Mohon tunggu...
Supriyadi
Supriyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Penjual Kopi

Orangtuaku memberi nama Supriyadi. Boleh kalian panggil aku Pry

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Saksi Yehuwa Bertamu

26 Desember 2016   03:35 Diperbarui: 26 Desember 2016   04:27 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alkitab dan najalah yang saya minta

Tepatan libur nasional Maulid Nabi Muhammad SAW, 12 Robiul Awal 1438 H, hari itu Senin, 12 Desember 2016. Pagi, ketika saya membuka mata dari tidur pukul 03.30 wib, melihat jam sudah pukul 09. 15 wib. Suasana rumah sepi, cuaca di luar panas tak begitu terik; redup. Hanya Marga, mahasiswa Stikosa AWS yang terlihat serius di depan komputer. Sejenak meraih sadar. Saya lalu beranjak, mengambil cangkir pribadi yang biasa saya letakkan dekat laptop di atas meja. Biasa, cangkir bermodel mug, souvenir dari lembaga SCP switchasia itu, salalu menemani saya ketika sibuk di depan laptop; kadang bersama kopi maupun teh. Eh…pernah juga saya gunakan minum susu.

Seperti biasa, ketika bangun tidur saya segera membuat minuman hangat; sebelum melakukan hal lain. Duduk menikmati, kadang sambil baca-baca buku atau gadgetan. Paling tidak teh. Kebetulan pagi itu saya lakukan. Karena saya berada di lantai 2. Saya pun melangkahkan kaki menyusuri tangga turun untuk menuju dapur. Sebelum ke arah dapur yang berada di sebelah kanan tangga,  beberapa langkah ke depan saya ke ruang  tamu. Melongok. Terlihat Endro, kawan saya sedang asik dengan gedgetnya di ruangan  tamu seorang diri. Duduk di sofa yang  bersandaran dengan tembok. Mungkin saja ada yang lucu, entah di fesbuk, sedang chat WA atau SMS,  ketika saya longok dia tersenyum seorang diri.

Sedetik longokan saya memutar tubuh menuju dapur. Tiba-tiba saya mendengar seperti ada yang memukul pintu pagar. Terintip dari dapur; dua orang pria berdiri. Entah dari mana asalnya. Sengaja saya memilih tidak menyamperi, menyapa, atau menunjukkan tubuh saya kepada orang asing itu. Tapi saya mengendalikan kepekaan; mengamati dari balik jendela dapur. Dua orang berpakaian kemeja terang dan celana gelap; rapi. Salah satunya mengucapkan. “Permisi…. “  suaranya. “Teng…teng…teng, “  beberapa kali memukul pintu pagar.  Saya sengaja lagi tidak menjawab; memilih asik menekan kran dispenser warna merah; keluarkan air panas ke dalam cangkir.

Berulang-ulang  kata permisi itu mereka ucapkan. “Permisi…, “.  Sekali lagi, saya sudah mendengar. Tetapi saya memilih meneruskan mengaduk gula dan teh celup di dalam cangkir.  Terdengar  gumaman salah satu dari mereka.  “Kayaknya dia sedang sibuk. “ Saya rasa, Endro yang sedang asik duduk di sofa itu, tertampak mereka dari luar. Sehingga salah satunya menggumam seperti itu. Tentu, gumaman mereka maupun suara “teng” tak terdengar oleh Endro. Maaf, kawan saya ini memang  sedang ada masalah pendengaran lumayan berat.  Ceritanya, penyakit itu dia rasakan selepas lulus dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.

Sekira  lima menit, salah satunya itu mengucapkan permisi. Terdengar suara tekanan. “Permisi…! “ Entah intonasi suara yang dikeraskan itu terdengar Endro atau tanpa sengaja dia mengangkat kepala, lalu melihat ke arah pintu pagar. Membuat dia beranjak mendatangi dua tamu itu. Saya tetap menguping,  mata mengintip, dan sesekali menyesep teh hangat.

Endro pun mengangkat kedua tangannya; meletakkan telapak tangannya disentuhkan ke sisi daun telinga untuk menghalau gelombang suara masuk ke pendengarannya. Itu selalu dilakukan Endro, supaya dia bisa menangkap suara lawan bicaranya.  “Pagi pak…, “ terdengar ucap salah satu dari mereka.

“Ya cari siapa..., “ tanya Endro dengan memercingkan muka.

“Boleh saya masuk, “ jawab salah satunya.

“Siapa…, “ kata Endro berulang; entah berapa kali, tidak menghitung. “Bentar, silakan masuk dulu, “ ucap Endro lalu membukakan pintu pagar. Kedua pria berwajah oriental itu pun mengikuti langkah Endro; masuk rumah.  Saat itu pula, saya berimajinasi dalam aluran persepsi;  “Siapa dia”, “Ada janji sama siapa”, “Sales mau menawarkan produk”, “Mungkin pegawai dinas kesehatan yang mau memeriksa jentik-jentik di kamar mandi. “

Ups…! Endro terlihat menaiki tangga. Tergopoh. Namun begitu menolehkan mukanya ke kiri. Dia mengembalikan tubuhnya; berjalan menghampiri saya yang tengah duduk di atas kitchen set. “Pak, ada tamu. Saya nggak dengar. Nggak tahu cari siapa, “ ucap Endro lirih.  Saya menyambutnya dengan anggukan kepala dan memberi tanda thumb up, mengangkat jempol tangan kanan. Seperti biasa, Endro memang tidak mau menerima tamu yang dianggapnya asing. Ya, itu tadi faktor pendengaran yang memengaruhi dia.

Itu satu scene di rumah Sekber ini; Sekretariat Bersama Konsolidasi Demokrasi. Pagi itu, memang kami hanya bertiga; Endro, Marga, dan saya. Rumah yang pernah menorehkan sejarah. Tempat bergulat para aktivis 1998; di masa reformasi. Rumah di Komplek Peni Menanggal, Surabaya.  Sekarang bersama teman-teman jurnalis, saya gunakan sebaga kantor siagaindonesia.com, media online yang kami kelola. Selain itu, sebagai kantor Biro Surabaya indeksberita.com, kebetulan saya sebagai jurnalisnya. Dan juga Sekretariat Ikatan Mahasiswa Ilmu Komuniakasi Indonesia (IMIKI), serta berbagai kegiatan konsultasi yang berhubungan dengan advokasi kerakyatan.

Saya lalu menuju dua tamu yang sudah duduk  di ruang tamu itu; satu di kursi dari kayu dan satu di sofa. Tak pedulikan muka kucel, rambut awut-awutan, (baru kali ini memanjangkan rambut, biasanya gundul), dan bau mulut masih terasa. Menatap keduanya, saya juga menyempatkan membatin, bahwa mereka adalah seorang pengacara (lawyer). Sebab, wajah-wajah mereka mirip yang sekarang banyak  “bergentayangan” di lembaga-lembaga hukum Negara : kepolisian (polda), kejaksaan, maupun pengadilan.

Sambil memegangi cangkir  dan posisi masih berdiri ; saya menjabat. Lalu saya bertanya, “ Dari mana bapak… “ tanya saya.“Sepertinya pernah lihat. Apa bapak seorang pengacara, “ ucap saya lancang. Kami ketawa.

“Pengacara, pengangguran banyak acara, “ celetuk yang duduk di kursi kayu.  

“Bukan! Kami dari Saksi Yehuwa, “ kata yang duduk di sofa.

“Oh…, “ desau saya dan segera mempersilkan mereka duduk kembali, begitu melihat mereka berdiri.

“Silakan duduk…, “ kata saya.

“Bapak masih berdiri, “ sahutnya dengan sedikit mensejajarkan tangannya ke depan ke arah saya.

Bagi saya, begitu mereka menyebut asal bukan istilah yang jarang saya dengar. Meski saya tidak pernah beragama Kristen. Sebab, istilah Yehuwa termasuk trend, menjadi bahan diskusi di warung kopi komunitas; selain figur-figur hebat seperti Muhammad, Isa, Ibrahim, Dalai Lama,  Sidharta Gautama, Sun Tzu, hingga Tan Malaka. Saya hanya membatin, “orang Kristen, “ tanpa kecurigaan lain.  

“Bapak pernah dengar Saksi Yehuwa, “ kata yang duduk di sofa lagi.

“Kristen kan?, “ sahut saya.

“Benar, “ masih kata yang duduk di sofa. “Tapi…, “

“Dari GBI atau GPIB, “ tanya saya serasa sok tahu.

“Bukan, kami bukan dari gereja-gereja itu, “ tetap kata yang duduk di sofa. 

Mendengar jawabannya, saya justru menawari untuk minum. “Bentar, saya buatkan teh apa kopi. Ini saya minum teh, “

“Ya terima kasih, tidak usah, “ masih kata yang duduk di sofa sambil menggerakkan tangan. Saya pun menghentikan niat saya membuatkan minuman itu. “Begini pak, kami dari Saksi Yehuwa, “ tetap kata yang masih duduk di sofa.

“Ya terus…, “ kata saya.

“Kami datang tidak bermaksud melakukan Kristenisasi, “ ucap yang duduk di sofa lagi.

“Bentar, kalau boleh tahu nama bapak, “ sahut saya sambil menggerakkan tangan ke arah masing-masing.

“Saya Hendri, “ jawab yang duduk di sofa. Saya pun tidak bertanya Hendry atau Hendri. “Ini…, “ kata Hendri dengan menunjuk arah yang duduk di kursi kayu.

“Saya Arjento, “ jawab yang duduk di kursi kayu.  “Karena saya kelahiran tahun 63, nama saya biasa ditulis Ardjento, “ lanjutnya.

“Bentar, tadi bilang tidak melakukan Kristenisasai. Apa maksudnya? Dan berarti ada dong Kristenisasi, karena istilah itu disebut orang Kristen sendiri, “

“Begini, tidak begitu. Kami hanya menyampaikan kebenaran. Kita tidak ada agama mie, agama beras, seperti selama ini yang terjadi, “ ucap Hendri.

“Nah…! Ok. Kita tak perlu bahas itu, “ kata saya. “Berarti bapak evangelis, penginjil,  “ saya melanjutkan berkata.

“Bukan…, “ jawab Hendri.

“Pendeta..., “

“Bukan juga…, “ dijawab bersamaan.

“Begini pak, “ Hendri berbicara. “Kami dari Saksi Yehuwa. Agama Kristen yang tidak merayakan natal, seperti Kristen lainnya, “

“Sebentar, saya harus ambil catatan nih, “

“Gak usah. Kita sebentar kok pak. Hanya mau menyampaikan kebenaran Kristen saja, “ ucap Hendri.

“Ya, kita hanya sekadar mau ngobrol saja, “ sahut Arjento.

“Nggak, saya musti harus mencatat, karena ini menarik bagi saya, “ jawab saya yang kemudian meraih kertas dan spidol di meja yang biasa digunakan Endro.

“Wah rupanya, bapak wartawan ya, “ celetuk Hendri.

“Kata siapa, tidak…, “ sahut saya. Bagi saya mengaku tidaklah penting.  

“Dilihat dari gayanya…, “

“Bukan, saya pegawai RRI, “

“RRI radio, “ lagi kata Hendri.

“Bukan, Riya Riyo Indonesia, pekerjaan sok sibuk, “ kata saya tak perlu menjelaskan detil. Kami terus ketawa. “Sebentar, saya harus membuatkan teh dulu. Supaya kita nyaman ngobrol. Masak saya yang minum sendiri, “ kata saya bergegas ke dapur.

“Kalau begitu saya nggak pakai gula, “ pinta Arjento.

“Sama. Saya juga nggak usah pakai gula, “ Hendri berkata. Saat membuatkan teh. Sengaja, saya memilih gelas beda. Padahal di rak dapur tersedia gelas bermodel sama; gelas bening dan gelas dari plastik warna-warni. Saya memilih gelas souvenir PDAM, perusahaan air minum Surabaya, warnanya putih, bermodel mug. Satu gelas souvenir dari cat Dulux, berwarna coklat, ke bawah agak mengecil; berdemensi crone, begitulah kira-kira.

Tak lama saya membuatkan teh sambil menyuguhkan berkata, maaf saya memakai gelas berbeda. Satu kecil, satu besar. Saya memang tidak mau adil terhadap sesama manusia. “Nggak apa-apa kan?, “ ucap saya.

“Wah nggak apa-apa, “ sahut Hendri. Lalu dia melanjutkan pembicaraanya, bahwa kedatangannya akan menyampaikan kebenaran Kristen. Hendri mengulang ucapannya, bahwa Saksi Yehuwa tidak mengakui perayaan Hari Natal seperti Kristen yang ada. “Selama ini Saksi Yehuwa banyak dipermasalahkan perkembangannya di Indonesia, “ ungkap Hendri.

“Nah, seperti itulah orang-orang beragama itu. Persoalan sudah jelas, selalu saja masih dipertentangkan, “ ucap saya. Hendri terlihat akan melanjutkan bicara. Namun segera saya mengatakan, agama apapun di Indonesia ini, lebih suka menonjolkan kegiatan-kegiatan kapitalistis. “Bersaing besar-basaran membangun tempat ibadah. Sementara umat sama sekali jauh dari perhatikan, “ ucap saya.

“Ya tapi…, “ ucap Hendri.

“Bagi saya tidak ada tapi, “ sahut saya. Lalu saya menjelaskan tentang penghuni rumah ini. “Kami di rumah ini bicara masalah Tuhan sudah tuntas, bicara tentang agama sudah kami jalani tanpa batas. Berbagai latar belakang agama pernah tinggal di rumah ini. Tak pernah ada diskusi tentang Tuhan dan agama begitu ketat. Artinya memperdebatkan agama yang jelas-jelas memang beda. Satu yang menjadi perhatian kami, soal rakyat yang semakin carut marut, theologi kerakyatan yang kami kedepankan, “ terang saya yang lalu sadar keceplosan istilah theologi kerakyatan; apa ada?  

“Tapi kan tetap, kita harus mengutamakan Tuhan, “ ujar Arjento.

“Apa kami mengabaikan Tuhan, “ sahut saya. “Nah, kadang seperti itulah orang beragama, selalu absurd cara berpikirnya terhadap orang lain. Apalagi sangat mengerikan, ketika beda keimanan saling mencurigai. Bisa payah republik ini hanya menata orang beragama saja, jelas-jelas tidak mempedulikan umatnya, “ saya sedikit mengomel.  

“Ya tapi saya boleh menjelaskan maksud kami, “ ucap Hendri.

“Silakan…, “ saya menyahut lebih cepat.

“Bapak agamanya apa, “ tanya Hendri.

“Wah, ini salah besar kalau tanya agama, “ sahut saya. “ Bukankah urusan agama itu saya pribadi dengan Tuhan, “

“Tidak begitu pak…, “

“Ah tidak…tidak aja. Sekali bilang  ya…begitulah pak, “ sedikit saya menekan suara tentu dengan senyum yang disambut mereka.

Lalu saya membiarkan mereka menjelaskan. Menurutnya, Saksi Yehuwa, ada di Indonesia sejak dulu kala. Mereka tidak menyebutkan, sejak dulu kala itu kapan. Tetapi mereka langsung menyebutkan, bahwa Saksi Yehuwa, telah menuai pelarangan dari pemerintah tahun 1976 melalui keputusan jaksa agung.

Saya masih tetap mendengarkan dengan yang mereka sampaikan. Saksi Yehuwa, katanya, sudah diakui 240 negara di dunia. Saya menghentikan penyampaian mereka: dari saya menyimak, rupanya para pengikut Saksi Yehuwa, juga berkeinginan mempunyai pemimpin dunia. “Kelompok Martin Luther yang selama ini dibuang gereja. Ingin membangun internasionalis mirip Katholik atau cita-cita khilafiyah seperti sebagian umat Muslim, “

“Tidak…, “ sahutnya bareng.

“Saya hargai jawaban bapak, tidak…, “ ucap saya. “Silakan lanjutkan…, “ pinta saya.

Namun, tiba-tiba Arjento mendekat ke arah saya di sebelah kiri. Dia menunjukkan video yang memang sudah dibuat; yang menceritakan tentang kehidupan kuasa jahat lewat gadget yang dimiliki. Setelah menonton video, Hendri mendekat menunjukkan firman dalam Alkitab bentuk digital di gadget yang dia bawa; Wahyu 21: 3-4 yang diikuti Arjento membuka Alkitab.

Begitu mereka akan menjelaskan, saya mendahului menyebut beberapa kasus warga yang sekarang berhadapan dengan perusahan. Saya mengambil contoh, kasus perusahaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. “Perlu bapak tahu, saat ini sedang konsen untuk urusan rakyat di desa ini. Betapa luar biasa perusahaan limbah B3 itu membuat bencana bagi kehidupan rakyat di sana, “

“Kalau begitu pak Pry konsen di pendampingan, kami yang urusan membawa misi kebenaran, “ Arjento nada menawarkan diri.

“Wah, ini bagaimana…, “ saya menggeleng kepala. “ Agama dibuat bargaining. Agama dibuat nilai tawar. Payah pak, “ saya sambil memegang kepala. Mereka tersenyum. “Sudahlah pak, Alkitab itu untuk saya, “ saya mencoba mengalihkan perhatian supaya cepat menyudahi.

Asalnya Alkitab itu saya minta tidak boleh. Dengan nada memaksa, mereka membolehkan dan Alkitab itu diberikan kepada saya sambil berkata; bahwa hanya isi Alkitab ini saya yang benar. Sebab nama Yehuwa belum diganti. “Tidak seperti Al Kitab terbitan Lembaga Al Kitab Indonesia. Nama Yehuwa sudah diganti dengan nama Tuhan, “ katanya sambil berpamitan. Dan saya sadar Hendri merekam semua pembicaraan yang berlangsung kurang lebih satu satu itu.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun