Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic Parenting, Racun yang Diwariskan

21 September 2020   10:19 Diperbarui: 21 September 2020   10:40 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, the narcissist, kriteria kedua ini biasanya orangtua yang hanya peduli dengan dirinya sendiri serta tidak memiliki empati dengan orang-orang disekitarnya sekalipun itu adalah anak mereka sendiri.

Ketiga, the compulsive liar. Maksudnya, orangtua dengan kriteria toksik ini biasanya suka sekali memanipulasi kebaikan seseorang termasuk anak mereka. Hal ini juga bisa dilakukan dengan sering berbohong serta menakut-nakuti anak akan sesuatu.

Keempat, the drama magnet. Kriteria orangtua toksik yang ini seringkali terjadi pada orangtua yang memiliki rasa khawatir terlalu berlebihan serta tidak mampu mengontrol rasa sayang yang ia miliki terhadap anak mereka. Biasanya, orangtua dengan kriteria ini selalu saja membesar-besarkan masalah atau sesuatu yang sifatnya sepele atau kecil. Seperti istilahnya saja, orangtua dengan kriteria ini sering dan suka sekali mendramatisir masalah yang ada.

Kelima, the green eyed. Nah, untuk kriteria yang ini biasanya orangtua tidak suka apabila meilhat oranglain merasa senang. Hal ini memiliki cakupan yang luas, dimana bisa saja sebab hal tersebut, anak selalu menjadi pelampiasan kemarahan ketika orangtua sedang merasa tidak senang terhadap sesuatu.
Serta yang terakhir, 

Keenam adalah the energy vampire yang bisa dikatakan sebagai konklusi dari lima kriteria sebelumnya. Orangtua dengan kriteria ini biasanya akan selalu menyerap energi positif yang dimiliki oleh orang-orang disekitarnya termasuk anak mereka sendiri.
Setelah mengetahui enam kriteria diatas, pasti sebagian kita sudah bisa memprediksi akan berjalan kearah mana pembahasan ini selanjutnya. Yap, tentu dampak dari itu semua.

 Mengapa aku mengatakan bahwasanya seringkali 'toxic parenting' dianggap biasa saja di permukaan, sebab ada yang namanya pengaburan konsep kasih sayang. 

Banyak yang menganggap, segala bentuk perlakuan orangtua terhadap anak adalah salah satu bentuk pemberian atau pengungkapan bentuk kasih sayang mereka terhadap anak tak masalah apabila caranya berbeda-beda pada setiap orangtua. Padahal, semestinya tidak begitu. Perlu kiranya orangtua berpikir akan dampak yang anak terima dari setiap perlakuan 'kasih sayang' mereka terhadap anak.

Seperti halnya dalam hal toxic parenting ini, banyak yang kemudian tak sadar bahwa sebuah pengasuhan yang 'beracun' juga mampu menghasilkan hubungan yang beracun atau 'toxic relationship' antara orangtua dengan anak.  

Biasanya, salah satu ciri yang ada pada anak yang menjadi korban dalam toxic parenting ini adalah anak memilih untuk berada jauh dari rumah atau orangtua. Namun, tidak menutup mata dengan kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini yaitu pandemi, bukan tak mungkin keadaan ini semakin membuat anak merasa depresi. Sebab, anak dituntut untuk tetap berada di dalam rumah dengan kondisi suasana rumah yang sama sekali tak hangat. 

Sudah sepatutnya, kita menganggao hal ini sebagai sebuah perbincangan yang serius. Ditambah dengan adanya kebijakan SFH yang memaksa orangtua untuk mendampingi anak selama belajar di rumah. Tapi, apabila orangtuanya saja toksik, kira-kira apakah bisa anak belajar? 

Ketika mengawali sebuah obrolan atau perbincangan saja anak sudah merasa kesulitan dan tertekan. Jangan sampai kembali lagi terjadi sebuah kasus yang baru-baru ini viral yaitu seorang ibu di Tangerang yang membunuh anak kandungnya sendiri karena tertekan dengan tugas-tugas sekolah si anak ditambah dengan kondisi si anak yang memang susah sekali untuk diminta mengerjakan tugas-tugasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun