Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Artikel Utama

Benarkah Menangis Tanpa Sebab Menandakan Seseorang Mengidap "Hypophrenia"?

19 Februari 2021   07:59 Diperbarui: 19 Februari 2021   13:58 2543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan menangis| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Dari sini, aku mengambil sebuah pelajaran bahwasanya seakan-akan manusia itu membutuhkan label untuk mengenal dirinya. 

Seperti halnya contoh, kita melabeli diri kita sebagai introvert atau ekstrovert, sanguin atau melankolis, atau bahkan ada yang melabeli bertameng pada zodiak. 

Seakan-akan manusia ini memerlukan sebuah label yang menjelaskan mengenai siapa saya, seperti apa saya, dan lebih jelasnya seperti kita harus mengelompokkan diri sendiri masuk ke kelompok mana dll.

Karena hal tersebut juga maka bisa saja, munculnya istilah "hypophrenia" ini adalah bentuk label yang dipakai untuk seakan menjelaskan kesedihan yang tidak jelas sumbernya. 

Lalu dilemparkan pada penjelasan pada trauma di masa lalu dan lain sebagainya. Ia benar bahwa trauma di masa lalu memang dapat membuat perubahan emosi di masa kini tetapi kita tidak bisa menggunakan istilah baru yang tidak jelas sudut pandangnya atau alat ukurnya, atau kriteria penggunaannya. 

Dalam hal ini adalah kriteria diagnosis. Ketika seseorang menyebutkan mengenai kriteria diagnosis, maka harus ada panduannya tidak semata-mata hanya berbekal googling dan langsung mengamininya.

Seperti kutipan yang aku kutip di awal tulisan ini misalnya, disana tertulis bahwa "Kamu tidak butuh kriteria diagnosis untuk mengetahui bahwa rasa sakitmu itu valid" kamu tidak perlu mengubah nama sedih, nama terpuruk, nama kecewa, nama menangis menjadi hypophrenia. Kamu tidak butuh itu. 

Menggunakan bahasa yang sederhana itu akan jauh lebih mudah untuk dimengerti daripada seperti "Eh, aku kena hypophrenia nih," itu tidak mudah dimengerti. Berceritalah, berkisahlah dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga orang lain bisa memahami dan kita gak butuh kok label-label seperti itu. 

Dari sini kita juga perlu belajar bahwasanya kita jangan pernah mengkambinghitamkan sesuatu untuk mentolerir atas diri kita yang memang salah. Misalkan nih ya, perkara zodiak. Aku sendiri sebenarnya adalah tipe orang yang sama sekali tidak percaya mengenai zodiak. 

Ada dari mereka yang sering banget cuek, mood naik turun, dan karena percaya malah mengeluarkan statement, "Ah, wajar aku kayak gini, orang aku gemini." 

Atau "Ih dia tuh ya, Virgo emang gitu" tidak seperti itu. yang seharusnya kita lakukan adalah mengenal diri sendiri dan mulai berpikir secara logis mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap dan membranding diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun