Mohon tunggu...
Purnama Tambunan
Purnama Tambunan Mohon Tunggu... Tutor - Badminton Lover

""Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya" tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah." (Soe Hok Gie)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Misteri yang Terungkap

11 Januari 2015   23:32 Diperbarui: 11 Juli 2015   18:11 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kalau ada pendaftaran siswa yang tidak ikut ke Jogja, mungkin aku yang menjadi pendaftar pertama. Kenapa? Karena aku yakin tak bisa turut serta. Habis biayanya mahal. Biaya sebesar itu setara dengan tiga bulan biaya sekolahku. Mending untuk bayar SPP deh. Ditambah lagi Bu Lis mengatakan bahwa kegiatan itu tidak memengaruhi nilai dan tak ada laporan kegiatan wajib yang harus dibuat nantinya. Ini makin mendukungku bahwa keputusan untuk tidak ikut adalah pilihan yang tepat.

Sebenarnya kepingin juga melihat Kota Pendidikan itu. Apalagi ada acara berkunjung ke Candi Borobudur segala. Pasti asyik tuh melihat bangunan bersejarah nan megah. Tapi aku harus tahu diri, penghasilan orang tuaku kan pas-pasan. Apalagi ada tiga adikku yang masih sekolah. Sedih memang, tapi tak sampai perih kok.

Sebagian besar teman sekelasku memilih tidak ikut, termasuk Aris, yang alasannya setali tiga uang denganku: tak ada duit. Nazrul sendiri sudah terang-terangan mengaku pada teman-teman kalau dia tidak ikut. Ya, kelasku agak berbeda dengan kelas-kelas lainnya. Aku dan kebanyakan teman sekelas berasal dari keluarga yang pas-pasan.

Seminggu menjelang keberangkatan ke Jogja, dengan sedikit kecewa Bu Lis mengumumkan bahwa hanya sepertiga kelas kami yang mengikuti kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu. Seperti yang sudah aku dan Aris duga, kelas kami menjadi jawara kelas dengan peserta tersedikit. Berkah bagi yang tidak ikut: kami jadi bisa liburan di rumah. Asyiknya.

***

Daun lili Paris bergerak lemah menyaksikan senyumku, ketika kembali kuingat sepenggal kisah di kelas dua SMU dulu. Aku tak menyangka akhirnya bisa menjejakkan langkah di Kota Pendidikan yang dulu sempat ditawarkan padaku. Kalau dulu dengan mantap aku menolak ke Jojga. Belakangan di kelas tiga SMU, kota itu justeru berusaha kudekati. Kota itu seperti magnet, aku serbuk besinya. Kini daya pikat kota itu berbeda sekali dengan dulu ketika aku duduk di kelas dua SMU.

Setelah berhasil lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru, aku pun mau tak mau harus mengakrabi Kota Gudeg itu. Hah, ternyata aku tidak cuma sehari dua hari di kota itu. Kelak bertahun-tahun, malah. Soalnya, aku menimba ilmu dari sumur pengetahuan di sana.

Aku pun mengajak ingatanku bergerak mundur, mencari kenangan lainnya. Kuputar rekaman pada benakku itu. Sebuah kenangan pahit terkuak. Sebelum mendapatkan senyum kebahagiaan karena bisa menimba ilmu di Jogja, aku lebih dulu menikmati air mata. Air mata kegagalan dan kekecewaan.

Kegagalan pada dua seleksi penerimaan mahasiswa baru―Ujian Masuk salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan SPMB―membuatku payah. Keluargaku tampak sedikit kecewa. Namun, aku tahu, kekecewaan yang ada di dalam hati mereka lebih besar dari yang tampak di wajah. Mereka tak sampai hati mengekspresikan kekecewaan mereka secara total, takut membuatku tambah terperosok. Mereka menaruh harapan besar di pundakku. Harapan mereka bukan tanpa landasan. Aku masuk empat besar di salah satu sekolah unggulan di Jakarta. Nilai yang tertera di Surat Tanda Kelulusanku juga lumayan. Jadi, mereka punya keyakinan besar anak sulungnya bisa merebut satu kursi di PTN. Yang aku pelajari dari peristiwa itu, ternyata bersekolah di SMU unggulan tidak menjamin kita mampu menembus PTN. Demikian halnya kuliah di PTN yang tak bisa menjamin kita mendapat pekerjaan dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Setelah masak-masak berdiskusi dengan kedua orang tuaku tersayang, aku pun menunda kuliah setahun lamanya. Kesepakatan bulat ini terasa berat dilakukan. Menjadi pengangguran memang tidak enak, terlebih pengangguran yang dibanyak-banyakin acaranya, seperti yang kualami. Aku merasa menjadi orang yang kalah, tersisih, tak berguna. Tapi mau bagaimana lagi, biaya kuliah di luar negeri alias universitas swasta tak bisa kujangkau. Status mahasiswa mungkin belum layak kusandang.

Setahun yang kuisi kembali dengan menggeluti pelajaran SMU, tidaklah memberikan keyakinan penuh bahwa kegagalan akan menjauh dariku. Setahun itu terasa kulalui tanpa kepastian bahwa keberhasilanlah yang menunggu. Yang bisa kulakukan hanya berusaha dan berharap, sambil menahan rasa iri pada teman-teman yang sudah mencicipi bangku kuliah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun