Di tengah gempuran tantangan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif, satu isu yang terus menghantui birokrasi Indonesia adalah rangkap jabatan. Praktik di mana seorang pejabat publik memegang dua atau lebih jabatan sekaligus, utamanya ketika mereka duduk sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan sekaligus komisaris atau pejabat di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), telah lama menjadi polemik. Lalu pertanyaannya ialah bagaimana praktik rangkap jabatan pejabat publik akan berdampak terhadap performa institusi tempat ia menjabat?
Fenomena rangkap jabatan bukanlah hal baru. Secara hukum, praktik ini tampaknya telah memiliki rambu-rambu pelarangan. Namun dalam realitasnya, celah regulasi dan lemahnya pengawasan membuat praktik ini masih terus berlangsung. Sebuah ironi ketika pejabat publik yang mestinya menjadi teladan dalam integritas dan profesionalisme justru tergelincir dalam pusaran kepentingan pribadi dan politik. Dalam tulisan ini akan membahas fenomena rangkap jabatan terhadap konflik kepentingan, penurunan kualitas kerja, serta melemahkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
 Pro dan Kontra Rangkap Jabatan: Narasi Dua Wajah
Tidak dapat dimungkiri, isu rangkap jabatan memiliki dua sisi yang saling tarik-menarik yaitu antara urgensi untuk efisiensi dan ancaman terhadap integritas sistem. Beberapa pihak membela praktik rangkap jabatan dengan alasan bahwa pejabat publik yang juga menjabat di BUMN mampu menjembatani kepentingan negara dan korporasi. Dengan pengalaman di birokrasi, mereka dianggap bisa membawa tata kelola yang baik di tubuh BUMN. Di atas kertas, argumentasi ini terlihat rasional. Namun, kenyataan berkata lain.
Berdasarkan analisis di sejumlah kejadian yang ada. Ternyata menimbulkan beberapa konflik yang ada. Salah satunya konflik kepentingan (conflict of interest). Tidak terjadinya check and balance yang ideal bagi suatu korporasi yang mejalani proses bisnis. Tentu karena petingginya (komisaris) berada di suatu instansi yang sama dengan korporasi yang dimaksud sehingga tidak tercipta tata kelola dan kepatutan yang semestinya. Efeknya, indepedensi dari regulator tidak tercapai yang bisa jadi akan menurunkan performa bisnis yang ada. Bisa dikatakan memang rangkap jabatan menciptakan benturan kepentingan yang serius. Seorang ASN yang juga duduk sebagai komisaris di BUMN akan menghadapi dilema loyalitas, apakah ia bekerja untuk kepentingan publik atau demi keuntungan korporasi? Situasi ini bisa mengarah pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan suap, yang pada akhirnya memperbesar peluang penyelewengan jabatan. Patut diketahui, tata kelola yang baik bisa terjadi apabila ada independensi dari regulator.
Melihat fenomena yang ada saat ini, Â sejumlah sebab utama mengapa rangkap jabatan menjadi problem sistemik ialah karena ambisi kekuasaan, rendahnya integritas, lemahnya pengawasan institusional, celah hukum, hingga lingkungan birokrasi yang tidak sehat. Semua faktor tersebut menciptakan kondisi yang sempurna bagi pembiaran, bahkan pembenaran terhadap praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Implikasi Nyata: Menurunnya Kinerja Institusi dan Kepercayaan Publik
Titik perdebatan pada fenomena ini ialah dampaknya terhadap performa institusi. Ketika seorang pejabat harus membagi waktunya untuk dua institusi berbeda, terjadi ketimpangan alokasi energi dan fokus. Apalagi melihat jabatan tinggi yang didudukinya. Hasilnya, baik pelayanan publik maupun keputusan strategis dalam perusahaan negara tidak berjalan optimal. Kinerja instansi merosot, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat yang menjadi penerima layanan. Lebih jauh, publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Ketika publik menyaksikan pejabat publik sibuk mengurus jabatan ganda demi kepentingan pribadi, bukan melayani rakyat, maka legitimasi moral dan etis institusi publik turut tergerus.
Landasan Hukum: Antara Larangan dan Celah
Secara regulatif, Indonesia sebenarnya telah memiliki beberapa aturan yang secara eksplisit atau implisit melarang rangkap jabatan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN telah menekankan pentingnya netralitas, profesionalitas, serta fokus kerja seorang aparatur. Begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang menegaskan bahwa ASN dilarang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Namun, terdapat celah besar yang kerap dimanfaatkan. Misalnya, posisi komisaris BUMN tidak secara eksplisit disebutkan sebagai larangan dalam beberapa regulasi. Ini membuka ruang tafsir ganda. Dalam banyak kasus, pejabat tetap merangkap dengan dalih "penugasan khusus" atau "kepercayaan negara".
Lebih buruk lagi, lemahnya pengawasan dari lembaga-lembaga seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat pelanggaran ini jarang berujung pada sanksi tegas. Bahkan, daftar jabatan publik yang dimiliki oleh seorang pejabat tidak tersedia secara terbuka untuk diawasi publik. Inilah mengapa sistem akuntabilitas menjadi rapuh.
Praktik Internasional dan Pembelajaran
Jika kita melihat praktik internasional, banyak negara telah menerapkan sistem "cooling-off period" --- yaitu jeda waktu setelah seseorang keluar dari jabatan publik sebelum boleh bekerja di sektor swasta, terutama yang berhubungan langsung dengan posisinya terdahulu. Misalnya di Amerika Serikat dan Uni Eropa, mantan pejabat dilarang bekerja di sektor yang pernah dia awasi dalam jangka waktu tertentu, demi mencegah penyalahgunaan informasi atau konflik kepentingan. Di Indonesia, prinsip ini nyaris tidak dikenal, bahkan pejabat aktif bisa langsung menduduki jabatan strategis di BUMN tanpa jeda atau batasan waktu. Hal ini membuka ruang bagi korupsi kebijakan (policy corruption), yaitu ketika kebijakan publik disesuaikan untuk keuntungan segelintir pihak, bukan demi kepentingan umum.
Jalan Keluar: Reformasi Regulasi dan Transparansi Publik
Melihat betapa kompleks dan merugikannya praktik rangkap jabatan, sudah saatnya Indonesia melakukan reformasi regulasi yang lebih progresif. Beberapa langkah solutif yang bisa diterapkan antara lain:
- Melakukan harmonisasi regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih yang membingungkan dan membuka celah.
- Menerapkan prinsip cooling-off period secara tegas dan melarang pejabat aktif merangkap jabatan strategis di perusahaan negara.
- Mewajibkan publikasi terbuka mengenai jabatan yang diemban pejabat publik di situs resmi kementerian/lembaga.
- Memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal, termasuk memperbarui sistem digital monitoring jabatan agar mampu memberi peringatan otomatis terkait potensi konflik kepentingan.
- Memberikan sanksi tegas dan transparan terhadap pejabat yang melanggar aturan, baik administratif maupun etik.
Rangkap Jabatan adalah Ancaman, Bukan Solusi
Kembali pada tesis awal tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa praktik rangkap jabatan bukan hanya tidak efisien, tetapi juga berbahaya bagi keberlangsungan tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional. Alih-alih membawa efisiensi atau sinergi antarlembaga, rangkap jabatan justru menciptakan konflik kepentingan, memperlemah performa pejabat, merusak kinerja institusi, dan menggerus kepercayaan publik.
Oleh sebab itu, sudah saatnya bangsa ini mengatakan "cukup". Indonesia harus memilih jalur yang berpihak pada integritas, transparansi, dan akuntabilitas. Pejabat publik seharusnya mengabdi penuh pada tugas utamanya, bukan membagi perhatian pada jabatan lain yang berpotensi menjerumuskannya---dan institusi---ke dalam lubang korupsi dan ketidakprofesionalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI