Mohon tunggu...
Purnawan Kristanto
Purnawan Kristanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Purnawan adalah seorang praktisi komunikasi, penulis buku, penggemar fotografi, berkecimpung di kegiatan sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Menulis di blog pribadi http://purnawan.id/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasulan Desa Wiladeg Sebagai LPJ Kepala Desa

25 Agustus 2012   06:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:21 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desa-desa di Gunungkidul memiliki tradisi rasulan atau bersih desa, yaitu ritual syukur atas hasil panen. Akan tetapi rasulan di desa Wiladeg memiliki keunikan. Acara tahunan ini menjadi ajang Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) kinerja kepala desa kepada masyarakatnya. Tradisi ini sudah berlangsung selama turun-temurun. Ini adalah salah satu warisan kearifan lokal. Rasulan desa Wiladeg selalu jatuh pada hari Jum'at Kliwon di bulan Ruwah pada penanggalan Jawa, atau dalam kalender Gregorian biasanya pada bulan Juli dan Agustus. Tidak jelas sejak kapan tradisi rasulan ini bermula, namun ada dokumen sejarah yang menuliskan bahwa ada salah satu pejabat Belanda menghadiri tradisi rasulan pada tahun 1934. Tahun ini, perayaan jatuh pada tanggal 24 Agustus 2012. Sejak pagi, ribuan orang sudah berduyun-duyun ke balai desa Wiladeg atau sekitar 45 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Mereka akan menonton tampilan reog dari 10 pedukuhan yang ada di desa Wiladeg. Ketika warga sudah berukumpul di balai desa, maka Kepala Desa Wiladeg akan menyampaikan pertanggungjawaban secara langsung kepada rakyat dengan cara melaporkan pelaksanaan program pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan setelah sebelumnya dilaporkan kepada Badan Perwakilan Desa (BPD). Di dalam peraturan pemerintah memang tidak ada kewajiban bagi kepala desa untuk membacakan LPJ secara langsung. Kepala desa cukup menyampaikan laporan tertulis kepada BPD sebagai representasi dari wakil rakyat. Akan tetapi jauh sebelum zaman reformasi, desa Wiladeg ini sudah menganut asas transpransi dan prinsip good corporate governance. Di dalam forum ini, warga desa boleh menyampaikan saran, usulan dan kritik kepada kepala desa.

Pada tahun 2003, mekanisme LPJ mengalami perubahan format seiring dengan berdirinya Radio Komunitas Wiladeg (RKW) FM. Kini, Bpk. Sukoco selaku kepala desa membacakan LPJ  yang disiarkan secara langsung melalui radio. Warga tidak lagi berkumpul di balai desa, tapi cukup mendengarkan radio pada jam yang telah diumumkan sebelumnya. Warga satu dukuh akan berkumpul di satu lokasi untuk menyimak siaran radio komunitas itu, kemudian mendiskusikan LPJ tersebut dalam padukuhan masing-masing. Dengan cara ini maka warga bisa lebih berkonsentrasi dalam menyimak LPJ.

***

Dalam tradisi rasulan ini setiap dukuh membuat dua ancak. Pertama ancak wadon yaitu gunungan yang terbuat dari dari bunga-bunga kertas. Juga ditempel dengan hasil bumi seperti padi, wortel, sayuran kacang panjang, terong, pare ulo, cabe, buah jeruk, kerupuk gendar, apel dan sebagainya.  Ancak wadon ini akan menjadi rebutan warga usai didoakan oleh pemimpin agama.

1345875010729809487
1345875010729809487

Ancak Wadon

Kedua, ancak lanang yang bentuknya bebas. Biasanya menggambarkan ciri khas dari dukuh tersebut.Pada zaman Orde Baru, ancak lanang ini menjadi ajang propaganda yang menampilkan keberhasilan pembangunan. Misalnya, menampilkan replika irigasi, traktor, peralatan militer dan sebagainya. Akan tetapi sekarang mulai terlihat perubahan. Tahun ini ada padukuhan yang membuat patung pemuda punk. Rambut bergaya mohawk, bertato dan mengenakan celana setengah melorot. Ini adalah hal yang mustahil dibuat pada zaman Orba mengingat komunitas punk mengusung ideologi pemberontakan pada nilai-nilai kemapanan.

1345875447453517885
1345875447453517885

Punk

Perubahan atau lebih tepatnya inovasi juga terlihat pada reog. Pada zaman dulu, alat musik reog menggunakan tiga buah bonang, kecrek, angklung dan kendang. Musik dipukul secara monoton.  Namun sekarang, beberapa kelompok reog menambahkan drum dan simbal.

Alat musik ini mengiringi gerakan para lelaki sebagai prajurit tombak dan penunggang kuda kepang bersenjata pedang. Mereka bergerak ritmis dan cenderung monoton. Itu zaman dulu. Sekarang, penari perempuan dilibatkan dengan memasukkan unsur koreografi tarian sehingga tampilanya lebih menarik.

Setiap kelompok reog diberi waktu selama 20 menit untuk 'beber' atau unjuk kebolehan di atas panggung. Pada zaman dulu, gerakan penari melukiskan adegan prajurit bertombak yang sedang gladen atau berlatih berperang. Sebagai klimaknya, dua prajurit naik kuda kepang melakukan duel senjata dengan pedang. Masing-masing prajurit memiliki botoh atau promotor. Yaitu dua orang yang mengenakan topeng. Yang satu bernama penthul (berwajah putih) dan beles (bermuka hitam). Pada zaman dulu, kedua tokoh ini memiliki kekuatan magis karena biasanya diperankan oleh orang yang sudah sepuh.  Jika ada anak yang sakit-sakitan, maka orangtua dari anak ini akan mengusapkan selendang yang dipakai oleh penthul atau beles ke wajah sang anak. Mereka percaya bahwa kekuatan magis akan menyembuhkan sang anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun