Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Medan Pilihan

Ketika Naluri Bisnis Meracuni Generasi

16 Oktober 2025   07:30 Diperbarui: 16 Oktober 2025   08:07 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan siswa SMP Negeri Laguboti diduga keracunan MBG (Dok. Dinas Kesehatan Toba) vis drtik.com

Korban yang Tak Pernah Diperhitungkan. Setiap tragedi semacam ini selalu diikuti dengan kalimat yang sama: "Kami akan evaluasi."
Tapi apa arti evaluasi bagi anak yang perutnya sudah teracuni?
Apa maknanya bagi keluarga yang melihat anaknya terbaring di rumah sakit, hanya karena negara gagal mengawasi satu piring nasi?

Kita sering mendengar istilah human error atau kelalaian teknis sebagai pembenaran.
Padahal yang sebenarnya terjadi bukan sekadar kelalaian --- tapi ketidakpedulian sistemik.
Kesalahan yang berulang bukan lagi kecelakaan, melainkan budaya.

Anak-anak itu menjadi korban dari kegagalan kolektif: pejabat yang lalai, pengusaha yang serakah, dan publik yang terlalu cepat lupa.
Esok hari, isu ini akan tenggelam, programnya berjalan lagi, dan mungkin di tempat lain racunnya akan bekerja ulang --- dengan nama proyek yang sama, dan slogan yang serupa.

Makan Bergizi, Tapi Akalnya Sakit. Tragedi ini menyisakan ironi pahit: kita sedang berusaha memberi makan anak-anak agar tumbuh sehat, tapi di saat yang sama, akal sehat orang dewasa di baliknya justru sedang mati.

Gizi bukan hanya tentang protein dan karbohidrat. Gizi juga tentang kejujuran, tentang sistem yang bersih, tentang manusia yang bekerja dengan hati.
Makanan yang baik tidak cukup dibuat di dapur bersih, tapi juga oleh tangan yang bersih.

Sampel makanan yang berlendir hanyalah gejala fisik dari penyakit yang lebih dalam --- penyakit bernama kerakusan.
Dan selama penyakit itu tidak diobati, program apa pun akan berakhir sama: gagal karena manusianya tidak sehat secara moral.

Antara Pahala dan Profit. Banyak pihak yang melihat proyek sosial sebagai peluang ekonomi.
Tak sedikit yang memanfaatkan jargon "membantu rakyat" untuk menambah pundi-pundi pribadi.
Yang ironis, semua dibungkus rapi dengan kalimat religius dan simbol kebaikan.

Padahal, di antara niat baik dan hasil nyata, ada satu hal yang menentukan: integritas.
Tanpa integritas, setiap proyek sosial berubah menjadi bisnis yang beracun.
Mereka bukan lagi memberi makan orang lapar, tapi memperalat orang lapar demi laporan sukses.

Kita hidup di zaman di mana kebaikan dikomersialisasi. Di mana empati diukur dengan nilai kontrak, dan tanggung jawab dibayar dengan anggaran.
Padahal, tidak ada rupiah yang cukup untuk menebus satu nyawa anak yang keracunan karena kelalaian orang dewasa.

Refleksi: Siapa yang Sebenarnya Lapar?

Mungkin bukan anak-anak yang paling lapar di negeri ini.
Mungkin justru orang-orang dewasa yang duduk di belakang meja kontrak, yang rakus akan kuasa, pengakuan, dan keuntungan.
Mereka makan dari piring besar, tapi tak pernah kenyang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Medan Selengkapnya
Lihat Medan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun