(1): 31 -- 43. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun