Mohon tunggu...
purwo besari
purwo besari Mohon Tunggu... Pegiat Beropini

Melihat berbagai isu dari berbagai perspektif

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rangkap Jabatan dan Ancaman Nyata bagi Kinerja Institusi Publik

4 Agustus 2025   09:45 Diperbarui: 4 Agustus 2025   09:45 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah gempuran tantangan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif, satu isu yang terus menghantui birokrasi Indonesia adalah rangkap jabatan. Praktik di mana seorang pejabat publik memegang dua atau lebih jabatan sekaligus, utamanya ketika mereka duduk sebagai aparatur sipil negara (ASN) dan sekaligus komisaris atau pejabat di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), telah lama menjadi polemik. Lalu pertanyaannya ialah bagaimana praktik rangkap jabatan pejabat publik akan berdampak terhadap performa institusi tempat ia menjabat?

Fenomena rangkap jabatan bukanlah hal baru. Secara hukum, praktik ini tampaknya telah memiliki rambu-rambu pelarangan. Namun dalam realitasnya, celah regulasi dan lemahnya pengawasan membuat praktik ini masih terus berlangsung. Sebuah ironi ketika pejabat publik yang mestinya menjadi teladan dalam integritas dan profesionalisme justru tergelincir dalam pusaran kepentingan pribadi dan politik. Dalam tulisan ini akan membahas fenomena rangkap jabatan terhadap konflik kepentingan, penurunan kualitas kerja, serta melemahkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

 Pro dan Kontra Rangkap Jabatan: Narasi Dua Wajah

Tidak dapat dimungkiri, isu rangkap jabatan memiliki dua sisi yang saling tarik-menarik yaitu antara urgensi untuk efisiensi dan ancaman terhadap integritas sistem. Beberapa pihak membela praktik rangkap jabatan dengan alasan bahwa pejabat publik yang juga menjabat di BUMN mampu menjembatani kepentingan negara dan korporasi. Dengan pengalaman di birokrasi, mereka dianggap bisa membawa tata kelola yang baik di tubuh BUMN. Di atas kertas, argumentasi ini terlihat rasional. Namun, kenyataan berkata lain.

Berdasarkan analisis di sejumlah kejadian yang ada. Ternyata menimbulkan beberapa konflik yang ada. Salah satunya konflik kepentingan (conflict of interest). Tidak terjadinya check and balance yang ideal bagi suatu korporasi yang mejalani proses bisnis. Tentu karena petingginya (komisaris) berada di suatu instansi yang sama dengan korporasi yang dimaksud sehingga tidak tercipta tata kelola dan kepatutan yang semestinya. Efeknya, indepedensi dari regulator tidak tercapai yang bisa jadi akan menurunkan performa bisnis yang ada. Bisa dikatakan memang rangkap jabatan menciptakan benturan kepentingan yang serius. Seorang ASN yang juga duduk sebagai komisaris di BUMN akan menghadapi dilema loyalitas, apakah ia bekerja untuk kepentingan publik atau demi keuntungan korporasi? Situasi ini bisa mengarah pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bahkan suap, yang pada akhirnya memperbesar peluang penyelewengan jabatan. Patut diketahui, tata kelola yang baik bisa terjadi apabila ada independensi dari regulator.

Melihat fenomena yang ada saat ini,  sejumlah sebab utama mengapa rangkap jabatan menjadi problem sistemik ialah karena ambisi kekuasaan, rendahnya integritas, lemahnya pengawasan institusional, celah hukum, hingga lingkungan birokrasi yang tidak sehat. Semua faktor tersebut menciptakan kondisi yang sempurna bagi pembiaran, bahkan pembenaran terhadap praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Implikasi Nyata: Menurunnya Kinerja Institusi dan Kepercayaan Publik

Titik perdebatan pada fenomena ini ialah dampaknya terhadap performa institusi. Ketika seorang pejabat harus membagi waktunya untuk dua institusi berbeda, terjadi ketimpangan alokasi energi dan fokus. Apalagi melihat jabatan tinggi yang didudukinya. Hasilnya, baik pelayanan publik maupun keputusan strategis dalam perusahaan negara tidak berjalan optimal. Kinerja instansi merosot, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat yang menjadi penerima layanan. Lebih jauh, publik semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Ketika publik menyaksikan pejabat publik sibuk mengurus jabatan ganda demi kepentingan pribadi, bukan melayani rakyat, maka legitimasi moral dan etis institusi publik turut tergerus.

Landasan Hukum: Antara Larangan dan Celah

Secara regulatif, Indonesia sebenarnya telah memiliki beberapa aturan yang secara eksplisit atau implisit melarang rangkap jabatan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN telah menekankan pentingnya netralitas, profesionalitas, serta fokus kerja seorang aparatur. Begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS yang menegaskan bahwa ASN dilarang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Namun, terdapat celah besar yang kerap dimanfaatkan. Misalnya, posisi komisaris BUMN tidak secara eksplisit disebutkan sebagai larangan dalam beberapa regulasi. Ini membuka ruang tafsir ganda. Dalam banyak kasus, pejabat tetap merangkap dengan dalih "penugasan khusus" atau "kepercayaan negara".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun