Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Disamakan dengan Anak-anak, Pakai Analogi Kaktus agar Remaja Patuh

14 Oktober 2020   07:47 Diperbarui: 14 Oktober 2020   08:02 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Udah Kak, kakak dengerin aja kata Mama,"
"Udah Mbak, Papa lebih tau yang terbaik buat Mbak, ikuti aja perintah Papa."

Kalimat ini sering dilontarkan oleh para orangtua terhadap anak mereka yang berada di usia remaja awal. Bagi sebagian orang, hal ini merupakan hal yang wajar. Sebab, ada benarnya terkait pemahaman yang ada di masyarakat bahwa masa remaja adalah masa yang cukup kritis dalam fase hidup seorang manusia. Fase dimana seorang anak-anak mulai mencari jati diri mereka yang sebenarnya. 

Dan para orangtua, akan melakukan hal-hal ekstra untuk mengantisipasi anak mereka tidak terjerumus kearah pencarian jati diri yang tak seharusnya. Ditambah, dengan fakta bahwa semakin ke sini semakin banyak anak remaja yang terbawa oleh arus pergaulan yang bebas semakin membuat banyak orangtua merasa mawas dan was-was. Pada akhirnya, cara proteksi super ketat akan dilakukan untuk mematahkan kekhawatiran yang dimilikinya.

Namun, cara yang seperti ini, justru bertentangan dengan kondisi psikologis yang dialami seorang remaja awal. Yang mana, secara karakteristik, seorang remaja awal akan selalu memiliki perasaan 'ingin memberontak'. Pada akhirnya, alih-alih orangtua ingin membuat anak remaja mereka patuh, namun membuat anak tak segan memperlihatkan sikap acuh.

Aku membaca sebuah status di lama Facebook temanku, Zulva Ardiansyah yang dipostingnya pada tanggal 24 September 2020 lalu, yang isinya,

Sumber: Pribadi
Sumber: Pribadi

"Kamu bisa memuji anak umur 10 tahun dengan cara mengatakannya seperti sudah SMP. Sementara itu, kamu bisa mencaci orangtua berumur 23 tahun dengan memanggilnya Pak atau Bu."

Postingan ini cukup menarik perhatianku, sebab memberikan aku pandangan bahwasanya anak yang sudah berumur menjelang remaja atau remaja awal sejak umur 10 tahun akan merasa lebih menerima diperlakukan seperti layaknya orang yang lebih dewasa daripada dianggap masih anak-anak. 

Pola pikir yang seperti mulai terbentuk dan menjadi tanda anak-anak sedang berada pada fase peralihan usia anak-anak menuju ke usia remaja awal. Dengan begitu, akan menjadi suatu kesalahan apabila ada orangtua yang memperlakukan anak-anak yang berada pada fase ini masih seperti perlakuan terhadap anak-anak umur tujuh atau delapan tahunan.

Menyepakati hal ini, Rizal badudu, M. Min, dari Yayasan Bangun Karakter Bangsa mengatakan bahwa cara membantu remaja hingga dewasa muda untuk menjadi lebih taat adalah dengan cara memfasilitasi mereka. Bagaimana cara memfasilitasi? Ialah dengan membangun dialog dengan mereka. Hal apa saja,  dikomunikasikan awal dalam bentuk dialog. 

Menurut data, diketahui bahwa banyak sekali orangtua yang menggunakan cara tetap terhadap anak remaja mereka seperti anak masih umur tujuh tahun. Dimana karakteristiknya, berkomunikasi melalui monolog, instruksi, harus ditaati dan bersikap absolut seolah mengetahui apa yang terbaik untuk mereka. Akibatnya, anak yang mendapatkan perlakuan dari orangtua  seperti ini menjadi merasa tidak betah sekali.

Selalu diberi instruksi, selalu harus taat, selalu hanya harus ikut cara mama, cara papa, cara orangtua, bukanlah cara atau pilihan yang tepat untuk mendefinisikan pilihan orangtua yang bijak. 

Jadi, setiap orangtua harus sekali lagi berbicara dengan anak. Bersikap sejajar seperti berbicara kepada orang dewasa, dengan cara apa? Dengan cara bertanya kepada anak. Dengan cara mendengar sebelum menyimpulkan, dengan cara melihat sebelum mengacuhkan.

Hal ini adalah salah satu hal yang memang dianggap cukup sulit oleh sebagian besar orangtua. Sebab, memang mebutuhkan kesabaran, atensi, serta memakan waktu ekstra bagi setiap orangtua untuk dapat menerapkannya.

Meskipun begitu, hal ini memberikan dampak psikologis yang cukup besar bagi kepribadian anak. Sebab, dengan demikian orangtua seolah sedang bertindak bukan sedang lawan anak, melainkan sebagai kawan.

Selaiknya kawan, orangtua membuat sebuah kesepakatan bersama anak, dan ketika telah diketahui anak menginginkan apa, orangtua dapat membersamainya. Apabila langkah yang dilakukan seperti ini, maka yang terjadi adalah seolah orangtua menjadi satu serta selaras dengan anak. Orangtua dan anak berada di dalam perahu yang sama. Proses pendisiplinan terhadap anak dapat terjadi dan dilakukan tanpa anak menyadari.

Hal yang salah adalah apabila orangtua menempatkan anak-anak remaja seperti pihak yang berlawanan. Dimana orangtua hanya memberikan instruksi dimana anak harus taat. Hal ini justru semakin memperjelas sikap otoriter yang dilakukan oleh orangtua. 

Alih-alih patuh, anak justru akan melakukan sebuah perlawanan untuk semakin menjauh. Orangtua perlu melakukan sebuah langkah bertahap seperti membicarakan cara-cara yang disepakati dan bagaimana mampu berjalan beriringan sesuai dengan kemauan yang telah anak rencanakan.  

Sehubungan dengan hal ini, coba saja kita pikirkan dan menggunakan Analogi kaktus. Di mana fase anak-anak adalah ketika kaktus masih dalam bentuk benih, dan fase remaja adalah fase dimana kaktus tadi pun sudah beranjak besar. Perlakuan pada kedua fase dalam kehidupan kaktus tadi tentu berbeda. 

Ketika pada fase kaktus masih sebuah benih, ia perlu sering disiram agar dapat tumbuh. Namun saat ia beranjak besar, apabila kaktus tadi terlalu sering disiram, alih-alih tumbuh justru ia akan mati. 

Perlakuan ini, perlu untuk dicatat dan diamini bersama bahwa memang ketika seorang manusia masih berada pada fase usia anak-anak, orangtua perlu memberikan banyak nasehat dan pesan moral sebagai bekal pembentukan kepribadian anak. 

Dan saat berada pada fase remaja awal, di mana dalam perwujudan hal ini, teman sebaya dan lingkungan sekolah serta tempat bermain anak memegang kendali besar. Oleh sebab itu, orangtua sebagai manusia yang 'seharusnya' paling dekat karena berada dalam lingkup paling dekat dengan anak dapat memberikan peran yang dapat diterima dan membuat anak keberadaannya dirasakan.

Caranya adalah dengan memberikan anak ruang bicara, ruang yang membuat anak nyaman untuk bersama membuat kesepakatan, kemudian membersamai anak apabila ia menghadapi kesulitan. Cukup sulit, namun bukan berarti mustahil untuk dapat diwujudkan.

Itulah tadi, cara yang dapat dilakukan oleh orangtua terhadap anak-anak remaja mereka. Satu-satunya cara membuat seorang remaja patuh, adalah orangtua tidak boleh acuh. 

Orangtua perlu menciptakan sebuah kondisi dimana anak dapat terus berusaha menaati, menyepakati, dan menghormati orangtua tanpa berada di bawah tekanan.

Dengan demikian, akan tercipta sebuah hubungan dekat antara orangtua dan anak, dimana anak tetap mendengarkan perkataan orangtua karena instruksi-instruksi yang diberikan tidak semata-mata harus dilakukan tanpa alasan, sebelumnya harus telah dikomunikasikan, didiskusikan, dialogkan, disepakati bersama, dan bersama-sama diwujudkan.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun